Terhadap Zara, Warganet Lebih Ganas Ketimbang Bu Tejo

Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Nanda Fauzan adalah penulis esai dan cerita pendek. Buku pertamanya, Persembunyian Terakhir Ilyas Hussein (Buku Mojok, 2022). Terpilih sebagai Emerging Writers di Ubud Writers and Readers Festival 2022.
Konten dari Pengguna
23 Agustus 2020 15:45 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Nanda Fauzan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bu Tejo Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bu Tejo Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
ADVERTISEMENT
Bu Tejo, salah satu tokoh kunci dalam film Tilik (2018), tengah hangat diperbincangkan. Ia dianggap relevan untuk merepresentasikan perangai sebagian dari kita yang teramat nyinyir, tangkas bersilat lidah, dan kadang manipulatif. Singkatnya, Ibu dengan dandanan glamor ini—secara simbolis—terpilih sebagai duta ghibah nasional di hati Warganet.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, film berdurasi tak lebih dari setengah jam ini sukses memboyong predikat jawara untuk Kategori Film Pendek Terpilih pada Piala Maya 2018, ia juga menjadi Official Selection Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2018 dan Oficial Selection World Cinema Amsterdam 2019.
Di tengah pangsa pasar film pendek—yang konon mengkhawatirkan—ia juga berhasil menyerap perhatian. Tiga hari setelah Ravacana Film—rumah produksi Tilik—mengunggah aksi Bu Tejo di platform Youtube1, tak kurang dari dua juta penonton turut menikmati tayangan ghibah maut di atas truk bermuatan Ibu-ibu. Pujian dari sineas kesohor pun berdatangan, meski kritik juga sama derasnya.
Bu Tejo membuat kita jengkel, terenyuh, dan berpikir ulang tentang perlunya menapis informasi sekaligus menjaga lisan. Tetapi Warganet kita memang bebal, dan sulit menyaring pesan. Agaknya, di edisi revisi, Tilik bisa menggunakan strategi mi instan, satu kemasan isi dua. Agar tak ada lagi keluhan satu Bu Tejo dirasa kurang, sedangkan dua terlalu berlebihan.
ADVERTISEMENT
Rasanya, jika perlu memodifikasi peribahasa lawas untuk menggambarkan betapa buruknya perilaku media sosial kita, “lain di konten, lain di jempol” mungkin terdengar cocok. Di hari yang sama dengan naiknya sosok Bu Tejo, Zara dirisak habis-habisan. Sangat ironis.
Pemeran tokoh Dara dalam film Dua Garis Biru (2019) itu menjadi sorotan setelah video yang mirip dirinya dengan Zaki, sang kekasih, beredar di lini masa. Video itu berdurasi belasan detik, berisi adegan yang dianggap tak senonoh. Meremas payudara, kira-kira begitu persepsi Warganet.
Kita bisa menilai jurus mereka jauh lebih mematikan ketimbang cocot Bu Tejo. Di titik paling ekstrem, komentar produk yang menjadikan Zara sebagai brand ambassador turut diaasar. Bahkan, ada yang mengaitkan—secara sembarang—aktivitas politik Ibunya. Ini sudah di luar batas. Bu Tejo, saya berani bertaruh, merasa minder melihat perilaku demikian.
ADVERTISEMENT
Penghakiman yang berlebihan boleh jadi muncul karena enggan kehilangan momentum belaka. Mereka berebut tampil di satu panggung, berlomba-lomba mendapatkan atensi. Dengan demikian kita patut curiga, jangan-jangan warganet membincangkan Bu Tejo bukan karena muatan pesan di dalamnya, tetapi melulu mengejar kesan kekinian, ditambah hasrat nyinyir yang mendarah daging.
Zara mungkin keliru, tapi saya yakin itu bukan jenis kesalahan yang layak dihujani pelbagai makian. Ia gadis berusia 17 tahun yang masih perlu belajar tentang hidup, tak layak menerima hantaman sedemikian rupa. Ia juga tak merugikan pihak lain di luar dirinya.
Tetapi, Anda tentu paham, Warganet garis sableng ini selalu punya justifikasi yang tak beres. Katanya, tontonan demikian tak mendidik. Namun di lain sisi, mereka pula yang menjadi pihak paling bertanggung jawab terhadap sebaran potongan video tersebut. Seperti melempar batu sembunyi tangan, bukan?
ADVERTISEMENT
Katanya lagi, Zara tak sejalan dengan visi Dua Garis Biru yang mendikte tentang pentingnya pendidikan seks. Mungkin, orang-orang demikian menuntut Daniel Radcliffe, pemeran Harry Potter, untuk bisa melanglang buana di atas sapu terbang. Atau menuntut Abimana, pemeran Gundala, untuk mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Pahlawan. Mereka gagal membedakan yang fiktif dan yang nyata.
Tuntutan agar publik figur selalu tampil ideal adalah permintaan muskil dan keliru. Para kesohor yang kita idolakan memiliki dunia sendiri, dosa sendiri, sama seperti manusia pada umumnya. Ia bukan Hero yang lahir dari bejana emas, yang tiap gerak-geriknya selalu ajaib.
Cristiano Ronaldo yang demikian gemilang di atas lapangan hijau mungkin pernah memecahkan kaca rumah tetangga saat latihan. Dian Sastro dengan kesempurnaannya pasti pernah kentut di kolam renang. Dan itu biasa saja, percayalah.
ADVERTISEMENT
Kasus ini mengingatkan kita pada pidato kebudayaan Mochtar Lubis berjudul Manusia Indonesia, dua dasawarsa lalu. Bahwa salah satu ciri masyarakat kita adalah hiprokit alias munafik. Kita menggugat ibu-ibu cerewet seperti Bu Tejo di dunia nyata, tetapi di dunia maya jempol kita lebih lihai dari kerja otak dan nurani.
Jadi, perlu berapa sosok Bu Tejo agar kita segera sadar?