Konten dari Pengguna

Meredam Angka Perokok: Apakah Larangan Penjualan Rokok Ketengan Solusinya?

Muhammad Luqman Khakim
Saya adalah seorang mahasiswa Prodi Ilmu Politik di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
2 Oktober 2024 7:46 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Luqman Khakim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kemasan berbagai produk rokok di etalase toko, Selasa (01/10). Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Kemasan berbagai produk rokok di etalase toko, Selasa (01/10). Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah besar dalam upaya menurunkan angka perokok dengan melarang penjualan rokok secara ketengan. Presiden Joko Widodo secara resmi telah mengeluarkan kebijakan yang melarang penjualan rokok per batang, baik untuk rokok konvensional maupun elektronik, sebagai bagian dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024. Kebijakan ini diharapkan dapat menekan angka prevalensi perokok, khususnya di kalangan anak-anak, dan mengurangi dampak kesehatan akibat merokok.
ADVERTISEMENT
Dalam Pasal 343 ayat 1c PP No. 28/2024, disebutkan bahwa penjualan produk tembakau dan rokok elektronik secara satuan atau ketengan dilarang, kecuali untuk produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik. Aturan ini juga melarang penjualan rokok dalam kemasan kecil atau "kiddie pack" yang berisi kurang dari 20 batang. Langkah ini dinilai sebagai strategi untuk mengurangi akses mudah terhadap rokok, terutama bagi kalangan anak-anak dan remaja.
Selain itu, regulasi ini juga menetapkan batas usia pembelian produk tembakau, yaitu di atas 21 tahun, serta melarang penjualan kepada perempuan hamil. Pemerintah juga menargetkan penurunan angka perokok dengan melarang penjualan rokok di radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, seperti yang tercantum dalam Pasal 434 ayat 1e.
ADVERTISEMENT
Kebijakan pelarangan penjualan rokok ketengan dinilai sangat penting mengingat mudahnya akses rokok bagi anak-anak dan remaja di Indonesia. Selama ini, cukai rokok yang seharusnya membatasi keterjangkauan rokok belum memberikan dampak yang maksimal karena penjualan ketengan masih diperbolehkan. Anak-anak dan remaja sering kali membeli rokok per batang dengan harga yang terjangkau, sehingga membuat mereka tetap dapat mengakses produk adiktif ini dengan mudah.
Dengan larangan ini, diharapkan harga rokok akan menjadi lebih mahal secara keseluruhan, mengingat konsumen hanya bisa membeli dalam kemasan besar (minimal 20 batang). Kebijakan ini diyakini dapat mempersulit anak-anak dan kelompok rentan lainnya untuk membeli rokok, sehingga menekan angka perokok pemula yang umumnya memulai kebiasaan merokok melalui pembelian ketengan.
ADVERTISEMENT
Meskipun kebijakan ini tampak sebagai langkah progresif, tantangan implementasi masih menjadi perhatian. Salah satu kekurangan dalam PP No. 28 Tahun 2024 adalah tidak adanya sanksi yang jelas bagi pelanggar aturan penjualan rokok ketengan. Pasal 459 hanya mengatur sanksi administratif bagi pelanggaran yang berkaitan dengan Pasal 454 hingga Pasal 458, namun tidak mencantumkan sanksi khusus bagi penjualan rokok secara ketengan atau pelanggaran terkait peredaran di dekat satuan pendidikan.
Tanpa sanksi yang jelas, efektivitas kebijakan ini bisa dipertanyakan. Pelarangan penjualan rokok ketengan berpotensi hanya menjadi aturan di atas kertas jika tidak diiringi dengan penegakan hukum yang tegas dan sanksi yang memberikan efek jera. Pemerintah perlu memperhatikan hal ini agar regulasi yang telah dirumuskan benar-benar dapat berdampak nyata dalam menurunkan angka perokok di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam pandangan penulis, kebijakan pelarangan penjualan rokok ketengan adalah langkah yang sangat positif dan progresif dari pemerintah. Ini menunjukkan komitmen serius untuk melindungi generasi muda dari bahaya adiksi rokok dan meningkatkan kesehatan masyarakat secara keseluruhan. Dengan melarang penjualan ketengan, rokok menjadi lebih sulit diakses oleh kelompok usia rentan, terutama anak-anak yang sering memulai kebiasaan merokok dengan cara ini.
Namun, kelemahan dalam peraturan ini terletak pada kurangnya sanksi yang jelas bagi pelanggar. Tanpa penegakan yang kuat, larangan ini bisa saja tidak memberikan dampak signifikan. Pemerintah perlu menindaklanjuti dengan regulasi yang lebih ketat dan memastikan adanya sanksi tegas yang mampu mengurangi pelanggaran di lapangan.
Selain itu, pemerintah harus memperluas kampanye edukasi mengenai bahaya rokok, terutama kepada anak-anak dan remaja. Pembatasan akses memang penting, tetapi edukasi yang terus-menerus juga diperlukan untuk membangun kesadaran di kalangan masyarakat mengenai risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh merokok.
ADVERTISEMENT