Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Konten dari Pengguna
Psywar di Gaza: Perang Propaganda dan Strategi Militer Hamas vs Israel
27 Maret 2025 13:55 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Perang psikologis atau psywar menjadi salah satu elemen paling menonjol dalam konflik di Jalur Gaza, di mana propaganda digunakan oleh berbagai pihak untuk membentuk persepsi publik dan menciptakan tekanan politik. Kampanye yang mendorong Hamas untuk menyerahkan kekuasaan bukanlah sekadar desakan internal, melainkan juga bagian dari strategi Israel untuk mendiskreditkan kelompok tersebut.
ADVERTISEMENT
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, terus mengampanyekan narasi bahwa Hamas adalah organisasi teroris yang harus dihapus dari Gaza. Narasi ini mendapat respons dari sebagian warga Gaza yang melakukan demonstrasi menuntut Hamas untuk mundur dari kekuasaan. Fatah, sebagai rival politik utama Hamas, juga mendesak Hamas untuk melepas kekuasaan. Namun, pengalaman selama ini menunjukkan bahwa setiap kali Hamas ditekan untuk mundur, tidak ada jaminan bahwa agresi Israel terhadap Palestina akan berakhir.
Setiap kali terjadi kekosongan kekuasaan, Israel justru semakin meningkatkan dominasinya di wilayah Palestina. Hal ini mengindikasikan bahwa akar konflik bukan hanya soal Hamas sebagai entitas pemerintahan di Gaza, tetapi lebih pada perang perebutan teritorial dan sumber daya. Selama ini, mayoritas warga Gaza sudah menganggap bahwa Otoritas Palestina yang dipimpin oleh Fatah justru sebagai sarang korupsi dan salah urus dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina.
ADVERTISEMENT
Sejarah mencatat bahwa Fatah didirikan oleh diaspora Palestina di luar negeri, terutama dari Kuwait, dengan tokoh-tokoh seperti Yasser Arafat dan Mahmoud Abbas. Sementara itu, Hamas lahir dari rakyat Palestina yang tetap bertahan di tanah airnya dan memilih perlawanan bersenjata sebagai strategi utama melawan pendudukan Israel. Perbedaan latar belakang ini menjadi faktor utama dalam perbedaan pendekatan politik dan militer kedua kelompok tersebut.
Dalam perspektif strategi keamanan nasional, Hamas telah menunjukkan daya tahan yang luar biasa sejak agresi Israel pada Oktober 2023. Tidak hanya bertahan, tetapi mereka juga berhasil menekan Israel untuk menerima skema pertukaran tawanan, yang membuktikan efektivitas strategi perang mereka. Hamas memahami bahwa konfrontasi frontal melawan Israel bukanlah pilihan yang realistis, sehingga mereka menerapkan strategi perang asimetris dengan memanfaatkan terowongan bawah tanah dan peperangan kota (urban warfare) untuk menguras sumber daya Israel.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan Hamas dalam menarik simpati internasional juga menjadi faktor yang memperumit strategi Israel. Banyak negara dan organisasi internasional yang mengecam agresi Israel serta mendukung perlawanan Hamas, baik secara terbuka maupun terselubung. Gelombang protes global yang mengutuk serangan Israel telah memberikan tekanan diplomatik yang signifikan, bahkan memaksa beberapa negara untuk meninjau kembali hubungan mereka dengan Tel Aviv.
Di sisi lain, strategi Hamas tidak hanya berkutat pada aspek militer, tetapi juga mencakup dimensi politik dan sosial. Mereka memahami bahwa kelangsungan perjuangan mereka sangat bergantung pada dukungan rakyat Gaza. Oleh karena itu, Hamas terus beradaptasi dengan mengubah pola gerilya mereka agar lebih fleksibel dan sulit diprediksi oleh intelijen Israel.
Israel sendiri menghadapi dilema besar. Meskipun memiliki superioritas militer, mereka tidak mampu menghancurkan Hamas sepenuhnya tanpa konsekuensi politik dan diplomatik yang lebih besar. Setiap serangan brutal yang menewaskan warga sipil justru meningkatkan kemarahan internasional dan memperkuat legitimasi Hamas sebagai simbol perlawanan rakyat Palestina.
ADVERTISEMENT
Konflik ini juga berkaitan erat dengan perebutan sumber daya, terutama air dan jalur perdagangan. Gaza memiliki posisi strategis yang membuatnya bernilai tinggi dalam geopolitik regional. Israel menyadari bahwa menguasai Gaza berarti mengendalikan jalur logistik yang vital. Oleh karena itu, mereka tidak hanya ingin melemahkan Hamas, tetapi juga memastikan bahwa setiap penguasa Gaza di masa depan akan lebih tunduk pada kepentingan mereka.
Strategi Hamas yang bersifat desentralisasi juga menjadi faktor kunci dalam keberlangsungan perlawanan mereka. Mereka tidak hanya mengandalkan kekuatan inti, tetapi juga membentuk sel-sel kecil yang sulit dideteksi dan dihancurkan. Taktik ini membuat Israel kesulitan dalam menumpas Hamas secara tuntas. Strategi Hamas menyebar kekuatan dalam bentuk sel-sel militer cenderung lebih efektif untuk dideteksi oleh Israel.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks psywar, propaganda menjadi alat utama bagi Israel untuk menggoyahkan stabilitas internal Gaza. Dengan membiarkan munculnya gerakan protes terhadap Hamas, Israel berharap dapat menciptakan perpecahan di kalangan rakyat Palestina. Namun, efektivitas strategi ini masih dipertanyakan, mengingat Hamas masih memiliki dukungan luas di tingkat akar rumput.
Keberlanjutan konflik ini menunjukkan bahwa solusi militer semata tidak akan pernah menyelesaikan permasalahan yang ada. Tanpa solusi politik yang adil, perang hanya akan terus berulang dalam siklus kekerasan yang tak berujung. Hamas, dengan segala keterbatasannya, tetap menjadi simbol perlawanan yang sulit digantikan, sementara Israel terus berjuang menghadapi tekanan global akibat kebijakan agresifnya.
Pada akhirnya, perebutan Gaza bukan hanya soal Hamas atau Fatah, tetapi lebih kepada pertarungan geopolitik yang melibatkan aktor-aktor besar dengan kepentingan strategis masing-masing. Selama tidak ada keseimbangan kekuatan yang dapat memastikan keadilan bagi Palestina, konflik ini akan tetap menjadi arena peperangan yang penuh intrik, strategi, dan propaganda tanpa henti.
ADVERTISEMENT