Perkara Lem Aibon dan Salah Ketik Anggaran, Itu Sepenuhnya Salah Kita!

Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Nanda Fauzan adalah penulis esai dan cerita pendek. Buku pertamanya, Persembunyian Terakhir Ilyas Hussein (Buku Mojok, 2022). Terpilih sebagai Emerging Writers di Ubud Writers and Readers Festival 2022.
Konten dari Pengguna
30 Oktober 2019 15:28 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Nanda Fauzan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
LOL. Dok: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
LOL. Dok: Pixabay
ADVERTISEMENT
Semenjak menggunakan telepon genggam butut—sebab yang lama raib karena kecerobohan-kecerobohan tertentu—saya menjadi kewalahan menulis di perangkat lunak pengolah kata yang tersedia di Android. Soalnya sederhana, dimensi layar membuat jarak antar huruf menjadi begitu berdesakan di keyboard, persis seperti orang-orang saling berhimpitan di KRL. Tapi seingat saya, tingkat kekeliruan saya tidak pernah selucu yang dialami Dinas Pendidikan Wilayah 1 Jakarta Barat. Mereka mencatat anggaran lem Aibon untuk kegiatan Biaya Operasional Pendidikan Sekolah Dasar Negeri, bahkan hingga mencapai nilai Rp 82,8 miliar. Uang sebanyak itu, jika digunakan untuk membeli pomade, maka seluruh murid di DKI akan tampil klimis dan tampan.
ADVERTISEMENT
Itu salah ketik—sebagaimana pengakuan Sekretaris Dinas Pendidikan, Susi Nurhati—tentu saja. Saya tidak terbiasa memberi penilaian buruk terhadap pejabat, mengingat saya tinggal di negara paling religius dan antikorupsi di Dunia. Kekeliruan tentu perkara menunggu, ia tidak mengenal kasta. Entah bromocorah, tukang parkir ajaib di minimarket, pengedar ikan cupang aduan, penyedia jasa caption di Instagram atau pejabat sekalipun tidak mungkin terlepas dari perbuatan salah, bukan?
Tetapi, yang cukup mengganjal dan membuat nafsu makan saya menurun adalah, apa sebenarnya yang hendak di tulis oleh mereka pada mulanya? ‘Lem Aibon’ terdiri dari dua kata. Saya berusaha merangkai apa yang mereka maksud, lalu merasa kewalahan pada akhirnya. Saya pikir, teka-teki ini mungkin hanya bisa diurai oleh Yogi Ahmad Erlangga sang Pemecah Rumus Helmholtz—salah satu rumus matematika paling rumit di dunia—atau oleh Pak Detektif Conan.
ADVERTISEMENT
Jika mereka menulis “Setiap hati Murid harus diberi harapan” misalnya, meski terkesan baperan ia tetap tampak masuk akal. Bukan tidak mungkin itu salah ketik dari “Setiap hari, Murid harus diberi sarapan.” Tetapi untuk kasus lem Aibon, saya merasa gagal menerka maksud.
Ilustrasi Aibon Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
Jika Anda merasakan kebingungan yang sama seperti saya, maka kita wajib merasa gagal, bergandengan bersama lalu menundukkan kepala. Seharusnya setiap warga negara yang baik dan santun memiliki kepandaian tertentu untuk membaca gelagat dan isyarat dari para pejabatnya, termasuk persoalan typo. Bahkan pada keadaan semacam ini, salah seorang akademisi atau penulis harus menerbitkan buku dengan judul “99 Cara Mudah Menebak Maksud Pemerintah” saya pikir, buku ini akan lebih laris dan berguna ketimbang buku dengan tajuk “Kiat-kiat Lolos CPNS” atau “Dialog Dengan Jin Indie”.
ADVERTISEMENT
Dengan kasus ini, kita patut merasa malu sebagai produk jebolan Dinas Pendidikan—atau apapun itu namanya. Dengan menghabiskan waktu selama dua belas tahun di sekolah dan dua tahun lebih di kampus, kita tidak cukup menguasai keterampilan untuk membaca pikiran mereka. Jika tahu begini hasilnya, alangkah lebih baik seandainya sejak mula kita berguru langsung pada Roy Kiyoshi atau Ki Joko Bodo atau Ki Sabdo yang tempo hari sanggup mengundang Nyai Roro Kidul di acara pelantikan presiden.
Dengan berguru pada tiga orang itu, kita memang tidak akan dikenal sebagai orang dengan latar belakang pendidikan tinggi. Tetapi, kemampuan cenayang selalu menghadirkan kegembiraan bagi kalangan tertentu. Orang-orang lebih senang menonton acara yang menyajikan setan dan perkara gaib ketimbang acara yang menguras sistem kerja otak. Seperangkat metode berpikir tidak lebih berguna dari kemampuan mengarang cerita-cerita gaib, itulah mengapa KKN di Desa Penari dibaca oleh ribuan orang.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, perkara Lem Aibon, jika pun memang secara harfiah dimaksudkan begitu—bukan salah ketik, atau salah input data—tidak ada kekeliruan padanya. Sekali lagi, Dinas Pendidikan tidak mungkin keliru sebagaimana Jomblo tidak mungkin selingkuh. Lem Aibon barangkali sejenis metafora atau pengandaian yang mampu merekatkan tali silaturahmi yang selama ini telah terputus.
Gaya ungkap dan kode-kode yang disamarkan semacam ini hanya bisa diterima oleh orang-orang cerdik dan pandai. Orang kaya kita mana paham sih, Bung. Paling-paling berpikir bahwa lem itu disalahgunakan untuk mabuk-mabukan. Dasar otak ngeres.
Karena ulah kita, beberapa jam setelah fakta itu terungkap, situs yang memuat Informasi terkait e-budgeting Pemprov DKI Jakarta tiba-tiba menghilang dan tak bisa diakses. Berbeda dengan Ria Ricis yang pamit terlebih dahulu, situs itu langsung menghilang tiba-tiba. Entah ulah Pak Harto, atau cocot Netizen, yang pasti saya berharap ia kembali lagi, tentu saja tanpa rasa segan.
ADVERTISEMENT
Sebelum menutup tulisan ini, saya sangat menyayangkan beberapa hal yang luput dari perbincangan kita. Pertama, membeli lem Aibon secara serentak itu memiliki dampak besar bagi industri lem. Memang tidak ada hubungannya dengan dunia pendidikan secara langsung. Tapi, mari kita bayangkan seandainya lem tidak pernah diciptakan di muka bumi, bagaimana Cinta dan Gang di film AADC menempel tulisan-tulisan dan segala macam pengumuman di mading coba? Mungkin Rangga tidak akan berjumpa dengan Cinta, suram dunia pendidikan kita.
Kedua, industri lem yang maju bisa menyerap tenaga kerja secara besar-besaran, bukan? Mentang-mentang menteri pendidikan punya perusahaan ojek online, bukan berarti semua alumni sekolah harus ngojek, siapa tahu ada yang mau ngelem.
ADVERTISEMENT