Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Teroris OPM Menantang Negara, Saatnya TNI Menjawab Tegas
10 April 2025 9:35 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Indonesia kembali berduka. Sebelas warga sipil tak berdosa dibantai secara sadis oleh kelompok teroris separatis TPNPB-OPM di Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan. Tiga puluh lima orang lainnya yang selamat hanya bisa bersembunyi di balik semak dan jurang, berharap tak ditemukan oleh para pelaku. Video kekejaman itu disebarluaskan dengan sengaja oleh OPM sebagai propaganda perang, menyatakan kepada dunia bahwa mereka tak hanya siap, tetapi memang menginginkan perang.
ADVERTISEMENT
Kita tidak berbicara tentang insiden pertama. Ini adalah episode berdarah yang terus berulang, dari pembantaian guru, penyanderaan pilot, pembakaran sekolah, hingga kini, penyergapan dan pembunuhan massal terhadap para penambang emas rakyat. Narasi korban sipil bukan hanya cerita sedih dari sudut Papua, tetapi sebuah ironi besar dalam wajah kemanusiaan di abad ke-21.
Kelompok TPNPB-OPM bukanlah pejuang kemerdekaan dalam pengertian universal. Mereka adalah aktor kekerasan yang menyandera masyarakat adat Papua sendiri dalam konflik bersenjata yang mereka ciptakan. Dengan pola aksi bersenjata, penculikan, pembunuhan, dan teror sistematis, TPNPB-OPM memenuhi seluruh indikator organisasi teroris dalam standar global.
Pernyataan Sebby Sambom, juru bicara OPM, bahwa mereka "siap perang" bukan hanya retorika. Ini adalah deklarasi yang terang dan gamblang bahwa TPNPB-OPM menolak dialog. Ini adalah bentuk pengumuman terbuka bahwa mereka memilih jalur kekerasan sebagai metode politik. Maka, negara tak boleh terus membalas dengan sabar dan doa.
ADVERTISEMENT
Distribusi video kekerasan sebagai bentuk propaganda perang merupakan kejahatan kemanusiaan baru di era digital. Mereka memanfaatkan kanal media sosial untuk menakuti warga Papua dan membangun legitimasi kekerasan kepada publik internasional. Dunia harus melihat bahwa ini bukan sekadar konflik domestik, melainkan bentuk barbarisme di depan layar.
Sebagai negara, Indonesia memiliki hak dan kewajiban untuk melindungi seluruh warga negara dari ancaman separatis dan teror bersenjata. Pendekatan yang selama ini cenderung defensif harus ditinggalkan. Operasi militer terbuka berbasis perlindungan warga sipil harus menjadi opsi serius. Bukan untuk menghancurkan Papua, tapi menyelamatkannya dari kelompok kriminal bersenjata yang mengklaim suara rakyat padahal membunuh rakyat itu sendiri.
Ada kesalahan besar jika pendekatan hak asasi manusia (HAM) digunakan untuk membela pelaku kekerasan. HAM bukan tameng untuk kebiadaban. Justru karena menghormati HAM-lah, negara wajib melenyapkan teror yang menargetkan rakyat sipil, tenaga kesehatan, guru, hingga penambang emas. Kemanusiaan tidak netral terhadap kekerasan.
ADVERTISEMENT
Dalam kacamata hukum internasional, negara memiliki jus cogens untuk memerangi terorisme tanpa kompromi. Tidak ada negara di dunia yang membiarkan kelompok separatis bersenjata melakukan kekejaman terhadap warga negaranya tanpa respons militer. Indonesia berhak, dan bahkan wajib, menumpas TPNPB-OPM hingga akar.
Sudah waktunya membentuk operasi militer-polisi terpadu dengan mandat intelijen, logistik, dan pengamanan penuh. Pendekatan semi-sipil terbukti tidak mampu menghadapi skala dan strategi gerilya teroris OPM. Harus ada komando gabungan yang bertanggung jawab langsung ke panglima tertinggi untuk memutus jaringan mereka.
Indonesia juga harus aktif di forum internasional menjelaskan bahwa OPM adalah kelompok teroris, bukan pejuang kemerdekaan. Ini penting untuk melawan opini-opini simpatisan mereka di luar negeri yang sering kali buta terhadap kenyataan lapangan. Kita memerlukan narasi tandingan berbasis data, korban sipil, dan jejak kekerasan mereka.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, yang paling menderita atas sepak terjang OPM adalah masyarakat Papua sendiri. Mereka dituduh mata-mata, dibunuh jika bekerja sama dengan negara, dan tidak dibiarkan membangun masa depan dalam damai. OPM menghancurkan Papua dari dalam, dan itu yang harus dihentikan.
Selain operasi militer, strategi jangka menengah yang tak kalah penting adalah peningkatan akses pendidikan, kesehatan, dan ekonomi lokal. Membuat masyarakat Papua merasa menjadi bagian dari negara adalah cara jitu melenyapkan simpati terhadap ide separatis.
Selama ini narasi negara terlalu lunak terhadap kelompok separatis. Kata “dialog” seolah menjadi mantra padahal yang kita hadapi adalah kelompok yang tidak pernah mau berdialog. Perdamaian bukan berarti lemah. Justru perdamaian sejati membutuhkan ketegasan dalam menghalau teror.
ADVERTISEMENT
Papua bukan tanah konflik. Papua adalah tanah damai yang dirusak oleh ambisi separatis segelintir orang. Kita tidak boleh terus menerus tunduk kepada trauma masa lalu dan membiarkan generasi kini menjadi korban kekejaman. Negara harus hadir penuh, dengan wibawa dan kasih sayang yang kuat.
Setelah operasi militer berhasil menumpas sarang teroris, pendekatan rekonsiliasi berbasis adat dan kultural harus menjadi agenda lanjutan. Para tokoh agama, adat, dan perempuan Papua perlu diberi ruang besar untuk membangun kembali kepercayaan pada negara.
Pemerintah dan TNI memiliki tugas sejarah untuk menyelamatkan Papua dari kelompok yang memperdagangkan kekerasan dan menjadikan penderitaan rakyat sebagai komoditas politik. Tugas ini bukan hanya operasi militer, tapi juga operasi kemanusiaan dan penegakan nilai bangsa.
ADVERTISEMENT
PBB, Uni Eropa, dan lembaga hak asasi global jangan hanya diam. Ketika anak-anak Papua dibantai oleh kelompok yang mengklaim sebagai pembebas, dunia harus berdiri bersama Indonesia, bukan menutup mata dan telinga hanya karena narasi OPM yang lihai bersilat lidah.
Papua adalah bagian dari Indonesia yang sah secara historis, politik, dan konstitusional. Yang dibutuhkan masyarakat Papua adalah ketenangan membangun hidup, bukan ketakutan dari senapan OPM. Dan karena mereka telah menantang perang, maka negara harus menunjukkan bahwa kita tak akan mundur. Tidak untuk satu nyawa pun dari rakyat Indonesia.