Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
CAATSA: Tantangan dalam Pengejawantahan Prinsip "Bebas-Aktif" Indonesia
14 Juni 2024 16:41 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhammad Meiza Fachri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketersediaan alat utama sistem senjata (alutsista) strategis merupakan kebutuhan suatu negara demi mencapai keamanan nasional dan menjaga keutuhan wilayah.
Dalam usaha memenuhi kebutuhan keamanan nasionalnya, Indonesia membeli alutsista-alutsista dari negara lain karena masih terbatasnya kemampuan produksi dalam negeri untuk memproduksi alutsista strategis seperti pesawat tempur.
ADVERTISEMENT
Untuk dapat memenuhi ketersediaan pesawat tempur demi keamanan wilayah, maka Indonesia melakukan akuisisi Dassault Rafale Prancis pada tahun 2022 silam. Tidak lama setelahnya, kembali muncul pemberitaan mengenai potensi Indonesia untuk membeli pesawat tempur F-15 EX dan F-16 Viper Amerika Serikat (AS) untuk memperkuat armada tempurnya.
Dari kedua opsi tersebut, dapat dilihat adanya kecenderungan Indonesia terhadap pilihan pesawat tempur hasil produksi dari negara-negara Barat.
Indonesia sebelumnya pernah membeli pesawat tempur Sukhoi dari Rusia pada zaman Megawati, karena embargo yang dijatuhkan oleh AS atas kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Timor Leste tahun 1990-an silam.
Embargo ini berlangsung selama tahun 1995-2005 dan ditujukan kepada produk alutsista-alutsista buatan AS yang dimiliki oleh Indonesia dengan melarang pembelian alat-alat militer termasuk suku cadang.
ADVERTISEMENT
Diketahui, saat diembargo oleh AS, kondisi alutsista Indonesia sangatlah "miris", alutsista pesawat yang mayoritas buatan barat, seperti F-16, Hercules C-130 dan pesawat Hawk buatan Inggris, tidak dapat diterbangkan akibat dari ketiadaan suku cadang dan minimnya perawatan berkala (maintenance) karena efek embargo.
Lantas, mengapa Indonesia tampak "mengulangi kesalahan" dengan memilih produk-produk alutsista strategis dari Barat?
Sanksi CAATSA dari AS, menjegal prinsip "bebas" Indonesia?
Sebenarnya pada tahun 2016 kemarin, sempat terjadi beberapa kali pertemuan antara pemerintah Rusia dan Indonesia mengenai kemungkinan akuisisi pesawat tempur Sukhoi Su-35 Rusia sebagai penjaga langit udara Indonesia. Namun, rencana ini justru digantikan dengan pembelian pesawat Dassault Rafale Prancis.
Dikutip dari CNN Indonesia, terjadi wawancara antara Bloomberg dengan salah satu pejabat Indonesia yang mengetahui kontrak pembelian Su-35 mengenai alasan pembatalan pembelian pesawat Rusia tersebut. Menurutnya pembelian dibatalkan karena adanya kebijakan dari AS untuk memberi sanksi terhadap negara yang melakukan transaksi alutsista dengan musuh-musuh AS. Sanksi tersebut dinamakan CAATSA.
ADVERTISEMENT
Countering American Adversaries Through Sanction Acts (CAATSA) adalah kebijakan AS yang melarang negara di dunia untuk bertransaksi alutsista dengan negara musuh AS, yang salah satunya adalah Rusia.
Satu negara, Turki, sudah terkena "batu" dari pemberlakuan CAATSA saat melakukan pembelian rudal pertahanan S-400 Triumf milik Rusia pada tahun 2020 lalu. Implikasi dari tindakan ini adalah dibatalkannya akses Turki terhadap pesawat generasi kelima, F-35 AS.
Mengingat Turki sendiri adalah anggota NATO dan salah satu mitra penting AS di kawasan Timur Tengah. Dengan demikian, bagaimana nasib Indonesia jika "nekat" melakukan pembelian alutsista Rusia?
Dengan adanya CAATSA, Indonesia tidak dapat lagi bebas untuk membeli alutsista Rusia tanpa adanya ancaman sanksi.
Sehingga, keberadaan dari CAATSA ini memunculkan suatu pertanyaan:
ADVERTISEMENT
"Bagaimana pelaksanaan kebebasan dalam prinsip luar negeri "bebas-aktif" dengan adanya sanksi CAATSA?
