Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Hukuman Mati bagi Koruptor, Efektifkah?
12 Januari 2022 12:50 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhammad Naufal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa minggu yang lalu, salah satu terdakwa kasus korupsi Asabri, Heru Hidayat dituntut hukuman mati oleh Jaksa Penuntut Umum dengan alasan, melakukan pengulangan tindak pidana korupsi. Memang, Selain terseret pada kasus korupsi Asabri, dia juga telah terbukti bersalah pada kasus korupsi Jiwasraya. Selain itu, kerugian negara yang disebabkan oleh kasus korupsi Asabri jugalah besar, ditafsir mencapai Rp 22,7 triliun. Sudah barang tentu, kasus ini turut memperpanjang catatan merah kasus megakorupsi di Indonesia. Bahkan, jika dibandingkan dengan kerugian negara yang disebabkan oleh korupsi berjemaah E-KTP (Rp 2,3 T) pun, nilainya akan tetap jauh lebih besar.
ADVERTISEMENT
Pada level penuntutan, Heru Hidayat bukanlah terpidana pertama yang dituntut hukuman mati oleh JPU. Sebelumnya, pada kasus pembobolan BNI, Dicky Iskandar Dinata juga dituntut hukuman mati walaupun, pada akhirnya pengadilan memvonisnya 20 tahun penjara. Kemudian, meskipun tidak sampai pada tingkatan penuntutan, akan tetapi desas-desus hukuman mati pun, turut menyelimuti vonis Juliari Batubara pada kasus korupsi bansos Covid-19.
Dalam hukum positif Indonesia, hukuman mati terhadap koruptor memanglah sah. Sebagaimana yang diatur pada pasal 2 ayat 2 UU 31/1999 jo 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Setidaknya, terdapat tiga syarat yang memungkinkan seorang terpidana korupsi dijatuhi hukuman mati. Pertama, pada waktu terjadi bencana alam nasional, kedua, pengulangan tindak pidana korupsi, dan ketiga, pada saat negara tengah mengalami krisis moneter dan fiskal.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya ialah, selain bertentangan dengan prinsip HAM , seberapa efektifkah hukuman mati dalam menjerakan koruptor? Artikel singkat ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Penulis berpendirian bahwasanya, hukuman mati bukanlah hukuman yang efektif dalam menjerakan koruptor dan semata-mata dapat menekan angka korupsi.
Melainkan, menegakkan rule of law dan memiskinkan koruptor dirasa akan lebih penting di sini. Logikanya sederhana, dalam konteks rule of law sudah sangatlah jelas, kepastian dan penegakkan hukum secara imparsial merupakan salah satu kunci keberhasilan pemberantasan korupsi. Selanjutnya, berangkat dari logika motif utama korupsi adalah ekonomi, maka harus didekatkan dengan disinsentif ekonomi. Oleh karenanya, pemiskinan koruptor pun, akan menemukan relevansinya. Hal ini juga berkelindan dengan urgensi mengembalikan kerugian keuangan negara melalui cara “pemiskinan” koruptor.
ADVERTISEMENT
Perbandingan Negara-Negara di Dunia
Belum ada satu pun hasil penelitian di dunia yang mengatakan bahwasanya, hukuman mati dapat menjerakan koruptor. Secara empiris, jika kita berkaca dari negara-negara dengan perolehan IPK terbaik dengan anggapan sebagai negara bersih. Seperti, Singapura, Finlandia, dan Selandia Baru tidak ada satu pun yang menerapkan hukuman mati terhadap koruptor. Justru, pidana hukuman mati masih populer diterapkan di negara-negara dengan perolehan IPK yang rendah dan cenderung otoriter. Seperti, Korea Utara, Cina, dan Iran.
Bahkan, China pada 26 Desember 2020 yang lalu, melalui amandemen hukum pidana, mengesahkan hukuman mati bagi aktor pejabat non-negara yang terlibat kasus korupsi dengan jumlah uang yang ‘sangat besar’. Setelah sebelumnya, hukuman mati sudah menjadi hukuman yang diterapkan terhadap pejabat yang dihukum karena kejahatan ini. Lantas, apakah korupsi semata-mata dapat lenyap begitu saja? Nyatanya, IPK Cina pada tahun 2020 masih saja menduduki peringkat yang buncit dengan perolehan skor 42.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, satu hal yang lebih penting dalam pemberantasan korupsi. Ialah, penegakkan hukum. Mengacu pada indeks rule of law 2021 yang dirilis oleh World Justice Project, negara-negara dengan perolehan nilai yang baik akan menunjukkan tren yang sama terhadap perolehan IPK. Contohnya, Finlandia, Norwegia, dan Singapura.
