Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
15 Ramadhan 1446 HSabtu, 15 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Upaya Akhiri Perang Rusia-Ukraina dalam Ketidakpastian Geopolitik
15 Maret 2025 12:13 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Ketegangan geopolitik global kembali diuji dengan proposal damai yang diajukan Amerika Serikat untuk gencatan senjata selama 30 hari dalam perang antara Rusia dan Ukraina. Langkah ini muncul di tengah dinamika politik yang kompleks, termasuk perselisihan antara Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, dan Presiden AS, Donald Trump, di Gedung Putih. Sementara itu, Arab Saudi telah mengambil peran sebagai mediator dengan memfasilitasi perundingan antara delegasi AS dan Rusia di Jeddah. Namun, di sisi lain, Inggris terus memasok drone serang canggih ke Ukraina senilai 631 miliar rupiah, langkah yang bertentangan dengan kebijakan Trump untuk menunda bantuan militer.
ADVERTISEMENT
Perang antara Rusia dan Ukraina telah berlangsung tiga tahun, dengan dampak yang meluas terhadap stabilitas Eropa dan perekonomian global. Konflik ini menjadi semakin kompleks dengan adanya ketidakpastian arah kebijakan AS. Trump, yang mengisyaratkan kemungkinan mengurangi keterlibatan AS dalam NATO dan Eropa, menimbulkan kecemasan bagi negara-negara Eropa yang telah lama bergantung pada perlindungan Washington.
Di sisi lain, Uni Eropa merespons ketidakpastian ini dengan langkah proaktif. Para pemimpin UE akan menyuntikkan dana pertahanan ke Ukraina sebesar 14.097 triliun rupiah guna mengantisipasi berkurangnya bantuan keamanan dari AS. Langkah ini menjadi sinyal kuat bahwa Eropa kini mulai menyadari pentingnya kemandirian strategis dalam menghadapi ancaman Rusia. Namun pertanyaan besar tetap ada, yaitu sejauh mana Uni Eropa dapat mengonsolidasikan kekuatan pertahanannya tanpa kehadiran penuh AS?
ADVERTISEMENT
Arab Saudi sebagai mediator telah menunjukkan peningkatan peran dalam diplomasi global. Negosiasi yang diadakan di Jeddah memperlihatkan inisiatif Riyadh untuk menyeimbangkan kepentingan antara Barat dan Rusia. Langkah ini juga mencerminkan kepentingan geopolitik Arab Saudi dalam menjaga stabilitas energi global, mengingat perang berkepanjangan dapat mengganggu pasokan minyak dan gas dunia.
Namun, keberhasilan negosiasi ini masih dipertanyakan. Rusia tetap berpegang teguh pada klaim teritorialnya di Ukraina timur dan menganggap gencatan senjata hanya sebagai strategi temporer. Sementara itu, Ukraina, dengan dukungan dari Eropa dan beberapa sekutu Barat, masih enggan menerima perundingan yang belum memberikan jaminan atas kedaulatannya secara penuh.
Ironisnya dalam konflik ini, PBB menunjukkan kelemahannya sebagai lembaga internasional. Hak veto yang dimiliki oleh anggota tetap Dewan Keamanan PBB, termasuk Rusia, membuat upaya sanksi dan intervensi lebih lanjut menjadi lumpuh. Konvensi humaniter yang seharusnya melindungi warga sipil seringkali diabaikan oleh para pemegang veto, mencerminkan diskriminasi dalam politik global.
ADVERTISEMENT
Peran Inggris yang tetap memasok Ukraina dengan drone serang berteknologi tinggi juga menunjukkan perbedaan pendekatan antara sekutu Barat. Langkah ini kontras dengan kebijakan Trump yang ingin menunda bantuan militer. Hal ini semakin menegaskan bahwa dalam perpolitikan global, kesatuan sekutu seringkali bersifat relatif dan bergantung pada kepentingan domestik masing-masing negara.
Bagi Rusia, negosiasi yang difasilitasi Arab Saudi bisa menjadi jalan keluar untuk meredakan tekanan ekonomi akibat sanksi Barat. Namun di sisi lain, Kremlin tampaknya tetap berupaya mempertahankan posisi dominannya di Ukraina dengan segala cara, termasuk melalui jalur militer dan diplomasi keras.
ADVERTISEMENT
Dinamika internal di Washington turut berpengaruh terhadap nasib proposal damai ini. Trump, yang memiliki pendekatan isolasionis dalam kebijakan luar negeri, bertentangan dengan sikap pemerintahan saat ini yang masih menganggap Ukraina sebagai sekutu strategis. Kebijakan luar negeri AS yang dikendalikan oleh Trump, sudah dikenal bisa berubah secara drastis sehingga berpotensi mengguncang tatanan keamanan global.
Bagi Ukraina, gencatan senjata selama 30 hari bisa menjadi momentum untuk mengkonsolidasikan kekuatan militernya, tetapi juga dapat menjadi jebakan diplomatik jika Rusia memanfaatkannya untuk memperkuat posisinya di medan perang. Oleh karena itu, Zelensky menghadapi dilema besar dalam menentukan apakah akan menerima atau menolak proposal ini. Uni Eropa, meskipun telah mengalokasikan dana besar untuk pertahanan, tetap menghadapi dilema terkait ketergantungannya pada AS. Tanpa kepastian dari AS, Eropa harus segera membangun sistem pertahanan yang lebih mandiri, termasuk meningkatkan industri pertahanannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, tekanan ekonomi yang dihadapi Rusia akibat sanksi global dapat menjadi faktor yang mendorong Moskow untuk lebih serius dalam mempertimbangkan negosiasi damai. Namun, selama kepentingan geopolitik Rusia di Ukraina masih belum terpenuhi, kemungkinan besar Moskow hanya akan menggunakan negosiasi sebagai alat taktis, bukan solusi jangka panjang. Ketika proposal damai ini terus diperdebatkan, nasib Ukraina dan stabilitas global berada di persimpangan jalan. Apakah dunia akan menyaksikan akhir perang melalui diplomasi, ataukah konflik ini akan terus berlarut-larut dengan intervensi baru dari kekuatan global lainnya?
Dalam konteks ini, komunitas internasional harus bersikap lebih tegas dalam menegakkan hukum internasional. PBB, meskipun terbatas oleh hak veto, perlu mencari mekanisme baru untuk mengatasi konflik yang melibatkan negara-negara besar tanpa harus terjebak dalam politik blok. Pada akhirnya, proposal damai yang diajukan AS hanya akan berhasil jika semua pihak memiliki niat yang sama untuk menghentikan perang. Namun, dengan kompleksitas kepentingan yang ada, peluang untuk mencapai perdamaian sejati masih menjadi tanda tanya besar dalam peta geopolitik dunia.
ADVERTISEMENT