Konten dari Pengguna

Teori Nilai Aksidental Komoditas: Dari Aristoteles hingga Marx

Muhammad Mutsaqqif
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4 Agustus 2024 18:27 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Mutsaqqif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Ilustrasi Marx dan Aristoteles sedang bercakap-cakap, Sumber: DALL·E 3 generated image.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Marx dan Aristoteles sedang bercakap-cakap, Sumber: DALL·E 3 generated image.
ADVERTISEMENT
Konsep nilai dalam ekonomi telah mengalami evolusi substansial. Penyelidikan awal Aristoteles(384-322 SM) dalam Nicomachean Ethics membentuk dasar-dasar untuk memahami nilai aksidental suatu komoditas. Yaitu, bentuk paling sederhana dari nilai suatu komoditas yang dimunculkan dalam relasi pertukaran antar komoditas.
ADVERTISEMENT
Namun, ketidakmampuannya untuk sepenuhnya mengonseptualisasikan esensi nilai dibatasi oleh struktur masyarakat yang berlaku selama masa hidupnya. Sebaliknya, karya Karl Marx (1818-1883 M) selanjutnya dibangun di atas ide-ide awal ini, memberikan teori nilai yang komprehensif yang mengakui kesetaraan kerja manusia sebagai prinsip utamanya.
Pengamatan Aristoteles tentang sifat nilai merupakan terobosan penting di zamannya. Dia mengamati bahwa nilai aksidental komoditas dapat dinyatakan dalam pertukaran atau bentuk ekuivalensi suatu komoditas dengan komoditas lain, seperti lima tempat tidur yang setara dengan satu rumah, dan menyadari bahwa agar pertukaran ini terjadi, komoditas harus memiliki kualitas magnitude yang sama. Wawasan ini sangat penting dalam menetapkan perlunya suatu bentuk kesetaraan dalam hubungan nilai.
Namun, Aristoteles tidak dapat menjelaskan lebih lanjut lagi tentang apa sebenarnya yang menjadi kesamaan besaran antar komoditas, yang menjadikannya dapat berada dalam relasi pertukaran. Keterbatasan ini mencerminkan konteks yang lebih luas dari masyarakat Yunani, di mana tenaga kerja sebagian besar terdiri dari budak, sehingga membuat gagasan kesetaraan di antara para pekerja menjadi konsep yang asing.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari keterbatasannya, kegeniusan Aristoteles terletak pada kemampuannya untuk melihat hubungan kesetaraan dalam ekspresi nilai komoditas. Dia memahami perlunya kesepadanan dalam pertukaran, namun tetap tidak dapat mengidentifikasi elemen homogen yang memungkinkan perbandingan tersebut.
Hal ini terutama disebabkan oleh fakta bahwa struktur sosial pada masanya tidak kondusif untuk gagasan tentang kesetaraan kerja manusia. Aristoteles melihat adanya kesetaraan yang melekat dalam pertukaran, tetapi tidak dapat menganggapnya sebagai atribut manusia yang umum, mengingat konsep kesetaraan di antara individu pada dasarnya tidak ada dalam masyarakat yang bergantung pada perbudakan di masa Yunani Kuno.
Kemudian, dalam Capital, Karl Marx mengembangkan pengamatan awal ini, menempatkannya dalam kerangka kerja sosial yang berbeda. Pada masa Marx, konsep kesetaraan antar manusia telah mendapatkan daya tarik yang signifikan, terutama dalam masyarakat di mana produksi dan pertukaran komoditas sangat dominan. Marx mengidentifikasi penyebut umum yang menyatukan berbagai komoditas yang berbeda sebagai tenaga kerja yang dikeluarkan dalam produksinya.
ADVERTISEMENT
Dalam teori nilai, Marx menyatakan bahwa nilai sebuah komoditas berasal dari tenaga kerja yang telah terkandung di dalamnya. Bentuk universal dari tenaga kerja manusia ini, terlepas dari sifat spesifik dari pekerjaan tersebut, adalah apa yang membuat komoditas yang berbeda menjadi sepadan.
