Konten dari Pengguna

PBB di Persimpangan Jalan dan Peran Indonesia dalam Reformasi Tata Dunia

Muh Khamdan
Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bekerja sebagai Widyaiswara Balai Diklat Hukum dan HAM Jawa Tengah
13 April 2025 18:17 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana sidang umum PBB (Sumber: Kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana sidang umum PBB (Sumber: Kumparan)
ADVERTISEMENT
Dunia sedang berubah cepat, namun lembaga-lembaga global justru berjalan tertatih. Ketimpangan dalam tata kelola global kian terlihat nyata, terutama saat dunia menghadapi krisis multidimensi, dari pandemi, perubahan iklim, konflik bersenjata, hingga ketimpangan ekonomi. Ironisnya, di tengah kebutuhan akan kerja sama internasional yang lebih kuat, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) justru tampak kehilangan arah.
ADVERTISEMENT
PBB hari ini tak lagi fit for purpose. Lembaga yang dahulu didirikan untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional kini justru menjadi simbol stagnansi. Dewan Keamanan PBB misalnya, masih didominasi oleh negara-negara pemenang Perang Dunia II. Veto lima anggota tetap, meliputi AS, Rusia, China, Inggris, dan Prancis membuat keputusan-keputusan vital terhenti. Dunia bergerak, namun sistemnya membatu.
Ketimpangan ini tidak hanya menghambat resolusi konflik, tetapi juga memperdalam jurang antara negara-negara Utara dan Selatan. Negara-negara berkembang, terutama di Global South, nyaris tak memiliki ruang untuk mengartikulasikan kepentingannya secara adil. Prinsip equality of state bahwa semua negara, besar atau kecil, harus setara dalam tatanan internasional, hanya menjadi jargon kosong.
Contoh lainnya adalah World Trade Organization (WTO). Lembaga ini seharusnya mengatur perdagangan global secara adil, tetapi realitanya lebih sering melanggengkan kepentingan negara-negara industri maju. Negara berkembang kerap didikte melalui kebijakan dagang, proteksionisme terselubung, dan diskriminasi tarif. Ketika pandemi melanda, tidak ada keadilan dalam distribusi vaksin. Negara berkembang terpaksa menjadi penonton.
ADVERTISEMENT
Dalam kerangka teori hubungan internasional, pendekatan realism menjelaskan dominansi kekuatan besar sebagai keniscayaan. Namun pendekatan liberal institutionalism mengingatkan kita bahwa lembaga internasional semestinya mengoreksi ketimpangan tersebut. Sayangnya, realita menunjukkan lembaga-lembaga itu sudah terkooptasi logika kekuasaan.
Kebutuhan akan reformasi global bukan hanya seruan idealistik, melainkan kebutuhan praktis. Tanpa reformasi, dunia akan semakin terjebak dalam krisis kepercayaan. Ketika lembaga multilateral gagal menyelesaikan persoalan global, maka jalan keluar yang diambil negara-negara justru adalah unilateralisme dan blok-blok kekuatan baru. Ini bukan dunia yang aman bagi siapapun.
Pada Sidang Majelis Umum PBB ke-79 pada September 2024, dunia menyepakati Pact of the Future, sebuah dokumen politis yang mencerminkan kehendak bersama untuk membenahi sistem global. Ini momentum penting. Tetapi reformasi tidak akan terjadi hanya dengan wacana. Diperlukan kepemimpinan politik yang berani dan visi baru tentang masa depan multilateralisme.
ADVERTISEMENT
Indonesia, sebagai negara dengan sejarah panjang diplomasi, punya rekam jejak penting. Kita tidak boleh lupa bahwa pada April 1955, Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika di Bandung. Dalam konferensi inilah suara negara-negara yang baru merdeka disatukan. Gagasan solidaritas Selatan-Selatan lahir dan menjadi dasar dari Gerakan Non-Blok.
Semangat Bandung adalah semangat resistensi terhadap dominasi sistem global yang timpang. Kini, dunia membutuhkan semangat itu kembali. Indonesia memiliki peluang untuk kembali menjadi juru damai dan motor penggerak reformasi tata kelola global. Dengan posisi strategis di G20, ASEAN, dan sebagai anggota Dewan HAM PBB, suara Indonesia sangat diperhitungkan.
Reformasi Dewan Keamanan PBB harus menjadi prioritas. Struktur yang hanya mengandalkan lima anggota tetap tidak lagi relevan. Dunia hari ini jauh lebih multipolar. Negara-negara seperti India, Brasil, Afrika Selatan, Indonesia, dan Mesir layak menjadi bagian dari kepemimpinan global. Ini bukan soal kuantitas, tetapi soal legitimasi.
ADVERTISEMENT
Kita juga perlu mendesak reformasi pada mekanisme voting dan representasi di lembaga seperti IMF dan Bank Dunia. Keputusan-keputusan finansial global tidak bisa terus-menerus didominasi oleh satu blok negara. Dunia Selatan harus memiliki voice dan vote yang sepadan, bukan sekadar menjadi obyek kebijakan.
Lembaga multilateral juga perlu lebih inklusif terhadap aktor non-negara. Di era globalisasi digital, peran masyarakat sipil, sektor swasta, dan komunitas lokal sangat penting. Multilateralisme abad ke-21 tidak bisa elitis. Ia harus partisipatif, transparan, dan akuntabel.
Dalam konteks ini, prinsip sovereign equality dari Piagam PBB harus direvitalisasi. Tidak ada negara yang lebih penting dari negara lain. Dunia yang adil hanya mungkin jika semua negara diperlakukan setara, baik dalam hak, tanggung jawab, maupun akses terhadap sumber daya dan pengambilan keputusan.
ADVERTISEMENT
Reformasi juga harus menyentuh aspek nilai. Kita butuh multilateralisme yang berakar pada keadilan sosial, solidaritas global, dan tanggung jawab antargenerasi. Kita tidak bisa lagi berbicara tentang pembangunan berkelanjutan jika sistem global sendiri tidak berkelanjutan.
Teori constructivism dalam hubungan internasional menekankan pentingnya ide, identitas, dan norma dalam membentuk dunia. Maka, membentuk dunia yang baru berarti membentuk norma baru tentang solidaritas, partisipasi, dan kolaborasi setara. Di sinilah pendidikan global, diplomasi budaya, dan kekuatan narasi memainkan peran penting.
Dunia tidak kekurangan sumber daya. Hal yang kita kekurangan adalah keadilan dalam distribusi dan keberanian untuk berubah. Krisis iklim, krisis pangan, dan krisis energi menunjukkan bahwa masalah global tidak mengenal batas negara. Kita butuh lembaga yang bekerja, bukan yang hanya bicara.
ADVERTISEMENT
Jika PBB gagal beradaptasi, maka akan lahir bentuk-bentuk kerja sama baru di luar sistem. Risiko dari hal ini adalah fragmentasi sistem internasional, dan kembali pada hukum rimba. Dunia yang tidak dikelola bersama akan menjadi dunia yang dikuasai oleh yang kuat.
Maka, pilihan ada di depan mata, mesti mereformasi sistem global secara damai dan deliberatif, atau membiarkan runtuh dalam kebuntuan. Indonesia pernah memimpin jalan keluar dari konfrontasi dunia pada 1955. Kini saatnya, Indonesia kembali memimpin dunia ke masa depan yang lebih adil.