Konten dari Pengguna
Perpres 66/2025, Pilar Baru Perlindungan Jaksa dalam Negara Hukum Modern
22 Mei 2025 18:03 WIB
·
waktu baca 5 menitKiriman Pengguna
Perpres 66/2025, Pilar Baru Perlindungan Jaksa dalam Negara Hukum Modern
Perpres 66/2025, Pilar Baru Perlindungan Jaksa dalam Negara Hukum Modern. Penandatanganan perpres 66/2025 adalah tonggak baru dalam relasi antar institusi penegak hukum dan pertahanan nasional.Muh Khamdan

Tulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penandatanganan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2025 oleh Presiden Prabowo Subianto tentang Perlindungan Negara terhadap Jaksa dalam Melaksanakan Tugas dan Fungsi Kejaksaan Republik Indonesia adalah tonggak baru dalam relasi antar institusi penegak hukum dan pertahanan nasional. Perpres ini menegaskan bahwa perlindungan terhadap jaksa tidak hanya tanggung jawab internal Kejaksaan atau Polri, tetapi juga melibatkan TNI, institusi yang selama ini identik dengan pertahanan luar negeri dan kedaulatan teritorial.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ancaman terhadap aparat penegak hukum, terutama jaksa yang kerap berhadapan dengan mafia hukum, koruptor, dan pelaku kejahatan terorganisasi, Perpres ini adalah respons normatif atas eskalasi ancaman terhadap aparat negara. Negara dituntut tidak hanya hadir melalui retorika politik, tetapi melalui instrumen hukum konkret.
Pasal 1 ayat (1) Perpres ini mendefinisikan “perlindungan negara” sebagai jaminan rasa aman terhadap jaksa dari ancaman yang membahayakan jiwa, raga, dan harta benda. Definisi ini menempatkan negara dalam posisi proaktif, bukan reaktif. Dalam pendekatan hukum administrasi negara, ini merupakan realisasi asas perlindungan hukum (rechtsbescherming) yang menjadi hak dasar aparatur negara dalam menjalankan tugas.
Pasal 1 ayat (2) menafsirkan “ancaman” secara luas sebagai bentuk paksaan maupun intimidasi langsung dan tidak langsung. Hal ini penting, karena tugas jaksa bersifat strategis dan sering bersentuhan dengan kekuatan non-negara seperti sindikat ekonomi gelap dan organisasi kriminal transnasional. Negara wajib mengintervensi demi menjaga kewibawaan hukum.
ADVERTISEMENT
Pasal 3 menyebutkan bahwa perlindungan dilakukan atas permintaan jaksa. Hal ini secara administratif memberi ruang kontrol dan kehati-hatian, agar perlindungan tidak disalahgunakan atau dijadikan alat elitisasi. Dalam kerangka hukum administrasi, ini merupakan bentuk discretionary power yang dikunci dengan mekanisme permintaan resmi.
Keterlibatan TNI dalam perlindungan jaksa menimbulkan diskursus teoritis. Dalam teori kewenangan pertahanan, tugas pokok TNI adalah menjaga kedaulatan negara dari ancaman luar. Namun, dalam doktrin total defense, perlindungan terhadap aparat hukum yang diserang oleh entitas bersenjata atau terorganisir juga merupakan bagian dari perlindungan terhadap stabilitas nasional.
Pelibatan TNI dalam Perpres ini bisa dibaca sebagai perluasan tafsir terhadap peran TNI di luar perang (military operations other than war). Jika ancaman terhadap jaksa telah melewati batas konvensional dan mengarah pada destabilitas nasional, maka pelibatan TNI bukan hanya sah secara hukum, tetapi juga wajib secara etik dan konstitusional.
ADVERTISEMENT
Jaksa adalah pilar utama dalam penegakan hukum. Ancaman terhadap jaksa adalah ancaman terhadap kedaulatan hukum. Dalam teori negara hukum, salah satu ciri esensial adalah adanya jaminan perlindungan terhadap aparat penegak hukum. Maka, Perpres ini memperkuat prinsip rule of law, bukan sebaliknya.
