Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
Konten dari Pengguna
Salah Tangkap dan Kekerasan Aparat, Potret Buram Penegakan Hukum di Indonesia
10 Maret 2025 10:52 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kejadian tragis yang menimpa Kusyanto, warga Desa Dimoro, Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan, kembali menyingkap borok lama dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. Pada 2 Maret 2025, ia dituduh mencuri mesin diesel atau pompa air tanpa bukti yang kuat. Tak hanya salah tangkap, ia mengalami penganiayaan brutal dari aparat kepolisian yang seharusnya menegakkan hukum dengan adil dan profesional. Video penganiayaannya yang beredar luas di media sosial menambah ironi dalam hukum kita. Korban yang seharusnya mendapatkan perlindungan justru diperlakukan sebagai objek pemaksaan pengakuan.
ADVERTISEMENT
Peristiwa ini bukan kasus pertama. Berulang kali kita melihat bagaimana aparat penegak hukum, dalam upaya ‘menyelesaikan kasus’ dengan cepat, menggunakan cara-cara koersif yang justru menciderai prinsip keadilan. Salah tangkap bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan gambaran dari pola pikir represif yang masih mengakar dalam budaya kepolisian di Indonesia.
Secara sosiologi hukum, fenomena salah tangkap ini merupakan bagian dari problem struktural dalam sistem penegakan hukum. Polisi seringkali berada dalam tekanan untuk menunjukkan hasil kinerja dalam bentuk ‘keberhasilan’ menangkap pelaku kejahatan. Akibatnya, metode penyelidikan yang seharusnya berbasis bukti dan due process of law justru bergeser menjadi pemaksaan pengakuan dari individu yang sering kali tak bersalah.
Salah tangkap juga erat kaitannya dengan budaya legalistik yang belum sepenuhnya diimbangi dengan kesadaran hukum berbasis hak asasi manusia. Dalam banyak kasus, kepolisian masih mengandalkan metode interogasi yang bersifat koersif dibandingkan pendekatan ilmiah berbasis bukti forensik atau investigasi menyeluruh. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan yang digunakan lebih dekat kepada kekuasaan daripada keadilan.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif teori sosiologi hukum Emile Durkheim, salah tangkap dan penggunaan kekerasan dalam sistem peradilan pidana adalah cerminan dari lemahnya solidaritas organik dalam masyarakat hukum kita. Alih-alih menjadikan hukum sebagai instrumen untuk menciptakan ketertiban sosial yang adil, aparat justru mempraktikkan kekerasan yang membangun ketakutan di masyarakat.
Di sisi lain, perspektif Michel Foucault tentang disiplin dan hukuman menunjukkan bahwa tindakan koersif yang dilakukan aparat kepolisian seringkali berakar pada mekanisme kontrol sosial yang menormalisasi praktik kekerasan sebagai bagian dari penegakan hukum. Kekerasan ini bukan lagi penyimpangan, melainkan sesuatu yang sudah menjadi bagian dari sistem, direproduksi oleh struktur institusional yang menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar.
Salah tangkap juga sering terjadi karena bias sosial dan ketidaksetaraan hukum. Dalam banyak kasus, korban salah tangkap berasal dari kelompok masyarakat bawah yang tidak memiliki daya tawar dalam sistem hukum. Kusyanto, seorang pencari bekicot, bukanlah orang yang memiliki akses kepada kekuasaan atau jaringan yang bisa membelanya. Ini mengingatkan kita pada teori hukum kritis yang menegaskan bahwa hukum sering kali lebih berpihak kepada mereka yang memiliki akses terhadap kekuasaan, sementara kelompok marginal lebih rentan menjadi korban penyalahgunaan wewenang.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks Indonesia, kita juga harus mengakui bahwa reformasi hukum di tubuh kepolisian masih berjalan lamban. Berbagai program pelatihan hak asasi manusia dan prosedur penyelidikan berbasis bukti belum mampu menghapus praktik kekerasan dan pemaksaan pengakuan. Jika tidak ada reformasi yang lebih mendalam, maka kejadian seperti yang dialami Kusyanto akan terus berulang.
Salah satu solusi yang bisa ditawarkan adalah penguatan mekanisme pengawasan eksternal terhadap kepolisian. Selama ini, mekanisme pengawasan internal seperti Propam sering kali tidak efektif karena adanya budaya korps yang menghalangi transparansi. Oleh karena itu, peran masyarakat sipil dan lembaga independen harus diperkuat untuk mengawasi dan mengoreksi penyimpangan yang terjadi.
Selain itu, perlunya perubahan paradigma dalam sistem kepolisian, dari pendekatan represif menjadi pendekatan berbasis community policing yang menekankan pada kerja sama dengan masyarakat dalam menjaga keamanan. Polisi harus dilatih untuk mengedepankan pendekatan berbasis kepercayaan daripada kekerasan.
ADVERTISEMENT
Kasus Kusyanto seharusnya menjadi titik balik dalam melihat betapa mendesaknya reformasi di tubuh kepolisian. Masyarakat harus lebih berani bersuara, tidak sekadar menyebarkan video sebagai bentuk protes, tetapi juga menuntut pertanggungjawaban institusional agar kasus serupa tidak terulang.
Keberadaan hukum seharusnya menjamin keadilan bagi semua, bukan hanya alat kekuasaan yang menindas mereka yang lemah. Jika hukum masih dipraktikkan dengan cara kekerasan dan salah tangkap masih terus berulang, maka kita harus bertanya: hukum ini bekerja untuk siapa?
Reformasi hukum dan penegakan hak asasi manusia bukan sekadar wacana, tetapi kebutuhan mendesak. Sebab, tanpa perbaikan fundamental, keadilan hanya akan menjadi ilusi bagi mereka yang tidak memiliki kuasa.