news-card-video
12 Ramadhan 1446 HRabu, 12 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Penerapan Hukuman Mati untuk Koruptor

Muh Khamdan
Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bekerja sebagai Widyaiswara Balai Diklat Hukum dan HAM Jawa Tengah
11 Maret 2025 14:32 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hukuman mati dengan tembakan senjata api (Sumber: Kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hukuman mati dengan tembakan senjata api (Sumber: Kumparan)
ADVERTISEMENT
Gelombang kegeraman publik terhadap praktik korupsi di Indonesia mencapai puncaknya, seiring terungkapnya skandal-skandal korupsi dengan angka fantastis. Kasus dugaan korupsi Pertamina misalnya, memiliki potensi kerugian mencapai 968 triliun rupiah. Disusul kemudian oleh korupsi PT Timah sebesar 300 triliun, BLBI sebesar 138 triliun, dan sederet kasus lainnya telah memantik diskusi mengenai urgensi penerapan hukuman mati bagi koruptor. Masyarakat bahkan merespons dengan menyusun "klasemen korupsi", mencerminkan besarnya tuntutan agar negara bersikap lebih tegas terhadap pelaku korupsi yang merampas hak rakyat.
ADVERTISEMENT
Dalam ranah hukum Indonesia, hukuman mati bagi koruptor sebenarnya telah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Ketentuan ini menyebutkan bahwa hukuman mati dapat dijatuhkan dalam keadaan tertentu. Namun hingga saat ini, belum ada satu pun vonis yang menjatuhkan pidana mati terhadap pelaku korupsi. Hal demikian menimbulkan pertanyaan, apakah hukum yang berlaku tidak cukup implementatif, ataukah ada kendala dalam penerapannya di tingkat yudisial.
Dalam teori pemidanaan, hukuman mati sering dikaitkan dengan pendekatan retributif yang menitikberatkan pada pembalasan setimpal terhadap kejahatan yang dilakukan. Korupsi yang merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah jelas menimbulkan dampak luas terhadap kesejahteraan rakyat, menghambat pembangunan, serta memperdalam ketimpangan sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, secara normatif, penerapan hukuman mati bagi koruptor yang telah menyebabkan kondisi darurat di berbagai sektor masyarakat dapat dianggap sebagai langkah yang pantas dan proporsional.
ADVERTISEMENT
Namun, efektivitas hukuman mati sebagai instrumen penjeraan masih menjadi perdebatan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ancaman hukuman mati tidak selalu efektif dalam menekan angka kejahatan, termasuk korupsi. Faktor utama yang lebih berpengaruh adalah kepastian hukum dan efektivitas penegakan hukum. Jika mekanisme hukum masih membuka celah bagi pelaku untuk lolos dari jerat hukuman berat, maka ancaman hukuman mati pun menjadi tidak menakutkan. Di sisi lain, ketika sanksi bagi koruptor hanya sebatas pidana 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta, publik semakin kehilangan kepercayaan terhadap sistem peradilan pidana.
Penerapan hukuman mati juga harus mempertimbangkan prinsip keadilan hukum. Pasal 100 KUHP yang baru (UU Nomor 1 Tahun 2023) memberikan ruang bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman mati secara terbatas, dengan opsi perubahan menjadi pidana seumur hidup jika terpidana menunjukkan perubahan perilaku dalam masa percobaan. Ini mencerminkan paradigma baru pemidanaan yang lebih fleksibel dan mempertimbangkan aspek kemanusiaan. Namun, fleksibilitas ini juga berpotensi menimbulkan ketidakpastian dalam eksekusi hukuman bagi koruptor kelas kakap. Tanpa aturan pelaksanaan yang konkret, dikhawatirkan pelaksanaan hukuman mati dalam KUHP 2023 justru terjadi disparitas. Penerapan hukuman mati dengan masa percobaan maupun perubahan hukuman pidananya, berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
ADVERTISEMENT
Reformasi hukum pidana di Indonesia harus terus didorong agar hukuman bagi koruptor benar-benar memberikan efek jera. Hukuman mati dapat tetap menjadi opsi dalam keadaan tertentu, terutama bagi kasus yang melibatkan kerugian negara dalam jumlah luar biasa besar dan berdampak luas pada masyarakat. Namun jika implementasinya masih terganjal, maka perlu ada terobosan lain yang lebih efektif, seperti penerapan pidana seumur hidup tanpa remisi dan penyitaan seluruh aset hasil korupsi.
Selain itu, pemulihan kerugian negara harus menjadi fokus utama dalam setiap penindakan kasus korupsi. Model pemidanaan yang lebih menitikberatkan pada pengembalian aset hasil kejahatan (asset recovery) bisa menjadi solusi yang lebih bermanfaat bagi negara, dibanding sekadar hukuman mati. Hukuman penjara yang diperberat dengan kewajiban pengembalian dana hasil korupsi bisa lebih efektif dalam memberikan keadilan bagi masyarakat yang menjadi korban korupsi.
ADVERTISEMENT
Pendekatan lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah memperketat sistem pencegahan korupsi. Hukuman berat tidak akan berdaya guna jika sistem pengawasan masih lemah dan memberikan ruang bagi korupsi untuk terus berkembang. Oleh karenanya, reformasi birokrasi, peningkatan transparansi, serta penguatan kelembagaan antikorupsi harus berjalan seiring dengan penegakan hukum yang tegas.
Meskipun hukuman mati bagi koruptor memiliki dasar hukum dan dapat diterapkan dalam keadaan tertentu, penerapannya masih terbentur berbagai kendala, baik aspek hukum maupun efektivitas penjeraannya. Reformasi hukum pidana perlu terus dilakukan untuk memastikan bahwa setiap vonis terhadap koruptor benar-benar memenuhi aspek keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Tanpa itu, perdebatan mengenai hukuman mati bagi koruptor hanya akan menjadi wacana tanpa implementasi nyata yang dapat mengatasi masalah korupsi secara menyeluruh.
ADVERTISEMENT