Pasal 5 ayat (2) menegaskan bahwa anggota keluarga juga berhak atas perlindungan. Ini penting dalam konteks ancaman tak langsung yang kerap menyasar keluarga sebagai cara membungkam jaksa. Perspektif hukum administrasi menyetujui prinsip derivative protection, yaitu perlindungan yang menjalar pada entitas yang secara hukum dan sosial bergantung pada subjek utama.
Perlindungan terhadap jaksa bukan hanya isu hukum, tapi juga isu pertahanan. Ketika integritas hukum nasional terganggu oleh ancaman terorganisir, maka kerusakan sistemik yang terjadi bisa setara dengan agresi terhadap kedaulatan nasional. Disinilah irisan antara hukum dan pertahanan menjadi nyata dan penting.
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran akan potensi overlapping antara TNI dan Polri harus dijawab dengan regulasi teknis turunan yang tegas. Perlu SOP (Standard Operating Procedure) yang mengatur teknis pelibatan TNI agar tidak menimbulkan dualisme otoritas dan tetap berada dalam koridor sipil supremasi.
Keberhasilan implementasi Perpres 66/2025 bergantung pada harmonisasi antar Kejaksaan, Polri, dan TNI. Ini adalah momentum penguatan sinergitas lintas sektor. Harus ada forum koordinasi permanen yang melibatkan ketiganya untuk memastikan tidak ada salah tafsir terhadap peran dan tanggung jawab masing-masing institusi.
Perlu dicermati bahwa pelibatan TNI jangan sampai ditafsirkan sebagai militerisasi penegakan hukum. Perpres ini bukan tentang memberikan TNI kuasa investigatif atau yurisdiksi hukum, melainkan murni pada fungsi perlindungan pasif. Hal ini penting agar tidak terjadi blurring of roles yang bertentangan dengan prinsip negara sipil.
ADVERTISEMENT
Di era ancaman hybrid dan proxy war, pelaku kejahatan tak lagi hanya menggunakan senjata konvensional, tetapi juga kekuatan ekonomi dan politik. Jaksa, sebagai bagian dari sistem keadilan, kerap menjadi target serangan non-fisik. Maka, kehadiran Perpres ini adalah langkah preventif negara menghadapi spektrum ancaman baru.
Sebelum Perpres ini hadir, belum ada regulasi spesifik yang memberi jaminan perlindungan menyeluruh terhadap jaksa. Kehadiran Perpres 66/2025 menutup kekosongan itu dan memberikan kerangka hukum yang lebih pasti bagi aparat hukum untuk bekerja tanpa intimidasi.
Perlu sistem evaluasi berkala terhadap implementasi Perpres ini. Pengawasan administratif dari Kemenkopolhukam dan pengawasan yudisial dari Mahkamah Agung atau lembaga independen seperti Komnas HAM menjadi penting agar pelaksanaan Perpres tetap pada rel konstitusional dan tidak melampaui kewenangan.
ADVERTISEMENT
Prabowo, sebagai Presiden yang berlatar belakang militer, perlu menunjukkan bahwa pelibatan TNI adalah instrumen negara, bukan refleksi personal. Perpres ini harus dilandasi etika kekuasaan yang menjunjung tinggi hukum sebagai panglima, bukan kekuatan militer.
Akhirnya, Perpres 66/2025 adalah wujud nyata dari adagium klasik “Negara tidak boleh kalah oleh kejahatan.” Dalam sistem hukum administrasi negara, ini adalah manifestasi dari kewajiban negara melindungi aparaturnya, menjamin pelaksanaan hukum, dan mengamankan kedaulatan. Negara harus hadir, bukan hanya sebagai penonton, tetapi sebagai pelindung hukum dan penjaga integritas bangsa.