Konten dari Pengguna

Lelang Keperawanan Sarah Keihl Adalah Sindiran Epik untuk Pejabat Kita

Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Nanda Fauzan adalah penulis esai dan cerita pendek. Buku pertamanya, Persembunyian Terakhir Ilyas Hussein (Buku Mojok, 2022). Terpilih sebagai Emerging Writers di Ubud Writers and Readers Festival 2022.
23 Mei 2020 15:04 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Nanda Fauzan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Lelang. Foto: Dok: Indra Fauzi/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Lelang. Foto: Dok: Indra Fauzi/kumparan.
ADVERTISEMENT
Semua manusia jelas punya tafsir masing-masing atas segala peristiwa. Jika penafsiran hanya sebatas konsumsi personal, ia boleh dibuat seimajinatif mungkin, tak ada yang berhak dan boleh melarang. Namun, jika hendak disampaikan di muka umum, tentu setiap tafsir selalu menuntut argumentasi dan pertanggung jawaban logis.
ADVERTISEMENT
Pun, atas keputusan ekstrem—untuk tak menyebutnya berlebihan—Sarah Keihl, yang hendak melelang keperawanannya guna kepentingan bantuan bagi masyarakat yang terkena imbas Covid-19, orang-orang di sosmed mulai menebar tafsirannya, bahkan hanya dalam hitungan detik setelah video itu diunggah.
Seperti penjaja barang dagangan di Pasar Tanah Abang, mulut mereka memang terlatih menjadi lincah dan lihai sekali.
Sebagian orang, utamanya dari kelompok yang terlampau sinis, menarik simpulan bahwa langkah yang diambil Sarah Keihl tak lain hanya strategi untuk meraup ketenaran, menyulut sensasi—agar ia jauh lebih dikenal. Kelompok orang Shalih mengajukan asumsi, bahwa Sarah adalah produk laten dari gaya hidup modern nan penuh kebebasan, yang jauh dari kata bermoral—tentu moral versi mereka. Dan, masih banyak kubu-kubu lainnya, dengan cara analisis yang tak kalah canggih.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, segala interpretasi melulu sah dan diperbolehkan, sejauh ia bisa menanggung beban pertanggungjawabannya sendiri-sendiri.
Dan oleh alasan itu pula saya akan mengajukan satu takwil, yang bagi saya pribadi, paling masuk akal untuk dikemukakan; lelang keperawanan Sarah Keihl tak lain ialah sindiran untuk perilaku sebagian pejabat kita. Anda boleh mendebat, tentu saja.
Sekadar informasi, Sarah Keihl bukan jenis orang yang berdiri di strata sosial rendah, Ia bukan mahasiswa kere yang setiap akhir bulan terpaksa mengonsumsi mi instan secara berkala. Sarah adalah perempuan mapan, dengan jumlah pundi-pundi kekayaan yang bisa bikin saldo rekeningmu merasa minder.
Anda bisa mengecek kanal YouTube pribadinya, bukan untuk menangis sebab iri, tetapi untuk melihat bagaimana ia benar-benar glamor. Ia memiliki tas seharga—kira-kira—melebihi biaya hidup saya selama bertahun-tahun, jalan-jalan ke negeri jauh, memamerkan mobil mewah dengan banderol Rp 5 miliar, dan sejumlah fasilitas jempolan lainnya.
ADVERTISEMENT
Dengan nominal yang begitu melimpah ruah, adalah muskil jika Sarah Keihl melelang keperawanannya dengan patokan Rp 2 miliar, rupiah yang baginya receh belaka. Angka yang bahkan tak menyentuh setengah harga kendaraan yang saban hari ia pamerkan. Tak ayal lagi, ada nilai dan wacana lain yang hendak Sarah Keihl tunjukkan, dengan cara yang begitu disamarkan, hanya kode-kode khas perempuan.
Tentu masih hangat di benak kita semua, bagaimana polemik yang ditimbulkan sebab tingkah-polah Anggota DPR yang berencana meminta ribuan alat rapid rest secara cuma-cuma. Padahal, nafkah mereka lebih dari cukup untuk sekadar memesan alat itu. Sementara kelompok-kelompok rentan—yang mestinya diprioritaskan—masih terkatung-katung untuk menentukan nasib.
Rencana itu akhirnya menguap tak tentu arah, sebab kritik yang disematkan oleh banyak pihak. Tetapi, kebiasaan minta gratisan dan harga teman, bahkan dalam kondisi sekarat seperti sekarang, telah menjadi semacam watak bawaan para pejabat kita. Itulah mengapa Indonesia selalu subur oleh kasus-kasus korupsi.
ADVERTISEMENT
Sarah Keihl hendak memberi ilustrasi bahwa kita selalu wajib mengorbankan banyak hal untuk merengkuh keinginan, bahkan yang mulia sekalipun. Modal besar, waktu, pikiran, bahkan tenaga, harus selalu siap terkuras. Tidak ada yang benar-benar gratis di dunia ini. Bahkan pemenang give away di Instagram selalu diminati tanggungan ongkir.
Sarah merelakan hal berharga yang ia miliki, dalam hal ini keperawanan, untuk menggalang donasi. Sementara oknum pejabat kita rela menggadaikan harga dirinya untuk ambisi-ambisi rendah. Idiw~
Kita juga rasanya belum sempat lupa bagaimana Bupati Klaten curi-curi kesempatan untuk kampanye gratis. Itu, lho, yang sempat viral karena pasang foto pribadi di bantuan logistik Kemensos, yang kemudian fotonya ramai diedit menjadi meme oleh Warganet.
ADVERTISEMENT
Nah, watak model begini yang menjadi sasaran utama Sarah Keihl. Alih-alih mengorbankan segala yang ia miliki untuk kepentingan umat, sebagaimana tugasnya selaku pemimpin, Bupati Klaten malah curi-curi kesempatan di tengah kesempitan—persis kelakuan jomblo saat dihadapkan dengan gebetan.
Meski kemudian video itu dihapus dari akun instagramnya, rencana lelang dibatalkan, lalu ia memohon maaf sekaligus klarifikasi—khas influencer saat dirundung musibah—bahwa unggahannya tak lain adalah sindiran terhadap sikap warga yang antipati. Alasan yang sangat kekanak-kanakan, dan kurang tepat.
Tetapi, keberanian Sarah Keihl tetap layak diacungi jempol. Jujur saja, kita butuh sosok seperti Sarah Keihl lebih banyak lagi, bukan meniru sisi gelapnya, namun seperti yang Sarah Keihl ungkapkan, “ambil sisi positifnya” yaitu kritik terselubung terhadap pejabat, dengan sedikit catatan; hindari hal-hal ekstrem seperti yang dilakukan Sarah.
ADVERTISEMENT