Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Merayakan Imlek dalam Solidaritas Jawa dan Muslim Tionghoa
29 Januari 2025 20:09 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perayaan Imlek 2025 di Semarang menjadi saksi bagaimana komunitas Muslim Tionghoa tetap mempertahankan tradisi leluhur, sekaligus menjaga akar Islam yang telah bersemi sejak kedatangan Laksamana Cheng Ho pada abad ke-15. Berbalut warna merah dan emas, lantunan doa mengiringi prosesi penghormatan bagi para leluhur, yang dipadukan dengan nilai-nilai Islam yang telah menjadi bagian dari identitas mereka. Bagi komunitas Muslim Tionghoa, Imlek bukan sekadar perayaan tahun baru, tetapi juga momen refleksi sejarah panjang hubungan antara budaya Tionghoa dan Islam di Nusantara.
ADVERTISEMENT
Laksamana Cheng Ho, penjelajah muslim asal Yunnan dari Dinasti Ming (1368-1644), menjadi tokoh kunci dalam penyebaran Islam di Nusantara. Kedatangannya ke Semarang bukan hanya membawa misi diplomasi dan perdagangan, tetapi juga membangun jaringan sosial antara Tionghoa dan masyarakat Jawa. Warisan Cheng Ho masih dapat ditemukan di berbagai situs bersejarah, seperti Masjid Cheng Ho di Gedong Batu, Simongan, Semarang yang menjadi simbol akulturasi budaya Tionghoa dan Islam sejak 1401. Meskipun pada akhirnya, masjid Cheng Ho berubah menjadi klenteng Sam Poo Tay Djien atau Sam Po Kong.
Komunitas Muslim Tionghoa yang berkembang di Semarang merupakan hasil asimilasi panjang sejak zaman Cheng Ho, yang semakin menguat dalam berbagai peristiwa sejarah, termasuk perlawanan terhadap kekuasaan kolonial dan otoritarianisme di Jawa. Mereka tidak hanya menjadi bagian dari kehidupan sosial Jawa, tetapi juga mempertahankan nilai-nilai Islam dalam budaya mereka.
ADVERTISEMENT
Geger Pecinan 1740: Solidaritas Jawa-Tionghoa dalam Sejarah
Solidaritas antara etnis Tionghoa dan masyarakat Jawa mencapai puncaknya dalam peristiwa Geger Pecinan pada 1740. Setelah pembantaian etnis Tionghoa di Batavia pada 1727, gelombang perlawanan meluas hingga ke Semarang dan Kartasura, yang saat itu menjadi pusat kekuasaan Mataram. Raden Mas Garendi cucu dari Amangkurat III, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Kuning, memimpin pasukan gabungan Jawa dan Muslim Tionghoa dalam serangan terhadap kantor dagang VOC di Semarang. Peristiwa ini mencerminkan kohesi sosial antara kedua komunitas yang memiliki kepentingan bersama dalam melawan ketidakadilan.
Menurut Muh Khamdan dalam bukunya Politik Identitas dan Perebutan Hegemoni Kuasa (2021), pasukan Sunan Kuning menyebar dari Cirebon, Tegal, Demak, Rembang, Jepara, hingga Surabaya. Perlawanan ini menunjukkan bagaimana komunitas Muslim Tionghoa telah menjadi bagian dari dinamika politik dan sosial Jawa, serta memperkuat hubungan antarbudaya yang bertahan hingga kini.
ADVERTISEMENT
Kini, komunitas Muslim Tionghoa di Semarang terus menjaga tradisi mereka sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan sejarah panjang peradaban yang telah menyatukan Islam dan budaya Tionghoa. Perayaan Imlek menjadi momentum untuk mempererat kembali kohesi sosial antara komunitas Tionghoa dan Jawa, mengingat bahwa mereka telah berbagi sejarah yang penuh perjuangan dan solidaritas.
Dalam suasana Imlek, masjid-masjid yang didirikan oleh komunitas Muslim Tionghoa seringkali menggelar doa bersama, berbagi makanan halal khas perayaan, serta mengundang masyarakat dari berbagai latar belakang untuk ikut serta. Ini bukan hanya sekadar perayaan budaya, tetapi juga manifestasi dari semangat inklusivitas dan harmoni yang telah lama dijaga.
Ketika lilin-lilin merah menyala di klenteng dan gema azan berkumandang dari masjid-masjid sekitar Semarang, kita diingatkan kembali bahwa keberagaman bukanlah halangan, melainkan kekuatan yang telah mengakar selama berabad-abad. Imlek 2025 adalah pengingat bahwa sejarah persaudaraan antara komunitas Muslim Tionghoa dan masyarakat Jawa bukan sekadar kenangan masa lalu, tetapi warisan yang harus terus dijaga untuk masa depan yang lebih harmonis.
ADVERTISEMENT
Imlek bukan sekadar perayaan, tetapi jembatan sejarah yang menyatukan warisan leluhur, kebersamaan budaya, dan harmoni antarumat beragama. Seperti jejak Laksamana Cheng Ho yang menyatukan Islam dan Tionghoa di Nusantara, kebersamaan adalah cahaya yang terus menerangi masa depan di Nusantara.