news-card-video
16 Ramadhan 1446 HMinggu, 16 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Mengakhiri Normalisasi Pelecehan Seksual di Indonesia

Muh Khamdan
Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bekerja sebagai Widyaiswara Balai Diklat Hukum dan HAM Jawa Tengah
16 Maret 2025 2:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan rentan sebagai korban pelecehan korban (Sumber: Kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan rentan sebagai korban pelecehan korban (Sumber: Kumparan)
ADVERTISEMENT
Pelecehan seksual telah menjadi masalah sosial yang merajalela di Indonesia. Data real time dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) per 15 Maret 2025 menunjukkan sebanyak 5.137 kasus pelecehan seksual, dengan mayoritas korban adalah perempuan. Fakta ini memperlihatkan bahwa pelecehan seksual bukan sekadar isu individual, melainkan fenomena struktural yang diperparah oleh normalisasi dalam budaya masyarakat.
ADVERTISEMENT
Salah satu aspek paling mengkhawatirkan dari fenomena ini adalah bagaimana pelecehan seksual seringkali dianggap sebagai candaan. Dalam berbagai ruang sosial, baik di lingkungan kerja, sekolah, maupun media sosial, pelecehan seksual kerap dikemas dalam bentuk humor yang merendahkan. Konsep bahwa pelecehan hanya bercanda telah membentuk pemakluman kolektif yang menghambat proses hukum dan psikologis bagi korban.
Selain itu, kasus-kasus pelecehan seksual yang melibatkan aparat penegak hukum, seperti eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, memperlihatkan bahwa predator seksual dapat berada di dalam institusi yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat. Keberadaan predator dalam struktur kekuasaan menambah kompleksitas dalam upaya pemberantasan pelecehan seksual, terutama karena sistem hukum yang masih cenderung berpihak kepada pelaku.
ADVERTISEMENT
Indonesia sebenarnya telah memiliki payung hukum yang cukup komprehensif, yakni Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Namun dalam implementasinya, masih banyak kendala yang menyebabkan undang-undang ini tidak berjalan secara efektif. Salah satu masalah utama adalah budaya victim blaming yang masih mengakar kuat dalam sistem peradilan maupun masyarakat.
Dalam perspektif hukum progresif, pelecehan seksual harus dipandang sebagai bentuk kekerasan berbasis gender yang memerlukan pendekatan multidisipliner. Hukum tidak boleh hanya bersifat represif dengan menghukum pelaku, tetapi juga harus bersifat preventif dengan mengubah paradigma masyarakat mengenai pelecehan seksual. Edukasi publik menjadi salah satu langkah fundamental dalam mencegah pelecehan seksual sejak dini.
Hukum progresif menekankan bahwa substansi hukum harus berpihak kepada korban, bukan hanya dalam proses hukum tetapi juga dalam pemulihan psikososial. Salah satu solusi yang dapat diimplementasikan adalah memperkuat sistem perlindungan korban, termasuk dengan menyediakan bantuan hukum yang mudah diakses dan layanan psikologis yang komprehensif.
ADVERTISEMENT
Selain itu, penting untuk memperkuat mekanisme pelaporan yang aman dan ramah korban. Banyak korban enggan melapor karena takut disalahkan atau mengalami stigma sosial. Oleh karena itu, diperlukan reformasi dalam sistem kepolisian dan peradilan agar lebih responsif dan berpihak pada korban, bukan malah menyulitkan korban dalam mencari keadilan.
Dalam konteks institusi negara, reformasi budaya di dalam institusi penegak hukum menjadi krusial. Kasus eks Kapolres Ngada menjadi bukti bahwa aparat penegak hukum tidak boleh dibiarkan bebas dari pengawasan ketat dalam isu kekerasan seksual. Dibutuhkan regulasi ketat untuk memastikan bahwa institusi seperti kepolisian dan militer bersih dari pelaku kekerasan seksual.
Sanksi terhadap pelaku juga harus diperberat agar menimbulkan efek jera. Tidak cukup hanya dengan hukuman pidana, tetapi juga perlu ada mekanisme sosial seperti pencabutan hak profesi bagi pelaku yang berasal dari lingkungan profesional tertentu, termasuk aparat negara dan pejabat publik.
ADVERTISEMENT
Selain aspek penegakan hukum, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan dan advokasi juga sangat diperlukan. Pemerintah perlu membuka ruang partisipasi bagi organisasi masyarakat sipil untuk ikut serta dalam monitoring kasus kekerasan seksual dan mengawal implementasi UU TPKS agar lebih efektif.
Di sisi lain, sistem pendidikan juga harus diintervensi untuk mencegah normalisasi pelecehan seksual sejak usia dini. Kurikulum sekolah perlu menyertakan pendidikan tentang seksualitas yang sehat, kesetaraan gender, serta kesadaran hukum terkait pelecehan seksual agar anak-anak dan remaja memahami batasan dan hak mereka.
Media massa dan media sosial juga memiliki peran penting dalam membentuk opini publik. Diperlukan regulasi yang ketat terhadap konten-konten yang mengandung unsur normalisasi pelecehan seksual, baik dalam bentuk humor, iklan, maupun tayangan hiburan yang merendahkan perempuan.
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, upaya penghentian pelecehan seksual di Indonesia membutuhkan strategi holistik yang mencakup reformasi hukum, perubahan budaya, peningkatan literasi publik, serta penguatan sistem perlindungan korban. Hukum progresif menuntut bahwa keadilan tidak hanya terletak pada teks undang-undang, tetapi juga pada implementasi yang nyata dan berdampak luas.
Masyarakat harus didorong untuk bersikap nol toleransi terhadap segala bentuk pelecehan seksual. Dengan pendekatan hukum progresif, Indonesia memiliki peluang besar untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan bermartabat bagi semua warganya.