Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Film Dokumenter 'The Social Dilemma' Membuat Kita Jadi Dilema
11 Februari 2021 6:07 WIB
Tulisan dari Muhammad Muflih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
The Social Dilemma adalah sebuah film dokumenter karya Jeff Orlowski. Tayang sejak September 2020 di salah satu platform streaming, film ini menguak sisi gelap dari penggunaan media sosial.
ADVERTISEMENT
Narasumbernya kebanyakan merupakan mantan pekerja dari perusahaan yang membuat media sosial itu sendiri, seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan Youtube. Ada beberapa hal menarik yang menurut saya perlu kita ketahui.
Anak Kecanduan Media Sosial
Seorang anak bernama Isla gemar sekali bermain instagram. Tentu dengan sentuhan filter-filter yang sangat manipulatif. Saya sering bercanda dengan adik ipar saya, “Ya Allah, hapuskanlah filter instagram dari dunia ini!” Sebab kelakuan adik ipar saya mirip sekali dengan Isla.
Suatu malam, ibunya membuat aturan tentang larangan bermain ponsel saat makan malam. Semua ponsel anggota keluarga disimpan di sebuah toples yang terkunci. Ketika ada notifikasi masuk, Isla dan kakaknya penasaran, ponsel siapakah yang berbunyi? Saking kecanduannya, toples yang terkunci itu didobrak menggunakan martil.
ADVERTISEMENT
Suatu ketika, Isla mengunggah foto di media sosial. Dia senang banyak yang memujinya.
“Wah, cantiknya,” komentar salah satu netizen.
“Manis sekali,” sahut netizen lainnya.
Namun dari sekian banyak komentar positif, ada satu orang yang berkomentar negatif. Komentar tersebut menyebutkan bahwa telinga Isla terlalu besar. Satu komentar itu membuat dia sedih. Mentalnya ambruk. Padahal komentar itu hanya satu yang terselip di antara sekian banyak komentar positif.
Ternyata mental anak seumuran dia (kisaran SMP atau SMA) belum siap menerima hal-hal negatif seperti itu.
Seorang narasumber memberi tiga saran yang dia telah lakukan di rumahnya: Jangan ada gadget di kamar tidur, jangan main medsos sebelum lulus SMA, dan batasi waktu anak bermain ponsel.
ADVERTISEMENT
Polarisasi yang Semakin Tajam
Contoh untuk hal ini gampang sekali. Pemilu tahun 2019, tahunnya 'cebong' dan 'kampret'. Salah satu penyebab polarisasi ini adalah algoritma. Facebook akan merekomendasikan hal-hal yang kemungkinan akan diminati pengguna. Misalnya saja kita menyukai akun Facebook Pak Jokowi, maka Facebook akan terus menyodorkan kepada kita hal-hal yang berhubungan dengan Jokowi: komunitas relawan, grup pendukung, berita baik, bahkan kabar miring soal Prabowo. Jadilah kita menganggap Jokowi malaikat dan Prabowo sebagai setan yang menjadi musuh bersama. Meski pada akhirnya mereka berdua bergabung menjadi satu.
Dalam dokumenter 'The Social Dilemma', bisa kita lihat bagaimana di Amerika, pendukung Partai Republik menganggap orang-orang Demokrat sebagai ancaman. Begitu juga sebaliknya, orang-orang Demokrat menganggap bahwa Republikanlah yang berbahaya bagi negara.
ADVERTISEMENT
Salah satu narasumber memberi trik untuk menghindari polarisasi ini. Bertemanlah atau follow-lah semua pihak, bukan hanya yang satu pandangan dengan kita, tapi juga yang berbeda pandangan. Sehingga kita bisa melihat suatu isu dari perspektif yang lebih luas.
Mengubah Model Bisnis
Seorang narasumber (saya selalu lupa nama-nama narasumber) berkata bahwa sebelum era media sosial, bisnis teknologi itu sederhana. Perusahaan membuat produk lalu menjualnya. Selesai.
Sekarang, Facebook bisa kaya tanpa kita harus membayar untuk menggunakan aplikasinya. Lalu dapat uang dari mana? Tentu saja dari iklan.
Pernahkah anda mencari sesuatu di toko online, misalnya celana dalam, lalu anda membuka Facebook dan muncul iklan celana dalam? Kok bisa Facebook tahu kita sedang mencari celana dalam? Facebook bukan hanya tahu kita sedang mencari apa. Bahkan, dia tahu segala aktivitas kita, karena data-data kita sudah beredar di luar sana.
ADVERTISEMENT
“Jika kamu tidak membayar sebuah produk, maka kamulah produknya,” begitulah rumus bisnis media sosial saat ini.
***
Beberapa pengguna media sosial menonaktifkan akunnya setelah menonton film ini, karena menyadari efek negatif media sosial. Film ini sedikit banyak memang membuat kita dilema, apakah akan lanjut menggunakan media sosial atau tidak?
Pada akhirnya media sosial dapat diibaratkan seperti pisau. Kita bisa menggunakannya untuk kebaikan, namun siapa tahu suatu saat kita khilaf lalu menggunakan media sosial untuk hal-hal negatif.
“Keluarlah dari sistem! Hapus akunmu! Dunia ini indah. Lihat, di luar sana bagus!” kata salah satu narasumber berambut gimbal.
Sebagian dari kita memang kadang iri melihat kehidupan orang lain di media sosial, yang bahkan tidak jarang sebenarnya yang diunggah orang lain itu juga palsu.
ADVERTISEMENT