Penjelasan Prinsip Bebas dalam politik luar negeri Indonesia
Menurut UU No. 37 Tahun 1999 tentang Politik Luar Negeri, Prinsip "bebas" pada prinsip "bebas-aktif" Indonesia memiliki arti:
Melihat pada pembelian tersebut, secara jelas Indonesia tidak benar-benar sepenuhnya "bebas" dalam mengambil pilihan pembelian alutsista. Alutsista dominan-barat yang dimiliki oleh Indonesia membuat rentan ketahanan alutsista dari ancaman CAATSA. Peristiwa pesawat tempur tidak dapat terbang akibat kesulitan suku cadang dapat kembali terulang apabila Indonesia kembali disanksi barat.
Mencapai kemandirian produksi alutsista: tantangan dan prospek
ADVERTISEMENT
Untuk mencapai kemandirian dalam produksi alutsista, Indonesia melakukan berbagai kerja sama dengan negara-negara yang memiliki kemampuan lebih dalam teknologi militer. Kemandirian pesawat tempur didapatkan Indonesia melalui program kerja sama KFX/IFX antara Indonesia dan Korea Selatan yang diresmikan pada tahun 2014.
KF-21 (produk pesawat tempur hasil kerja sama program KFX/IFX diperkirakan selesai menjalani pengembangan pada tahun 2026 dan setelahnya akan segera memasuki tahap produksi massal.
Kendati digadang-gadang dapat memproduksi pesawat tempur sendiri melalui program KFX/IFX, Indonesia tidaklah benar-benar 100% mendapatkan kemampuan untuk "mandiri" dalam memproduksi pesawat tempur tersebut.
Dikutip dari Antaranews, Prabowo Subianto, selaku Menteri Pertahanan Indonesia menyampaikan kesulitan yang dimiliki Indonesia dalam memperoleh sembilan teknologi dalam pengembangan pesawat tempur KFX/IFX. Indonesia tidak diberikan akses dan pengetahuan mengenai teknologi-teknologi sensitif dalam pembuatan pesawat tempur KFX/IFX, di antaranya teknologi radar AESA, targeting pod, infrared search-and-track systems dan radio-frequency jammers.
ADVERTISEMENT
Ditenggarai, Indonesia tidak dapat memiliki teknologi sensitif tersebut karena Indonesia tidak mempunyai perjanjian Defense Technology Security (DTS) dengan AS.
DTS atau Defense Technology Security Administration (DTSA) adalah lembaga di AS yang mengurus perizinan transfer teknologi-teknologi dalam bidang pertahanan AS kepada negara-negara partner AS. Indonesia sendiri belum mengurus perizinan DTS, sehingga tidak dapat memperoleh teknologi kunci.
Dengan demikian, ungkapan semu melekat pada kata "kemandirian" dalam memproduksi sendiri alutsista strategis pesawat tempur KFX/IFX Indonesia. Sebab, Indonesia tidak mendapatkan akses teknologi kunci, seperti radar AESA dan teknologi tinggi lainnya dari AS.
Jika AS menyetop atau mem-blacklist teknologi-teknologi kunci tersebut, tentunya Indonesia tidak dapat memproduksi pesawat tempur tersebut sepenuhnya.
Oleh karena itu, kemandirian produksi pesawat tempur ini masih bersifat "semu" karena masih bergantung dengan teknologi rahasia milik barat (AS).
ADVERTISEMENT
Lantas, apa langkah terbaik yang dapat diambil Indonesia?
Dengan mempertimbangkan ketergantungan yang dimiliki oleh Indonesia terhadap teknologi-teknologi dari Barat, tidak banyak yang dapat dilakukan oleh Indonesia. Nampaknya, opsi Indonesia saat ini adalah untuk membatasi "kebebasannya" dengan tidak mengakuisisi alutsista dari Rusia, sebagai pilihan yang lebih baik dan rasional dibandingkan mendapat ancaman sanksi barat.
Dikutip kembali dari Antaranews, tindakan terbaik yang dapat diambil oleh Indonesia dikatakan oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yakni dengan tetap mengejar kemandirian dalam produksi alutsista ketika melakukan pembelian produk barat,
ADVERTISEMENT