Konten dari Pengguna

UU ITE di Meja Bedah Konstitusi, Menata Ulang Fungsi Hukum Pidana

Muh Khamdan
Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bekerja sebagai Widyaiswara Balai Diklat Hukum dan HAM Jawa Tengah
30 April 2025 10:33 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah sinyal penting dari pergeseran paradigma hukum pidana di Indonesia. Melalui kasus Daniel Frits Maurits Tangkilisan dan Jaksa Jovi Andrea Bachtiar, MK membuka ruang tafsir hukum yang lebih progresif. Pengakuan bahwa hukum mesti berpihak pada keadilan substantif, bukan semata-mata pada teks hukum formal.
ADVERTISEMENT
Daniel, aktivis lingkungan yang mengunggah video pencemaran pantai Karimunjawa di Jepara, awalnya divonis 7 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jepara. Tuduhannya? Melanggar pasal “karet” dalam UU ITE. Namun, publik mencium aroma ketidakadilan. Bagaimana mungkin unggahan berbasis fakta lingkungan bisa dikriminalisasi, tanpa adanya niat menyebar kebencian atau menyerang seseorang secara spesifik?
Putusan MK dalam kasus ini menyentuh akar persoalan, yaitu tafsir pasal yang lentur dan mudah disalahgunakan. Pasal 27A dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE selama ini kerap dipakai sebagai alat represif, terutama terhadap suara-suara kritis. MK menyadari urgensi membatasi ruang gelap penafsiran tersebut agar hukum tidak menjadi alat kekuasaan, melainkan pelindung hak warga negara.
Pada pasal 27A UU ITE terdapat frasa yang disebutkan setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal. Frasa orang lain ini dipertegas oleh MK bahwa pencemaran nama baik hanya bisa dilaporkan oleh perorangan atau individu, bukan oleh institusi atau lembaga pemerintah maupun lembaga swasta.
ADVERTISEMENT
Hal serupa tampak dalam kasus Jaksa Jovi. Ia hanya mengunggah video berisi kritik terhadap penggunaan mobil dinas untuk urusan pribadi, namun terancam pidana atas dasar Pasal 28 ayat (3). Lagi-lagi, pasal tersebut tak punya kepastian hukum yang jelas. Kekaburan makna “kerusuhan” yang dimuat dalam pasal tersebut membuka potensi kriminalisasi terhadap ekspresi di ruang digital.
MK pun memperjelas, bahwa diksi “kerusuhan” dalam Pasal 28 ayat (3) harus ditafsirkan sebagai kerusuhan yang terjadi di ruang fisik, bukan di dunia maya. Ini adalah langkah progresif yang sejalan dengan prinsip hukum pidana modern, bahwa hukum tidak boleh menghukum kecuali jelas perbuatannya, pelakunya, akibatnya, dan niatnya.
Teori hukum progresif yang digagas Satjipto Rahardjo menjadi relevan untuk membedah putusan ini. Menurut teori ini, hukum adalah alat untuk mewujudkan keadilan sosial, bukan semata-mata institusi yang menegakkan teks undang-undang secara mekanistik. Dalam konteks ini, MK sedang menerapkan semangat hukum progresif, yaitu mendengar suara korban kriminalisasi dan mengoreksi celah-celah hukum yang eksploitatif.
ADVERTISEMENT
Hukum progresif tidak anti-undang-undang, namun menempatkan undang-undang sebagai alat, bukan tujuan akhir. Dalam kasus Daniel dan Jovi, yang diuji bukan hanya teks pasal, tetapi dampak sosial dari penerapannya. Inilah inti dari pendekatan progresif, yaitu hukum dihidupkan oleh nurani, bukan dibekukan oleh formalisme.
Secara normatif, ketentuan hukum pidana harus memenuhi prinsip lex certa, lex stricta, dan lex scripta. MK melalui putusan ini berupaya memastikan bahwa pasal-pasal dalam UU ITE tidak lagi multitafsir, menghindari perluasan makna yang justru merugikan kebebasan berpendapat.
Perlu kita sadari, dalam era digital seperti sekarang, ekspresi di media sosial adalah bagian integral dari demokrasi. Kritik terhadap korupsi, lingkungan, atau kebijakan publik seringkali justru lahir dari dunia maya. Jika hukum pidana digunakan untuk membungkamnya, maka demokrasi berada di ambang kerapuhan.
ADVERTISEMENT
Efektivitas hukum juga menjadi parameter penting dalam menilai UU ITE. Hukum yang efektif adalah hukum yang ditaati bukan karena rasa takut, tetapi karena dianggap adil dan relevan oleh masyarakat. Dalam hal ini, pasal-pasal karet yang menimbulkan ketakutan luas tentu tidak memenuhi prinsip efektivitas hukum dalam arti sosiologis.
Putusan MK ini juga memberi pelajaran penting bagi aparat penegak hukum bahwa tidak semua unggahan bernuansa kritik layak dihadapkan ke meja hijau. Jaksa, polisi, dan hakim dituntut untuk membaca lebih dalam konteks sosial dari sebuah unggahan, bukan hanya teksnya semata.
Daniel dan Jovi adalah dua wajah berbeda dari korban pasal-pasal karet. Daniel adalah aktivis, sedangkan Jovi adalah aparat hukum. Ini membuktikan bahwa potensi kriminalisasi bisa menimpa siapa saja. Maka, pembatasan penafsiran yang dilakukan MK menjadi langkah strategis untuk mencegah ketidakpastian hukum di masa depan.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, langkah MK ini bisa menjadi momentum untuk merevisi UU ITE secara menyeluruh. UU ini, sejak awal, dibentuk dalam konteks pengaturan dunia siber yang berkembang cepat, namun dalam praktiknya kerap digunakan untuk menjerat lawan politik, aktivis, dan pembongkar kebenaran.
Mahkamah Konstitusi dalam hal ini menjadi garda terakhir perlindungan hak konstitusional warga negara. Keberanian MK mempersempit ruang penafsiran pidana bukan hanya soal tafsir hukum, tetapi juga pertaruhan atas demokrasi dan HAM di era digital.
Namun pekerjaan belum selesai. Diperlukan langkah lanjut dari DPR untuk mengevaluasi substansi UU ITE agar lebih selaras dengan semangat kebebasan berpendapat dan perlindungan terhadap kritik publik. Jangan sampai putusan MK menjadi semacam plester, sementara lukanya terus dibiarkan terbuka.
ADVERTISEMENT
Hukum pidana harus digunakan secara ultima ratio atau jalan terakhir, bukan senjata pertama. Apalagi jika yang dipersoalkan adalah ekspresi warga negara dalam ruang demokrasi. Putusan MK ini mengembalikan ruh hukum pidana pada tempatnya yang luhur, yaitu menjaga, bukan menindas.
Akhirnya, melalui putusan ini, Mahkamah Konstitusi menunjukkan bahwa hukum bukanlah menara gading, melainkan cermin dari denyut keadilan sosial. Hukum yang progresif, manusiawi, dan efektif hanya bisa lahir dari keberanian untuk mendengarkan suara rakyat, bahkan dari ruang digital yang selama ini dianggap sunyi.