Konten dari Pengguna

Revisi Tata Tertib DPR dan Kekacauan Penalaran Hukum Pengawasan Lembaga

Muh Khamdan
Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bekerja sebagai Widyaiswara Balai Diklat Hukum dan HAM Jawa Tengah
6 Februari 2025 18:19 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dalam gelaran rapat pembahasan revisi Undang-Undang (Sumber: Kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dalam gelaran rapat pembahasan revisi Undang-Undang (Sumber: Kumparan)
ADVERTISEMENT
Dalam manajemen pemerintahan yang berlandaskan sistem hukum dan demokrasi, prinsip checks and balances menjadi kunci dalam menjaga keseimbangan kekuasaan. Namun, langkah terbaru Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam merevisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 terkait Tata Tertib justru berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum yang berbahaya.
ADVERTISEMENT
Revisi tata tertib DPR ini memberikan kewenangan baru bagi DPR untuk mengevaluasi dan bahkan mencopot pimpinan lembaga yang sebelumnya telah menjalani fit and proper test di DPR. Lembaga yang terancam dengan aturan baru ini mencakup institusi strategis seperti Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Tentara Nasional Indonesia (TNI), hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, kewenangan tersebut tidak secara eksplisit diberikan dalam undang-undang yang mengatur lembaga-lembaga tersebut.
Secara hierarki, tata tertib DPR hanyalah peraturan internal yang seharusnya mengatur mekanisme kerja DPR sendiri, bukan untuk mengatur institusi negara lainnya. Ketika aturan internal ini mulai menyalahi atau bertentangan dengan undang-undang lain, maka berpotensi menimbulkan kekacauan hukum sekaligus penalaran yang seenak-enaknya.
Sebagai contoh, pencopotan Ketua KPK sudah diatur dalam Undang-Undang KPK yang secara jelas menetapkan mekanisme dan alasan pemberhentiannya, seperti terlibat tindak pidana atau melanggar kode etik berat. Hal yang sama berlaku bagi Polri dan TNI, yang proses pengangkatan dan pemberhentiannya diatur dalam Undang-Undang Kepolisian dan Undang-Undang TNI. Dengan adanya tata tertib baru DPR ini, muncul risiko intervensi politik yang dapat mencederai independensi lembaga-lembaga tersebut.
ADVERTISEMENT
Pergeseran Fungsi DPR yang Berlebihan
DPR memang memiliki fungsi pengawasan terhadap eksekutif, tetapi mekanisme yang telah diatur dalam berbagai perangkat kerja seperti komisi dan alat kelengkapan dewan sudah cukup untuk menjalankan fungsi tersebut. Jika DPR ingin melakukan evaluasi kinerja pimpinan lembaga, mekanisme rapat dengar pendapat atau pembentukan panitia khusus (pansus) bisa menjadi solusi yang lebih konstitusional tanpa harus menciptakan aturan yang berpotensi melampaui kewenangan mereka.
Upaya DPR dalam memperluas kewenangan melalui tata tertib internal ini juga menciptakan resistensi dari berbagai pihak, baik dari publik maupun lembaga yang terdampak langsung. Keputusan sepihak ini berpotensi mengganggu stabilitas pemerintahan karena menimbulkan ketidakpastian hukum dan potensi benturan antar lembaga negara.
Dalam sistem hukum Indonesia, semua peraturan perundang-undangan harus tunduk pada hierarki norma hukum yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tata tertib DPR sebagai aturan internal jelas tidak bisa bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, apalagi bertabrakan dengan konstitusi. Jika DPR ingin memperluas kewenangannya dalam evaluasi pimpinan lembaga negara, maka yang seharusnya dilakukan adalah perubahan undang-undang melalui proses legislasi yang transparan dan partisipatif, bukan melalui revisi aturan internal secara sepihak.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, DPR sebagai lembaga legislatif harus memahami bahwa kepercayaan publik terhadap institusi negara sangat bergantung pada kepastian hukum. Jika aturan dibuat dengan cara yang menabrak batas konstitusional dan bertentangan dengan prinsip demokrasi, maka yang terjadi bukanlah penguatan sistem pemerintahan, melainkan kekacauan hukum yang merugikan semua pihak. Maka dari itu, penting bagi DPR untuk kembali pada prinsip konstitusionalisme dan memastikan bahwa setiap peraturan yang dibuat tetap berada dalam koridor hukum yang benar.