Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ketimbang Wali Kota, Gibran Memang Lebih Cocok Jual Martabak Saja
1 November 2019 15:12 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Muhammad Nanda Fauzan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kamis lalu (24/9)—beberapa hari setelah Bapaknya dilantik menjadi orang nomor wahid di Indonesia—Gibran menyambangi kediaman Ibu Mega di Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat. Tentu saja, kedatangan Gibran bukan untuk 'Grebek Rumah' seperti konten para Youtuber sohor Indonesia. Ia hendak meminta izin dan restu untuk maju sebagai Calon Wali kota Solo, melanjutkan kiprah sang ayah.
ADVERTISEMENT
Dalam pertemuan itu, selain mendapat kursus politik selama satu jam dari Bu Mega, Gibran juga mendapat daftar bacaan baru yang wajib ia khatamkan sebelum maju di arena Pilwalkot Solo tahun mendatang, yakni; Indonesia Menggugat (1951), Mencapai Indonesia Merdeka (1933), Lahirnya Pancasila (1947), dan Membangun Tatanan Dunia Baru.
Berbeda dengan menyantap Markobar, sekadar menyebut empat judul buku itu saja, nyali saya berhasil mengkerut. Daftar bacaan itu bukan sembarang buku, itu adalah intisari dari empat pidato Bung Karno semasa hidup.
Membaca empat Magnum Opus dari Soekarno jelas tidak sama dengan membaca jokes garing bapak-bapak yang beredar di grup WhatsApp, atau membaca caption Instagram Fiersa Besari yang bisa kita rampungkan dalam waktu sepeminuman kopi. Proses pembacaannya butuh keuletan serupa membangun tembok China pada masa dinasti Qin. Gibran perlu memahami konteks sejarah, juga dinamika perjuangan bangsa.
ADVERTISEMENT
Belum lagi, sederet buku Bung Karno lainnya yang menunggu untuk ditandaskan—mengingat empat judul di atas hanyalah syarat minimal. Mulai dari empat jilid Dibawah Bendera Revolusi (DBR) yang saking tebalnya bisa kita alihwahanakan menjadi bantal tidur, hingga buku Sarinah yang kerap menjadi acuan para wanita untuk berjuang dan berpolitik.
Memang betul masih ada waktu untuk Gibran merampungkan buku bacaan itu—di luar perkara apakah ia memahami dengan baik atau tidak. Sebagaimana masih ada waktu untuk Gibran membatalkan niatnya. Masing-masing dari kita terbiasa untuk memberi pengampunan dan maaf atas segala rencana yang gagal terlaksana, bukan?
Seperti Ria Ricis yang berniat undur diri dari dunia Youtube, lalu tiba-tiba kembali lagi. Atau, niat menikahi kekasih tapi tahu-tahu ditikung oleh orang yang jauh lebih menawan. Untuk kasus yang terkahir, konon turut melipat-gandakan populasi Sobat Ambyar Nusantara.
ADVERTISEMENT
Percayalah, niat menjadi Wali Kota bukanlah pilihan bijak bagi Gibran. Selain akan dikenal sebagai orang yang melanggengkan politik dinasti, bukan tidak mungkin ia akan berjumpa dengan musuh politik yang ganas dan galak-galak, Sang Bapak telah membuktikan itu. Keganasan musuh politik, satu tingkat di atas komentar nyinyir para warganet, dan satu level dengan pemberi ulasan negatif produk martabak yang ia kelola.
Sebagai orang yang mengidolakan Gibran Markobar, saya hendak mengingatkan—seperti kebiasaan para Netizen, lebih baik menjadi tukang martabak paling terampil di dunia, ketimbang menjadi Wali Kota yang kerap dicemooh. Masih ingat di kepala kita, bagaimana kebijakan-kebijakan brilian beberapa wali kota di Indonesia turut membuat Netizen lancar merapalkan olok-olok, juga menghadirkan ketersediaan stok bahan meme yang melimpah-ruah.
ADVERTISEMENT
Di Depok, M. Idrus Abdul Somad, sang wali kota yang bijak-bestari, memutar lagu-lagu yang ia garap sendiri untuk diputar di setiap sudut lampu merah guna menghindari stress yang dialami warganya karena kemacetan. Alih-alih memperluas ruas jalan raya atau memperbaiki fasilitas transportasi umum, misalnya.
Di Bandung, Kang Oded M Danial, berbaik hati membagikan bayi ayam kepada anak-anak agar mereka tak kecanduan gadget. Kita tahu, itu sejenis kebijakan yang tidak cukup bijak, tetapi cukup dermawan untuk ukuran politisi.
Itu hanya dua nama, saya tidak punya cukup waktu dan tenaga untuk mengulas seluruh kebijakan wali kota dari Sabang sampai Merauke. Tetapi, dari dua nama itu kita bisa menyimpulkan bahwa menjadi wali kota bukan perkara sepele.
ADVERTISEMENT
Mungkin saja Wali Kota Depok punya cita-cita mulia untuk menjadi musisi, dan menjadi musisi tidak lebih buruk dari menjadi politisi—kecuali ia bisa mempraktikkan keduanya seperti SBY. Bahkan, pada titik tertentu, dunia tarik suara jauh lebih prestisius. Jika ia menjadi musisi yang cakap, lagunya akan diputar di seluruh penjuru negeri tanpa harus membuat kebijakan keliru, dan bukan tidak mungkin ia diundang di acara musik pagi untuk berjoged. Lalala, yeyeye… Sebab, jika berkaca pada kemampuan olah suaranya, diundang Grammy Awards jelas harapan yang terlampau muluk.
Atau, Kang Oded Wali Kota Bandung, memliki kecenderungan untuk menjadi penderma sejak ia kecil. Menjadi seorang Dermawan, jauh lebih layak untuk dikenang ketimbang menjadi politisi. Entah membagikan uang secara cuma-cuma, puluhan dus mie instan untuk anak kos, kuota internet untuk bekal video call para penganut kepercayaan LDR, skincare untuk warga Indonesia lebih glowing, atau menghadiahkan anak ayam bagi para pecandu gadget. Dengan cara saleh semacam itulah Kang Oded menempuh hidupnya.
ADVERTISEMENT
Atas sejumlah capaian, dan keberhasilannya meraup omzet satu miliar di bidang kuliner—juga rangkaian bisnis lain yang ia tangani—Gibran jauh memiliki potensi untuk bersinar di dunia bisnis. Gibran, adalah petarung martabak sejati, ia adalah Markobar.
Branding ‘Markobar’ yang telanjur melekat erat pada dirinya itu, terlalu mahal untuk ditukar dengan jabatan wali kota semata. Dengan lebih dari 30 outlet di Indonesia, Gibran dan martabak adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan.
Tetapi, jika kelak terpilih menjadi wali kota, apakah Gibran akan mewajibkan warganya ber-selfie dan menyantap Markobar? Patut kita tunggu.