Konten dari Pengguna

Retret Kepala Daerah, Tantangan Konsistensi Politik dan Integrasi Pusat-Daerah

Muh Khamdan
Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bekerja sebagai Widyaiswara Balai Diklat Hukum dan HAM Jawa Tengah
24 Februari 2025 13:07 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kepala daerah memasuki gerbang Akmil untuk mengikut retret (Sumber: Kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kepala daerah memasuki gerbang Akmil untuk mengikut retret (Sumber: Kumparan)
ADVERTISEMENT
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memulai langkah awal kepemimpinannya dengan menggelar retret bagi seluruh kepala daerah di Akademi Militer, pasca-pelantikan pada 20 Februari 2025. Retret ini bertujuan untuk menyatukan visi dan misi pemerintahan dari level nasional hingga daerah. Namun langkah ini mendapat respons beragam, termasuk perlawanan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang memboikot kegiatan.
ADVERTISEMENT
PDIP melalui instruksi Ketua Umum, Megawati, meminta kepada para kepala daerah dari partai mereka untuk menunda perjalanan dan tidak ikut berpartisipasi dalam retret pada 21-28 Pebruari 2025. Sikap PDIP ini menunjukkan dinamika politik yang belum sepenuhnya selaras antara pusat dan daerah, terutama dalam konteks perbedaan afiliasi politik kepala daerah dengan pemerintahan pusat.
Retret setidaknya dapat dilihat sebagai bentuk penyederhanaan pelatihan yang sebelumnya dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri dan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Dengan mengumpulkan seluruh kepala daerah dalam satu forum, pemerintah pusat ingin memastikan bahwa setiap gubernur, bupati, dan wali kota memahami arah kebijakan nasional. Namun, muncul kritik bahwa kegiatan ini tidak memiliki dasar hukum yang jelas sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menegaskan pembagian kewenangan yang tegas antara pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu, secara yuridis, pemaksaan kehadiran dalam retret tanpa kerangka hukum yang jelas dapat menimbulkan pertanyaan mengenai legitimasi kegiatan tersebut.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, retret bagi sebagian kalangan masyarakat dianggap bertentangan dengan upaya efisiensi anggaran yang dikampanyekan oleh Presiden Prabowo. Jika pemerintah serius dalam menerapkan prinsip efisiensi, maka perlu dipertimbangkan apakah pertemuan semacam ini benar-benar diperlukan atau justru menjadi beban fiskal tambahan yang tidak sejalan dengan kebijakan penghematan. Sebagai alternatif, pelaksanaan komunikasi pusat dan daerah bisa dilakukan melalui mekanisme digital atau forum koordinasi berkala yang lebih hemat biaya dan tetap efektif dalam menyamakan persepsi antara berbagai tingkatan pemerintahan.
Dari perspektif sosiologi politik, retret juga mencerminkan upaya konsolidasi kekuasaan yang lazim dilakukan oleh pemerintahan baru. Mengingat bahwa kepala daerah berasal dari berbagai latar belakang politik, forum ini menjadi ajang membangun kesetiaan dan sinkronisasi kebijakan. Dalam teori politik, langkah semacam ini dikenal sebagai upaya hegemoni kebijakan, di mana pemerintah pusat berusaha memastikan bahwa kebijakan nasional diterjemahkan dengan cara yang seragam di seluruh daerah. Hal ini penting untuk menghindari fragmentasi kebijakan yang dapat melemahkan efektivitas pemerintahan secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, konsistensi politik antara pusat dan daerah masih menjadi tantangan besar dalam sistem desentralisasi Indonesia. Dalam sistem demokrasi, perbedaan visi dan misi antara pemerintah pusat dan daerah adalah sesuatu yang wajar. Namun, perbedaan ini tidak seharusnya menghambat kerja sama dalam menjalankan agenda pembangunan. Dengan adanya otonomi daerah, kepala daerah memiliki kewenangan untuk merancang kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing. Oleh karena itu, retret semacam ini perlu didesain bukan sebagai instrumen pemaksaan kehendak politik pusat, tetapi lebih sebagai forum deliberatif yang memungkinkan adanya diskusi konstruktif antara pusat dan daerah.
Dinamika politik yang terjadi dengan adanya boikot dari PDIP juga menegaskan bahwa di Indonesia, hubungan antara pusat dan daerah seringkali dipengaruhi oleh kepentingan politik partai. Jika tujuan retret ini adalah menyatukan visi nasional, maka pemerintah seharusnya membangun mekanisme komunikasi yang lebih inklusif dan tidak bersifat eksklusif atau memihak pada kelompok politik tertentu. Keberhasilan retret ini tidak hanya diukur dari jumlah kepala daerah yang hadir, tetapi juga dari sejauhmana agenda yang dibahas dapat diimplementasikan secara nyata dalam pemerintahan daerah.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks kebijakan publik dan hukum administrasi negara, retret semacam ini perlu didukung oleh regulasi yang jelas agar tidak menjadi alat politisasi kekuasaan semata. Jika pemerintah ingin menjadikan retret sebagai tradisi dalam pemerintahan, maka perlu ada revisi kebijakan atau peraturan presiden yang dapat menjadi dasar hukum kegiatan. Tanpa dasar hukum yang kuat, kegiatan ini dapat dianggap sebagai tindakan administratif yang kurang sah dan potensial menuai gugatan hukum di kemudian hari.
Sebagai tambahan, polemik ketidaksatuan antara kepala daerah dan pemerintah provinsi bukanlah hal baru. Salah satu contoh nyata adalah ketegangan antara Bibit Waluyo selaku Gubernur Jawa Tengah periode 2008-2013 dan Joko Widodo yang saat itu menjabat sebagai Wali Kota Solo. Bibit, yang didukung oleh Partai Demokrat, Partai Golkar, dan PAN, berbeda afiliasi politik dengan Jokowi yang merupakan kader PDIP. Polemik terjadi saat Jokowi menolak rencana pembangunan mal di atas lahan bangunan kuno bekas Pabrik Es Saripetojo di Purwosari, Laweyan, yang telah disetujui oleh pemerintah provinsi Jawa Tengah.
ADVERTISEMENT
Penolakan Jokowi atas kebijakan gubernur Jawa Tengah ini menyebabkan ketegangan berkelanjutan antara keduanya. Bahkan, berujung pada aksi boikot Jokowi terhadap sejumlah kegiatan pemerintahan provinsi. Kasus ini menunjukkan bagaimana perbedaan kepentingan politik dan kebijakan antara pusat dan daerah dapat menciptakan hambatan dalam koordinasi dan implementasi kebijakan yang seharusnya menguntungkan masyarakat.
Sebagai kesimpulan, retret kepala daerah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto merupakan langkah yang secara strategis bertujuan untuk menyamakan visi pemerintahan pusat dan daerah. Namun, efektivitas dan legalitasnya masih menjadi perdebatan. Retret ini harus diimbangi dengan kebijakan yang menghargai otonomi daerah dan tidak menimbulkan persepsi pemaksaan politik terpusat. Jika ingin sukses, pemerintah perlu membangun pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis regulasi yang kuat agar hubungan pusat dan daerah tetap harmonis serta selaras dengan prinsip demokrasi dan desentralisasi yang dianut oleh Indonesia.
ADVERTISEMENT