Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Paradigma Baru Pemidanaan dalam KUHP 2023, Dari Pembalasan ke Rehabilitatif
7 Februari 2025 13:07 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Sosialisasi KUHP di Hotel Grand Mercure Medan Angkasa (Sumber: Kumparan).](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkf81gbgphq9d537hw0gpc52.jpg)
ADVERTISEMENT
Berakhirnya dualisme sistem hukum pidana di Indonesia dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menandai era baru dalam sistem pemidanaan. Reformasi ini tidak sekadar mengganti KUHP warisan kolonial, tetapi juga merefleksikan perkembangan paradigma pemidanaan modern.
ADVERTISEMENT
KUHP 2023 membawa semangat baru dengan menempatkan visi keadilan korektif, deliberatif, dan rehabilitatif. Pergeseran ini menegaskan bahwa pidana bukan sekadar alat pembalasan dendam (retributive justice), tetapi instrumen pembentukan budaya hukum pidana yang lebih humanis dan berorientasi pada kesejahteraan sosial.
Selama ini, sistem pemidanaan di Indonesia lebih menitikberatkan pada aspek retributif, yakni hukuman sebagai balasan atas perbuatan pelaku. Konsep ini mengakar dalam KUHP lama yang berbasis asas klasik dari teori pembalasan. Namun, KUHP 2023 memperkenalkan pendekatan yang lebih progresif dengan mengadopsi keadilan korektif dan rehabilitatif.
Dalam konteks ini, pemidanaan bukan sekadar menghukum, tetapi juga memperbaiki perilaku pelaku agar dapat kembali ke masyarakat sebagai individu yang lebih baik. Hukuman harus mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan korban, pelaku, dan masyarakat, sebagaimana terlihat dalam konsep restorative justice yang semakin mendapat tempat dalam praktik peradilan pidana.
ADVERTISEMENT
Dimensi Sosiologis Pemidanaan
Dalam teori sosiologi hukum, perubahan sistem pemidanaan dalam KUHP 2023 mencerminkan kebutuhan masyarakat yang dinamis. Hukum pidana bukan hanya sekadar aturan normatif, tetapi juga alat rekayasa sosial (social engineering) yang bertujuan menciptakan keteraturan dan harmoni sosial.
Pendekatan deliberatif dalam pemidanaan berarti bahwa hukum pidana harus memberikan ruang bagi musyawarah dan keterlibatan masyarakat dalam penyelesaian perkara. KUHP baru membuka jalan bagi mekanisme penyelesaian di luar pengadilan, terutama untuk kasus-kasus tertentu yang lebih tepat diselesaikan melalui pendekatan non-litigasi.
Sementara itu, rehabilitatif justice mengedepankan pemulihan individu dibandingkan penghukuman semata. Konsep ini mendorong kebijakan pemidanaan yang lebih adaptif, seperti pidana alternatif berupa kerja sosial, pembinaan, dan pengawasan yang bertujuan membangun karakter pelaku agar tidak kembali melakukan kejahatan (recidivism).
ADVERTISEMENT
KUHP 2023 juga menegaskan pentingnya pembentukan budaya hukum pidana yang tidak hanya menakuti, tetapi juga mendidik masyarakat. Pendekatan ini menekankan bahwa hukum pidana bukanlah instrumen utama dalam mengatur perilaku sosial, melainkan bagian dari sistem hukum yang harus berjalan seiring dengan kesadaran hukum masyarakat.
Budaya hukum yang baik bukan dibangun melalui hukuman berat dan efek jera semata, melainkan melalui sistem yang memberikan kesempatan bagi individu untuk memahami konsekuensi perbuatannya serta memperbaiki diri. Oleh karena itu, penerapan sanksi pidana dalam KUHP 2023 harus memperhatikan aspek kemanusiaan dan efektivitas dalam membangun tatanan masyarakat yang lebih baik.
KUHP 2023 telah membawa angin segar dalam sistem hukum pidana Indonesia dengan menggeser paradigma pemidanaan dari retributif menuju keadilan korektif, deliberatif, dan rehabilitatif. Pendekatan ini bukan hanya relevan dengan perkembangan ilmu hukum modern, tetapi juga lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang.
ADVERTISEMENT
Ke depan, tantangan terbesar adalah bagaimana implementasi sistem pemidanaan yang lebih manusiawi ini dapat berjalan efektif. Sinergi antara penegak hukum, masyarakat, dan pelaku kebijakan sangat diperlukan untuk memastikan bahwa visi besar dari reformasi hukum ini benar-benar tercapai: hukum yang tidak hanya menghukum, tetapi juga memperbaiki dan membangun kesadaran hukum yang lebih baik bagi seluruh elemen masyarakat.