Teori Marx menjelaskan sifat ganda dari tenaga kerja, yang terdiri dari tenaga kerja konkret, yang menghasilkan nilai guna (use value), dan tenaga kerja abstrak, yang menciptakan nilai (value). Perbedaan ini sangat penting, karena hal ini menjelaskan bagaimana komoditas dapat berbeda secara kualitatif namun memiliki nilai yang sama.
Sebagai ilustrasi, menjahit dan menenun adalah bentuk-bentuk kerja konkret yang berbeda. Namun, jika dilihat sebagai tenaga kerja manusia yang abstrak, keduanya berkontribusi pada nilai komoditas dengan cara yang sama. Yakni, secara umum keduanya adalah pencurahan tenaga kerja manusia.
ADVERTISEMENT
Abstraksi inilah yang akhirnya bmemungkinkan perbandingan dan pertukaran komoditas, sehingga memecahkan teka-teki yang tidak dapat dijawab oleh Aristoteles: nilai komoditas berakar pada kerja manusia yang abstrak yang terkandung di dalamnya.
Perkembangan dari Aristoteles ke Marx menggambarkan pergeseran yang signifikan. Sementara konteks Aristoteles menghalanginya untuk sepenuhnya memahami kesetaraan tenaga kerja, era Marx, yang ditandai dengan munculnya kapitalisme industri dan kemunduran struktur feodal, menyediakan lingkungan yang kondusif bagi konsep ini untuk berkembang.
Pengakuan atas tenaga kerja manusia sebagai ukuran nilai universal mencerminkan penerimaan yang lebih luas atas kesetaraan manusia, yang semakin mengakar dalam pemikiran sosial dan politik.
Ketidakmampuan Aristoteles untuk mengidentifikasi sifat sebenarnya dari nilai mencerminkan kendala historis pada zamannya. Ketergantungan pada tenaga kerja budak dalam masyarakatnya menghalangi konsep kesetaraan tenaga kerja, yang sangat penting untuk memahami nilai dalam konteks yang dijelaskan oleh Marx.
ADVERTISEMENT
Transisi masyarakat ke ekonomi yang lebih terkomodifikasi, di mana tenaga kerja dan produknya dipertukarkan secara bebas, memungkinkan pengembangan teori nilai yang mengakui bahwa semua tenaga kerja pada dasarnya setara. Pergeseran ini menunjukkan dampak signifikan dari perubahan struktur sosial dan ekonomi terhadap perkembangan teori.
Analisis Marx memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang nilai dengan menempatkannya dalam konteks hubungan sosial produksi. Dia menunjukkan bahwa nilai suatu komoditas bukanlah properti intrinsik dari barang itu sendiri, melainkan cerminan dari tenaga kerja yang dibutuhkan untuk memproduksinya, dilihat melalui lensa hubungan sosial.
Perspektif ini menunjukkan sifat dasar sosial dari nilai, yang menantang interpretasi naturalistis yang mungkin muncul dari pengamatan komoditas secara terpisah. Kritik Marx terhadap ekonomi politik dengan demikian memberikan kerangka kerja yang kuat untuk menganalisis dinamika produksi kapitalis dan eksploitasi yang melekat padanya.
ADVERTISEMENT
Evolusi konsep nilai dari Aristoteles ke Marx menunjukkan pengaruh signifikan dari struktur masyarakat terhadap kemajuan teori. Wawasan Aristoteles dibatasi oleh realitas sosial pada masanya, sehingga ia tidak dapat sepenuhnya mengartikulasikan teori nilai yang didasarkan pada kesetaraan tenaga kerja.
Marx, dengan membangun ide-ide awal ini dalam konteks masyarakat yang lebih terindustrialisasi dan terkomodifikasi, mampu memberikan teori komprehensif yang mengakui peran fundamental tenaga kerja manusia dalam menciptakan nilai. Evolusi ini menggarisbawahi pentingnya konteks dalam membentuk perspektif teoretis dan menyoroti interaksi dinamis antara struktur sosial dan kemajuan intelektual.