Konten dari Pengguna

Tragedi Penembakan Migran Indonesia dalam Perspektif HAM

Muh Khamdan
Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bekerja sebagai Widyaiswara Balai Diklat Hukum dan HAM Jawa Tengah
28 Januari 2025 15:27 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Wakil Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Christina Aryani memberikan keterangan pers di Kantor Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Jakarta, Minggu (26/1/2025) (Sumber: Kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Wakil Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Christina Aryani memberikan keterangan pers di Kantor Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Jakarta, Minggu (26/1/2025) (Sumber: Kumparan)
ADVERTISEMENT
Tragedi memilukan kembali menghantui hubungan diplomatik Indonesia dan Malaysia. Penembakan lima pekerja migran Indonesia (PMI) oleh kapal patroli Agensi Penguatkuasa Maritim Malaysia (APMM) di Perairan Tanjung Rhu, Selangor, pada Jumat, 24 Januari 2025, telah merenggut nyawa satu orang dan meninggalkan empat lainnya dalam kondisi kritis. Peristiwa ini tidak hanya mengundang perhatian publik, tetapi juga menggugah kesadaran akan pentingnya perlindungan bagi PMI dalam kerangka hak asasi manusia (HAM) dan hukum humaniter internasional.
ADVERTISEMENT
APMM berdalih bahwa penembakan dilakukan sebagai tindakan pencegahan adanya pendatang ilegal. Namun, tindakan ini menimbulkan pertanyaan fundamental, apakah penggunaan kekuatan mematikan oleh otoritas maritim dapat dibenarkan dalam konteks hukum internasional.
Dalam perspektif HAM, Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 menetapkan bahwa penegakan hukum di laut harus mematuhi prinsip-prinsip proporsionalitas dan akuntabilitas. Penggunaan kekuatan mematikan hanya diperbolehkan sebagai upaya terakhir untuk melindungi nyawa atau menghadapi ancaman serius. Penembakan dari jarak 20-25 meter terhadap kapal yang diduga membawa PMI ilegal setidaknya punya potensi melanggar prinsip ini.
Selain itu, hukum humaniter internasional, termasuk Konvensi Jenewa, menggarisbawahi bahwa tindakan terhadap non-kombatan, seperti migran, harus memprioritaskan keselamatan dan martabat mereka. Penembakan terhadap kapal sipil tanpa bukti ancaman langsung dapat dikategorikan sebagai pelanggaran serius. Terlebih, perlawanan yang dilakukan oleh para migran Indonesia tidak menggunakan senjata api tetapi senjata tajam atau parang.
ADVERTISEMENT
Tragedi ini terjadi bersamaan dengan momen penganugerahan gelar kehormatan Darjah Kerabat Johor Yang Amat Dihormati Pangkat Pertama (D.KI Johor) kepada Presiden Prabowo Subianto oleh Raja Malaysia. Momen diplomatik ini harus dimanfaatkan secara strategis oleh pemerintah Indonesia untuk meminta pembentukan tim investigasi independen dengan melibatkan organisasi internasional seperti Organisasi Maritim Internasional (IMO) dan Dewan HAM PBB.
Insiden ini menyoroti perlunya pembaruan perjanjian bilateral terkait penegakan hukum di perairan perbatasan. Protokol bersama harus dirancang untuk mencegah penggunaan kekuatan yang tidak proporsional. Indonesia dapat juga memanfaatkan kepemimpinannya di ASEAN untuk membawa isu ini ke agenda regional. ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers dapat menjadi landasan untuk memperkuat perlindungan PMI.
ADVERTISEMENT
Praktik Perdagangan Orang dan Jaringan di Baliknya
Perlu disoroti bahwa tragedi ini dapat juga berkaitan dengan rantai panjang perdagangan manusia yang melibatkan jaringan di Indonesia dan Malaysia. Modus pemberangkatan ilegal PMI seringkali melibatkan sindikat terorganisir yang memanfaatkan kerentanan ekonomi masyarakat desa. Kementerian P2MI (Perlindungan Pekerja Migran Indonesia) harus memperketat pengawasan di titik keberangkatan melalui penguatan kerja sama dengan aparat penegak hukum untuk memberantas calo dan agen ilegal yang memfasilitasi pemberangkatan non-prosedural.
PMI potensial harus diberikan informasi yang memadai tentang prosedur resmi keberangkatan dan risiko perdagangan manusia. Kementerian P2MI perlu juga untuk memperluas jaringan perlindungan PMI di Malaysia. Kementerian P2MI dapat bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil dan diaspora Indonesia di Malaysia untuk memberikan dukungan hukum dan sosial bagi PMI yang rentan.
ADVERTISEMENT
Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa migrasi bukanlah kejahatan, melainkan hak yang diakui secara universal. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 13 menjamin hak setiap individu untuk mencari penghidupan di negara lain. Dalam hal ini, pemerintah Malaysia memiliki kewajiban untuk menghormati hak-hak PMI, termasuk mereka yang berangkat secara tidak resmi.
Sebaliknya, Indonesia juga harus merefleksikan perannya dalam melindungi warganya. Jika sistem migrasi yang aman, terjangkau, dan transparan tersedia, jumlah pemberangkatan ilegal dapat diminimalkan. Pemerintah harus memastikan bahwa tragedi seperti ini tidak terulang kembali.
Penembakan lima PMI oleh APMM adalah tragedi yang tidak dapat diterima dari perspektif HAM dan hukum internasional. Pemerintah Indonesia harus memanfaatkan momentum diplomatik dan meningkatkan advokasinya di tingkat bilateral, regional, dan global untuk melindungi pekerja migran. Di sisi lain, upaya menyeluruh untuk memberantas jaringan perdagangan manusia harus menjadi prioritas utama. PMI adalah pahlawan devisa yang layak mendapatkan perlindungan penuh dari negara.
ADVERTISEMENT
Tragedi ini adalah pengingat bahwa migrasi harus dikelola dengan pendekatan yang manusiawi dan berbasis pada prinsip keadilan serta penghormatan terhadap martabat manusia. Setiap manusia dilahirkan dengan hak dan martabat yang sama. Perjuangan kita adalah memastikan bahwa tidak ada kekuasaan, perbedaan, atau batasan yang merampas hak tersebut dari siapa pun, di mana pun mereka berada, termasuk terhadap pekerja migran Indonesia.