news-card-video
12 Ramadhan 1446 HRabu, 12 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Tren Baru Senjata Nuklir dan Risiko Ketegangan Kawasan

Muh Khamdan
Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bekerja sebagai Widyaiswara Balai Diklat Hukum dan HAM Jawa Tengah
12 Maret 2025 14:06 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Parade hulu ledak nuklir milik India (Sumber: Kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Parade hulu ledak nuklir milik India (Sumber: Kumparan)
ADVERTISEMENT
Fenomena senjata nuklir kembali menjadi perhatian global seiring dengan langkah Presiden Prancis Emmanuel Macron yang mengusulkan negaranya sebagai payung nuklir bagi Eropa. Inisiatif ini muncul sebagai respons terhadap dinamika kebijakan Amerika Serikat yang semakin menjauh dari komitmen tradisionalnya terhadap pertahanan Eropa. Proposal Macron ini bukan hanya menyoroti krisis kepercayaan transatlantik, tetapi juga menghidupkan kembali perdebatan mengenai proliferasi nuklir dan dampaknya terhadap stabilitas keamanan kawasan.
ADVERTISEMENT
Keputusan Prancis menawarkan perlindungan nuklir bagi Eropa tidak dapat dipisahkan dari sejarahnya sebagai satu-satunya negara di Uni Eropa yang memiliki senjata nuklir secara mandiri. Berbeda dengan Inggris yang bergantung pada kerja sama dengan Amerika Serikat, Prancis telah mengembangkan kemampuan nuklirnya sendiri sejak era Charles de Gaulle. Kemandirian ini memberi Prancis posisi strategis dalam dinamika pertahanan Eropa di tengah meningkatnya ketidakpastian geopolitik.
Namun, langkah ini juga membawa konsekuensi strategis yang tidak bisa diabaikan. Usulan Macron dapat memperumit hubungan dengan negara-negara anggota NATO, khususnya dengan Jerman yang selama ini mengandalkan perlindungan nuklir Amerika Serikat. Selain itu, negara-negara Eropa Timur yang lebih skeptis terhadap Rusia mungkin tidak merasa cukup aman dengan hanya mengandalkan Prancis, mengingat kapasitas nuklirnya jauh lebih kecil dibandingkan Amerika atau Rusia.
ADVERTISEMENT
Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT) yang telah ditandatangani oleh Amerika Serikat, Rusia, Prancis, China, dan Inggris seharusnya menjadi payung utama dalam mencegah eskalasi persaingan nuklir. Namun, realitasnya menunjukkan bahwa beberapa negara lain seperti India, Pakistan, Korea Utara, dan Iran juga telah atau sedang mengembangkan program nuklir mereka. Bahkan, Jepang dan Korea Selatan kini semakin terbuka menyatakan keinginan mereka untuk memiliki senjata nuklir sebagai respons terhadap ancaman regional.
Ketegangan di kawasan Asia Timur menjadi contoh nyata bagaimana kepemilikan senjata nuklir bisa memicu potensi konflik. Korea Utara yang terus memperkuat kemampuan nuklirnya telah mendorong Jepang dan Korea Selatan untuk mencari alternatif pertahanan, termasuk kemungkinan mengembangkan senjata nuklir mereka sendiri. Jika ini terjadi, stabilitas regional akan semakin terancam dan risiko perang nuklir menjadi lebih besar.
ADVERTISEMENT
Di kawasan Asia Selatan, rivalitas antara India dan Pakistan juga menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Kedua negara yang memiliki sejarah konflik panjang kini sama-sama memiliki senjata nuklir, menjadikan kawasan tersebut sebagai salah satu titik rawan yang dapat memicu eskalasi konflik nuklir kapan saja. Tanpa adanya mekanisme kepercayaan yang kuat, setiap insiden kecil dapat berubah menjadi bencana besar.
Dalam konteks global, meningkatnya keinginan negara-negara untuk memiliki senjata nuklir menandakan krisis terhadap rezim non-proliferasi. Keberadaan senjata nuklir yang semakin tersebar justru memperbesar risiko penggunaannya, baik dalam bentuk perang terbuka maupun dalam skenario penggunaan taktis. Situasi ini juga mengancam sistem keamanan kolektif yang selama ini berupaya dibangun oleh komunitas internasional.
Indonesia sebagai negara non-nuklir memiliki peran strategis dalam menjaga stabilitas kawasan. Sebagai anggota ASEAN, Indonesia dapat mendorong penguatan pakta pertahanan regional untuk memastikan kawasan Asia Tenggara tetap bebas dari senjata nuklir. Inisiatif seperti Zona Bebas Senjata Nuklir di Asia Tenggara (SEANWFZ) perlu terus diperkuat guna menghindari tekanan dari negara-negara yang memiliki kepentingan strategis di kawasan ini.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Indonesia juga dapat memainkan peran sebagai mediator dalam berbagai forum internasional guna menegaskan kembali komitmen terhadap perlucutan senjata nuklir. Dengan menjembatani kepentingan negara-negara besar dan memperjuangkan diplomasi damai, Indonesia dapat berkontribusi dalam mengurangi ketegangan global yang berisiko memicu perang nuklir.
Keberadaan pakta pertahanan regional yang lebih kuat juga menjadi kebutuhan mendesak di era ketidakpastian ini. ASEAN perlu mempertimbangkan mekanisme pertahanan yang lebih terintegrasi, termasuk kerja sama dalam sistem pertahanan udara dan penguatan kapasitas militer konvensional. Dengan demikian, kawasan dapat memiliki daya tangkal yang cukup untuk menghadapi ancaman dari luar tanpa harus terlibat dalam perlombaan senjata nuklir.
Krisis nuklir global juga menunjukkan perlunya reformasi dalam sistem keamanan internasional. PBB dan badan-badan terkait perlu memperbarui strategi pengendalian senjata nuklir dengan menyesuaikan terhadap dinamika geopolitik saat ini. Tanpa langkah konkret, dunia hanya akan bergerak menuju ketidakpastian yang lebih besar dengan risiko eskalasi konflik yang tidak terkendali.
ADVERTISEMENT
Kesadaran akan bahaya senjata nuklir harus terus digaungkan agar tidak menjadi norma baru dalam hubungan internasional. Negara-negara harus kembali menegaskan komitmen mereka terhadap prinsip-prinsip perdamaian dan mencari solusi jangka panjang yang tidak bertumpu pada ancaman destruksi massal.
Pada akhirnya, dunia harus kembali kepada esensi diplomasi yang mengutamakan perdamaian dan stabilitas. Senjata nuklir bukanlah solusi bagi keamanan global, melainkan ancaman laten yang sewaktu-waktu bisa menghancurkan peradaban manusia. Oleh karena itu, upaya untuk membangun mekanisme kepercayaan dan sistem keamanan kolektif harus menjadi prioritas utama bagi semua negara, termasuk Indonesia, dalam menghadapi tantangan strategis di era modern ini.