Konten dari Pengguna

Proyek Strategis Nasional, Antara Pembangunan dan Pelanggaran HAM

Muh Khamdan
Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bekerja sebagai Widyaiswara Balai Diklat Hukum dan HAM Jawa Tengah
5 Februari 2025 19:37 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai (kiri) bersama Wakil Menteri HAM Mugiyanto (kanan) menyampaikan paparan pada rapat kerja dengan Komisi XIII DPR di Kompleks Parlemen (Sumber: Kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai (kiri) bersama Wakil Menteri HAM Mugiyanto (kanan) menyampaikan paparan pada rapat kerja dengan Komisi XIII DPR di Kompleks Parlemen (Sumber: Kumparan)
ADVERTISEMENT
Dalam lima tahun terakhir, Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dicanangkan pemerintah kerap kali diwarnai oleh berbagai peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Berdasarkan rilis yang dikeluarkan oleh Kontras, sepanjang 2019–2023 terjadi setidaknya 79 peristiwa pelanggaran HAM terkait PSN di 22 provinsi di Indonesia. Tiga provinsi dengan catatan tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur sebanyak 12 peristiwa, Jawa Barat dengan 9 peristiwa, dan Jawa Tengah terjadi 9 peristiwa. Fenomena ini menyoroti kegagalan pemerintah, terutama Kementerian HAM, dalam memenuhi, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat yang terdampak oleh proyek-proyek besar ini.
ADVERTISEMENT
Salah satu kasus yang paling mencuat adalah konflik agraria di Pulau Rempang, Kepulauan Riau. Pemerintah menggagas proyek Rempang Eco City, yang diperuntukkan bagi kepentingan PT Mega Elok Graha (MEG). Namun, proyek ini justru mengancam keberadaan masyarakat adat Melayu yang telah mendiami pulau tersebut selama ratusan tahun. Dengan luas wilayah 17.000 hektar, proyek ini berpotensi menggusur ribuan jiwa dari tanah leluhur mereka. Tindakan represif aparat dalam merespons penolakan warga menjadi bukti nyata bagaimana kepentingan ekonomi lebih diutamakan dibandingkan dengan hak-hak masyarakat.
Kasus serupa terjadi di Wadas, Purworejo, di mana masyarakat menolak eksploitasi batu andesit untuk proyek Bendungan Bener. Kehadiran aparat bersenjata dan upaya intimidasi terhadap warga memperlihatkan pola pendekatan koersif dalam meredam perlawanan sipil. Hal yang sama juga terjadi di Nagari Air Bangis dan Natumingka, di mana proyek infrastruktur dan perkebunan skala besar telah merampas tanah masyarakat, sering kali tanpa konsultasi dan ganti rugi yang adil.
ADVERTISEMENT
PIK 2 dan Pemagaran Laut
Pelanggaran HAM tidak hanya terjadi di daratan tetapi juga di kawasan pesisir. Proyek reklamasi Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 di Tangerang, Banten, menghadirkan bentuk baru dari konflik PSN, yaitu pemagaran laut sepanjang 30 km. Praktik ini tidak hanya membatasi akses nelayan tradisional terhadap sumber daya laut tetapi juga berdampak terhadap ekosistem pesisir yang rentan. Keputusan ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan ekologis dan keberlanjutan lingkungan.
Dalam berbagai konflik PSN, pola pelanggaran HAM yang terjadi meliputi pembatasan informasi, serangan digital terhadap aktivis dan jurnalis, kekerasan fisik oleh aparat, serta tekanan psikologis melalui ancaman dan intimidasi. Ini mencerminkan minimnya ruang demokrasi bagi masyarakat yang ingin mempertahankan hak-hak mereka.
ADVERTISEMENT
Kealpaan pemerintah dalam menangani konflik-konflik ini telah menjadi sorotan Komisi XIII DPR RI, yang mempertanyakan Menteri Hukum dan HAM, Natalius Piagi, dalam rapat pada 5 Februari 2025. Tanggung jawab negara dalam pemenuhan HAM harus menjadi prioritas utama, bukan hanya sekadar retorika kebijakan. Pemerintah perlu memastikan bahwa PSN tidak berjalan di atas penderitaan rakyat, melainkan selaras dengan prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan.
Untuk memastikan PSN tidak menjadi pemicu pelanggaran HAM berskala nasional, negara wajib menjalankan tiga kewajiban utamanya. Pertama, kewajiban melindungi. Pemerintah harus memastikan bahwa masyarakat yang terdampak PSN tidak menjadi korban kekerasan aparat atau kepentingan swasta. Perlindungan ini harus diwujudkan melalui kebijakan yang mengedepankan pendekatan humanis, dialog partisipatif, serta pencegahan tindakan represif oleh aparat. Jelas peran ini mesti dilakukan oleh Kementerian HAM dengan memonitor sekaligus membuka layanan-layanan komunikasi masyarakat tentang adanya potensi maupun praktik pelanggaran HAM.
ADVERTISEMENT
Kedua, kewajiban menghormati. Negara harus menghindari tindakan yang justru memperburuk situasi HAM, seperti penggusuran paksa, kriminalisasi aktivis, atau pembatasan kebebasan berekspresi. Mekanisme konsultasi publik harus benar-benar dijalankan, bukan sekadar formalitas, agar hak masyarakat dalam menentukan masa depan wilayahnya tetap terjaga. Ketiga, kewajiban menyediakan akses bagi pemulihan. Negara harus memastikan bahwa korban pelanggaran HAM akibat PSN mendapatkan akses terhadap keadilan, ganti rugi, dan pemulihan sosial-ekonomi. Pemerintah harus membangun sistem pemantauan independen untuk mengevaluasi dampak proyek serta membuka ruang bagi korban untuk menyampaikan keluhannya tanpa rasa takut akan intimidasi atau balasan represif.
Pembangunan nasional seharusnya tidak mengorbankan hak-hak fundamental warga negara. Tanpa adanya reformasi kebijakan dan pendekatan yang lebih humanis, PSN hanya akan menjadi simbol modernisasi yang menindas. Pemerintah harus segera memperbaiki tata kelola proyek strategis agar selaras dengan standar HAM internasional, demi memastikan bahwa pembangunan berjalan tanpa mengorbankan masyarakat yang telah lebih dahulu hidup di tanahnya sendiri. Pembangunan sejati bukan hanya tentang infrastruktur yang megah, tetapi tentang keadilan yang ditegakkan, hak asasi yang dihormati, dan masyarakat yang sejahtera tanpa rasa takut akan penggusuran dan penindasan.
ADVERTISEMENT