Belajar dari salah satu kasus di Singapura, hanya karena mencoba menyuap polisi di MRT dengan uang sebesar S$50, seseorang dipenjara selama 4 minggu. Melalui kasus ini kita belajar, penegakkan hukum terhadap korupsi tidak boleh pandang bulu. Tidak peduli seberapa kecil bentuknya.
Dalam konteks Indonesia, jika kita berkaca dari vonis pengadilan terhadap terpidana korupsi, maka kita akan menemukan disparitas putusan pengadilan yang cenderung memberikan diskon terhadap terpidana korupsi. Laporan tren vonis ICW pada 2020 menunjukkan rata-rata hukuman koruptor hanyalah 37 bulan penjara. Hal inilah yang makin membuat koruptor memandang korupsi sebagai kegiatan yang bersifat low risk, high reward.
ADVERTISEMENT
Hal ini pun diperparah dengan dibatalkannya PP 99/2012 oleh MA yang mengatur tentang pemberian remisi terhadap koruptor. Sebelumnya, PP tersebut mensyaratkan pemberian remisi terhadap koruptor haruslah memenuhi dua syarat, yakni: bersedia menjadi justice collaborator dan telah membayar lunas denda serta uang pengganti. Setelah PP tersebut dibatalkan, maka konsekuensi logisnya ialah, remisi terhadap koruptor akan menjadi lebih longgar dan korupsi pun seakan tidaklah lagi menjadi extraordinary crime.
Urgensi Penegakan dan Penguatan Instrumen Hukum
Salah satu langkah konkret pemberantasan korupsi di Indonesia yang masih mandek, ialah tidak kunjung disahkannya RUU Perampasan Aset di DPR. RUU Perampasan Aset selalu saja terpental pada prolegnas prioritas tahunan. Padahal, sejak 2015 RUU ini selalu masuk ke dalam Prolegnas jangka menengah.
ADVERTISEMENT
RUU ini juga merupakan instrumen hukum yang sangat dibutuhkan saat ini. Melalui UU Perampasan Aset, negara akan memiliki kekuatan lebih dalam merampas aset sitaan hasil korupsi. Sehingga, potensi kembalinya kerugian negara atas hasil korupsi pun, makin menguat.
Selanjutnya, dengan menyesuaikan terhadap karakteristik korupsi di Indonesia. penulis berpandangan, hukuman yang paling ideal bagi koruptor terdiri atas tiga perpaduan yang meliputi: perampasan aset atau pemiskinan, pemenjaraan badan, dan pencabutan hak politik. Ironisnya di Indonesia, penegakkan terhadap ketiganya saling berkelindan menunjukkan hasil yang kurang memuaskan.
Pertama, masih minimnya pengembalian kerugian negara. Pada laporan tren vonis ICW pada 2020, dari Rp 56 T kerugian negara yang disebabkan oleh korupsi, uang pengganti yang kembali hanyalah Rp 19 T. Argumen ini juga diperkuat dengan masih mandeknya pembahasan RUU Perampasan Aset, dan minimnya dakwaan menggunakan UU TPPU.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks pemenjaraan badan, vonis pengadilan kerap mengalami disparitas putusan yang cenderung meringankan. Contohnya, diskon besar-besaran atas vonis terhadap Jaksa Pinangki dengan tuntutan selama 10 tahun dan vonisnya hanyalah 4 tahun. Terakhir ialah, pencabutan hak politik yang juga menunjukkan tren yang sama. Berdasarkan laporan tren vonis ICW 2020, sepanjang tahun 2020, dari 43 terdakwa ataupun terpidana yang berasal dari klaster politik, terhitung hanya 22 orang yang dicabut hak politiknya.
Sehingga, dibandingkan dengan penerapan hukuman mati bagi koruptor. Masih banyak pekerjaan rumah lain yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Ialah, menegakkan rule of law secara imparsial dan memperkuat dasar hukum bagi Tindak Pidana Korupsi. Seperti, mengesahkan RUU Perampasan Aset yang hingga saat ini masih mandek di meja parlemen.
ADVERTISEMENT