Pein Akatsuki dan Lebah Ganteng, Terima Kasih untuk Semuanya!

Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Nanda Fauzan adalah penulis esai dan cerita pendek. Buku pertamanya, Persembunyian Terakhir Ilyas Hussein (Buku Mojok, 2022). Terpilih sebagai Emerging Writers di Ubud Writers and Readers Festival 2022.
Konten dari Pengguna
24 Desember 2019 15:37 WIB
comment
26
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Nanda Fauzan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pein Akatsuki. Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pein Akatsuki. Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
ADVERTISEMENT
Dua hari terakhir, saat mendengar kabar bahwa pemerintah sedang getol memblokir situs-situs film bajakan, hal pertama yang saya ingat adalah Pein Akatsuki dan Lebah Ganteng. Dalam ranah sulih teks atau takarir—padanan kata yang tersedia di KBBI untuk Subtitle—keduanya memang tak mudah dilupakan. Keduanya adalah legenda.
ADVERTISEMENT
Seolah-olah semua percakapan dalam bahasa apa pun, dengan tingkat kerumitan setinggi apa pun, selalu sukses dialih-bahasakan. Bahkan jawaban “terserah” saat sepasang kekasih dilanda kemelut asmara, hanya mereka berdua yang otoritatif untuk menafsirnya.
Terlalu munafik rasanya, jika orang-orang—terlebih mereka yang gandrung film—mengaku tak mengenal nama itu. Benar bahwa menikmati karya bajakan adalah laku yang kurang baik, tetapi dalam kenyataannya, hanya sepuluh persen saja pelanggan yang terbiasa menikmati karya legal—menurut Aliansi Kekayaan Intelektual Internasional. Selain itu, hampir setengah dari konsumen film bajakan adalah anak-anak muda berusia 18-24 tahun. Dengan modal semacam itu, besar kemungkinan, jika Pein Akatsuki dan Lebah Ganteng mendirikan partai untuk anak muda, mereka bisa menyaingi ketenaran PSI.
ADVERTISEMENT
Tetapi, menjerumuskan keduanya untuk masuk dunia politik adalah sulit belaka. Mereka selalu berangkat dari niat suci: berbagi. Dari kerja-kerja kreatif yang telah ditekuni, keduanya tak meraup rupiah. Atas hal itu, menurut hemat saya, perlu rasanya mereka diabadikan sebagai nama pahlawan nasional, atau paling tidak dibuatkan monumen.
Sejauh pengalaman saya, kinerja Pein Akatsuki dan Lebah Ganteng tidak pernah mengecewakan. Jika ada sedikit kekeliruan dalam proses penerjemahan, setidaknya masih bisa kita maafkan. Seperti kita, mereka adalah manusia biasa. Lagi pula, apa sih hak kita untuk kecewa, lha wong doyan gratis kok banyak gaya.
Tidak pernah sekali pun keduanya iseng membuat prank-prank norak seperti youtubers. Padahal, kesempatan semacam itu terbuka lebar. Misalnya, menukar takarir film Avengers: Endgame (2019) dengan Frozen 2 (2019). Agar orang-orang dengan kemampuan bahasa Inggris lemah menjadi sedikit heran mengapa Thanos berubah sangat gemulai, dan Elsa menjadi sangat maskulin. Mereka tidak pernah melakukan itu.
ADVERTISEMENT
Tidak pernah juga terbersit dalam benak mereka, memalsukan dialog-dialog para tokoh film dengan lirik lagu Didi Kempot. Mereka tahu, warga Indonesia mudah ambyar. Apalagi menukar narasi-narasi dalam film menjadi pidato pak Menteri Nadiem Makarim. Mereka tahu, itu perbuatan yang sangat tidak terhormat.
Keduanya patut kita apresiasi, patut kita hormati dengan cara yang paling mungkin bisa kita lakukan. Mereka telah membawa kita menjelajahi Khazanah film dunia, tanpa perlu susah-susah menukarkan beberapa lembar rupiah dengan secarik tiket bioskop.
Setelah situs film bajakan lenyap dari Indonesia, dan agar kita tetap bisa menikmati hasil cipta keduanya, maka kita perlu memikirkan profesi alih bahasa yang potensial untuk digeluti. Misalnya, menjadi admin sosial media, atau guru privat anak-anak gaul yang kerap menggunakan logat ke-jaksel-jakselan. Itu lho, yang sering menyelipkan idiom-idiom asing dalam percakapan.
ADVERTISEMENT
Mereka tuh makes us annoyed banget, which is bikin ribet dan literlly gak sesuai konteks. Probably biar tampil keren mungkin ya, padahal lebih worth it pakai bahasa Indonesia. Atau lebih prefer pakai bahasa daerah sih, basicaly itu culture kita. Gak understand deh sama language yang di-mixed gitu.
Dengan sedikit sulapan dari Lebah Ganteng dan Pein Akatsuki, anak-anak gaul Jaksel mungkin akan lebih baik dalam tiap tutur kata. Saya kira, Pak Anies Baswedan perlu menuliskan kebijakan semacam ini untuk kepentingan Provinsi Jakarta, di mana Lebah Ganteng dan Pein Akatsuki diajak untuk bekerja sama. Bagaimanapun, bahasa adalah hal yang tak bisa diabaikan.
Itu hanya satu cara. Saya kira masih banyak cara lain yang tak kalah elegan. Entah, misalnya, menjadikan keduanya sebagai staf khusus presiden. Keduanya masih muda dan punya potensi yang baik untuk dipilih. Bahkan, mereka sudah memberi kontribusi nyata tanpa tunjangan dan gaji-gaji yang melimpah.
ADVERTISEMENT
Selain mengenang mereka sebagai dua pahlawan tanpa tanda jasa, hal demikian adalah senyata-nyatanya apresiasi. Kita harus menonton film legal, tetapi juga tak boleh melupakan jasa keduanya. sebab itu adalah dua hal yang berbeda.
Bahkan jika berkenan, kita harus menulis dan mengabadikan nama mereka di lembar ucapan terima kasih skripsi. Ketimbang menulis nama pacar, eh tahu-tahu ditinggal nikah. Atau menulis nama mantan yang sudah bahagia bersama orang lain.
Sekali lagi, dengan segala hormat, jaya terus Lebah Ganteng dan Pein Akatsuki. Semoga segala kontribusi kalian dibalas setimpal.