Konten dari Pengguna

Potensi Gagalnya Gencatan Senjata Hamas-Israel dan Implikasi Regional

Muh Khamdan
Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bekerja sebagai Widyaiswara Balai Diklat Hukum dan HAM Jawa Tengah
11 Februari 2025 20:05 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pembebasan sandera yang ditahan Hamas di Gaza sejak serangan mematikan 7 Oktober 2023, sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata (Sumber: Kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pembebasan sandera yang ditahan Hamas di Gaza sejak serangan mematikan 7 Oktober 2023, sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata (Sumber: Kumparan)
ADVERTISEMENT
Kesepakatan gencatan senjata antara Hamas dan Israel yang mulai berlaku pada 19 Januari dan dijadwalkan akan berlanjut ke tahapan kedua, kini menghadapi ancaman kegagalan. Hingga sekarang, pertukaran sandera telah terjadi sebanyak lima kali. Akan tetapi, perkembangan terbaru di tingkat geopolitik berpotensi menggagalkan fase kedua dari perjanjian ini.
ADVERTISEMENT
Setelah pertemuan antara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, menghasilkan rencana kontroversial untuk merelokasi warga Gaza ke Mesir, Yordania, dan Arab Saudi. Ide “konyol” itu direspon oleh Hamas selaku pemegang kendali atas Gaza, dengan mengancam penundaan pertukaran sandera. Sementara itu, Israel juga meningkatkan kesiagaan pasukan militer IDF di sekitar perbatasan Gaza.
Rencana relokasi paksa warga Gaza menjadi pemicu ketegangan baru yang memperburuk situasi. Hamas dan banyak negara Arab menilai langkah ini sebagai bentuk pembersihan etnis terselubung yang melanggar hukum internasional dan hak asasi manusia. Sebaliknya, Israel mengklaim bahwa relokasi bertujuan untuk menciptakan stabilitas keamanan bagi wilayahnya. Konsekuensi dari rencana ini bisa sangat berbahaya bagi kelanjutan gencatan senjata, karena Hamas mungkin akan menarik diri dari negosiasi dan melanjutkan perlawanan bersenjata. Terlebih Hamas sudah mempertontonkan hegemoninya dalam selebrasi penyerahan sandera militer Israel.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dukungan Amerika Serikat terhadap kebijakan Israel semakin memperumit situasi. Jika Washington terus memberikan restu terhadap kebijakan ekspansif Israel, negara-negara Arab dan kelompok-kelompok perlawanan di kawasan akan meningkatkan perlawanan, baik secara diplomatik maupun militer. Situasi ini tidak hanya berimplikasi pada konflik Israel-Palestina, tetapi juga dapat memicu ketegangan lebih luas di Timur Tengah.
Iran yang dikenal sebagai pendukung utama Hamas dan kelompok perlawanan lainnya, kemungkinan akan meningkatkan keterlibatannya. Hal itu bisa melalui dukungan finansial maupun pasokan persenjataan. Iran telah lama menggunakan isu Palestina sebagai bagian dari strategi geopolitiknya untuk memperkuat pengaruh di kawasan dan menentang dominasi Israel serta Amerika Serikat. Iran juga sudah membangun aliansi nuklir dengan Rusia dan Korea Utara. Hubungan geopolitik demikian bisa menimbulkan terbentuknya aliansi peperangan lintas negara.
ADVERTISEMENT
Selain Iran, kelompok Houthi di Yaman juga dapat memainkan peran dalam meningkatkan ketegangan. Sejak awal konflik, Houthi telah menyatakan dukungannya terhadap Palestina dan bahkan melancarkan serangan terhadap kapal-kapal yang terkait dengan Israel di Laut Merah. Jika gencatan senjata gagal dan konflik meningkat, ada kemungkinan Houthi akan meningkatkan serangan terhadap kepentingan Israel di kawasan.
Di Lebanon, Hizbullah sebagai sekutu utama Iran juga dapat memanfaatkan momentum ini untuk melancarkan serangan terhadap Israel dari perbatasan utara. Israel telah lama menganggap Hizbullah sebagai ancaman strategis, dan setiap eskalasi yang melibatkan kelompok ini dapat memicu perang multi-front yang lebih luas.
Negara-negara Arab seperti Yordania dan Mesir juga menghadapi dilema dalam situasi ini. Yordania telah menolak keras ide relokasi warga Gaza ke wilayahnya, mengingat dampak politik dan sosial yang bisa terjadi. Demikian pula Mesir, yang selama ini menjadi mediator antara Hamas dan Israel, dapat mengalami tekanan besar dari rakyatnya jika terlihat terlalu mendukung kepentingan Israel. Jika Mesir dan Yordania mengambil langkah keras untuk menolak rencana Israel, ketegangan diplomatik di kawasan akan semakin meningkat.
ADVERTISEMENT
Hilangnya Peran Dewan Keamanan PBB
Dewan Keamanan PBB yang seharusnya menjadi lembaga utama dalam menjaga perdamaian dunia, tampak kehilangan peran strategisnya dalam menyelesaikan konflik ini. Hak veto yang dimiliki oleh lima negara anggota tetap telah menghambat resolusi yang adil dan efektif. Amerika Serikat, sebagai salah satu pemegang hak veto, terus menggunakan pengaruhnya untuk melindungi kebijakan Israel, bahkan ketika tindakan tersebut mendapat kecaman internasional.
Ketidakmampuan Dewan Keamanan PBB dalam menegakkan ketertiban global telah mendorong sejumlah negara untuk meninjau ulang keberadaan PBB. Geopolitik global telah menunjukkan bahwa negara-negara semakin bergantung pada pakta pertahanan regional. Hal itu dipilih sebagai langkah untuk mengimbangi dominasi Amerika Serikat, yang masih memposisikan dirinya sebagai "polisi dunia." Aliansi pertahanan seperti yang dipimpin Rusia dan penguatan hubungan strategis antara China, Iran, sekaligus negara-negara Teluk, menunjukkan adanya upaya menciptakan keseimbangan kekuatan baru di dunia. Jika tren ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin dunia akan mengalami polarisasi yang berujung pada konflik berskala lebih luas.
ADVERTISEMENT
Gagalnya gencatan senjata antara Hamas dan Israel tidak hanya berdampak pada kedua pihak yang bertikai tetapi juga berpotensi mengguncang stabilitas kawasan Timur Tengah secara keseluruhan. Dengan meningkatnya keterlibatan aktor-aktor regional seperti Iran, Hizbullah, Houthi, serta negara-negara Arab yang lebih bersimpati kepada Palestina, kemungkinan eskalasi konflik menjadi semakin besar. Amerika Serikat juga harus mempertimbangkan kembali pendekatannya dalam mendukung Israel, karena keberpihakan yang berlebihan dapat semakin memicu ketegangan di kawasan dan menghambat upaya perdamaian jangka panjang.
Jika tidak ada solusi diplomatik yang berimbang dan inklusif, maka Timur Tengah akan terus berada dalam lingkaran kekerasan yang sulit diputus, dengan konsekuensi yang jauh lebih luas dari sekadar konflik antara Hamas dan Israel. Perdamaian sejati tidak lahir dari dominasi kekuatan, tetapi dari keseimbangan keadilan. Ketika institusi global melemah, bangsa-bangsa harus bersatu, bukan untuk perang tetapi untuk menegakkan keadilan yang sesungguhnya.
ADVERTISEMENT