Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Implikasi War on Terorisme Terhadap Kebangkitan Islamophobia di Prancis
8 Januari 2023 14:25 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muhammad Malfiansyah Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Semuanya berawal dari sebuah aksi teror yang terjadi di Amerika Serikat yaitu Tragedi 9/11 WTC menjadi peristiwa yang sangat tragis dan bersejarah, tragedi yang terjadi secara tiba-tiba tersebut mengakibatkan ribuan korban jiwa berjatuhan.
ADVERTISEMENT
Adanya aksi teror tersebut kemudian direspon oleh presiden ke 43 Amerika Serikat George W. Bush dengan dibuatnya sebuah Kampanye Baru yaitu War On Terrorism.
Dalam pidatonya pada tanggal 20 September 2001 George W. Bush menyampaikan tentang Kampanye War On Terrorism atau Global War On Terrorism.
Akhirnya dari pidato tersebut membuat para elite ataupun warga Amerika Serikat banyak yang berstigma bahwa muslim adalah teroris. Setelah adanya kampanye tersebut para imigran muslim dari negara negara Islam di dunia sulit untuk memasuki Amerika Serikat baik itu bertujuan untuk berdagang maupun belajar.
Berangkat dari hal tersebut, kemudian Prancis yang memiliki mayoritas penduduk muslim terbesar di Eropa ikut terdampak sehingga Islamophobia di Prancis mulai tumbuh secara bertahap.
ADVERTISEMENT
Terlebih sejak banyaknya para imigran muslim yang masuk ke Prancis dan menyebarkan agama Islam melalui cara berdakwah, Islam semakin berkembang pesat dan besar di Prancis, hal tersebut membuat kekhawatiran pemerintahan Prancis yang takut kedaulatan negaranya terancam.
Selain itu, meningkatnya Islamophobia di Prancis juga di akibatkan beberapa aksi teror yang terjadi di Prancis setelah tragedi 9/11 WTC Amerika Serikat, contohnya seperti kasus Paris Attack, dimana aksi teror ini didalangi oleh Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).
Akibat dari aksi teror tersebut, pemerintah Prancis menutup akses untuk para imigran asing untuk masuk terutama pengungsi dari Suriah, hal tersebut juga disusul dengan penutupan akses bagi pengungsi suriah di negara negara Eropa lainnya dimana mereka takut adanya teroris yang menyelundup masuk ke negara mereka. Adanya penutupan akses tersebut membuat banyak para pengungsi Suriah yang tertahan di perbatasan.
ADVERTISEMENT
Kemarahan penduduk Prancis akibat dari tragedi Paris Attack mengakibatkan tindakan diskriminasi terhadap umat muslim di Prancis semakin menjadi jadi, Islamophobia juga berkembang dengan pesat dengan adanya tragedi tersebut. Bahkan kelompok nasionalis Prancis sampai membakar kitab suci Al-Quran dan merusak tempat ibadah umat muslim tepatnya di pulau Corsica.
Ketakutan dan merasa terganggunya masyarakat Prancis terhadap dominasi muslim dan aksi teror mendorong masyarakat untuk bersikap Islamophobia dan melakukan tindakan diskriminasi dan kekerasan kepada umat muslim.
Dengan demikian, akhirnya Prancis membuat sebuah kebijakan yaitu sekularisme atau disebut Laicite. Istilah Laicite ini pada dasarnya merupakan sebuah konsep yang digunakan oleh suatu negara untuk membuat kesetaraan kedudukan antara berbagai macam agama yang dianut oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi seiring berjalannya waktu, sekularisme di Prancis ini berkembang bersama Islamophobia yang mana membuat kesetaraan kedudukan agama berubah menjadi pemisahan antara urusan agama dengan negara sehingga membuat umat muslim semakin dikesampingkan.
Terlebih pada saat kepemimpinan Emmanuel Macron yang terpilih sejak tahun 2017, hal ini tidak terlepas dari sikap Macron yang cenderung anti-Islam. Macron dinilai lebih meresahkan bagi orang-orang Muslim Prancis.
Pasalnya, kebijakan Macron dinilai merugikan bagi umat Muslim seperti mengeluarkan undang-undang anti-separatis yang lebih condong anti-Islam, Macron juga menutup sekitar 718 masjid dan sekolah-sekolah Islam serta menutup lembaga yang ia curigai sebagai gerakan anti-separatis di Prancis. Macron juga membekukan aset lembaga-lembaga tersebut yang berjumlah 40 juta euro.
Aksi terorisme oleh gerakan-gerakan radikalisme/separatis mengakibatkan kesalahpahaman mengenai pemahaman antara Islam dan terorisme. Kesalahpahaman ini tidak hanya menyebar di masyarakat. Namun, kesalahpahaman tersebut juga mempengaruhi tokoh-tokoh politik dan jurnalis yang sudah teradikalisasi Islamophobia sehingga dapat mempengaruhi masyarakat dalam memandang Islam dan terorisme.
ADVERTISEMENT
Segregasi masyarakat yang menganggap Islam merupakan bagian dari teroris merupakan bentuk ketidakpedulian masyarakat Prancis. Hal ini disebabkan faktor-faktor lain seperti ketimpangan akses pendidikan, tingkat pengangguran yang tinggi, dan diskriminasi dalam dunia kerja
Dengan demikian dari peristiwa-peristiwa di atas, pada tingkat internasional Indonesia dapat memahami bahwa Indonesia harus berkomitmen terhadap upaya penanggulangan terorisme, termasuk upaya antiterorisme di bawah kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Selain itu, Indonesia harus berkontribusi secara aktif untuk membantu memperkuat kapasitas aparat penegak hukum untuk menangani terorisme dan kejahatan lintas negara.
Di luar dari itu pada tingkat nasional, Indonesia harus memiliki strategi penanggulangan terorisme yang komprehensif yang menggabungkan soft and hard approach, di mana Indonesia harus menjalankan rencana deradikalisasi dan anti-radikalisasi, serta Indonesia juga harus berkomitmen untuk mendukung penanggulangan terorisme, termasuk menangani dengan penanggulangan pendanaan terorisme.
ADVERTISEMENT