Konten dari Pengguna

Islam di Jawa Abad 17-19: Upaya, Tantangan dan Puritanisme

Muhammad Nur Azza
Mahasiswa S-1 Hubungan Internasional Universitas Sebelas Maret
12 November 2024 15:55 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Nur Azza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Abad 17: Bagaimana Islam merasuki jiwa masyarakat Jawa

ADVERTISEMENT
Bagaimana Islam masuk ke Nusantara terkhususnya Jawa masih menjadi sebuah misteri yang belum terpecahkan. Di Jawa misalnya, 'kegelapan' sejarah pasca runtuhnya Majapahit menjadikan kita buta oleh apa yang terjadi di era itu (abad 15-16). Padahal, di abad inilah terjadi momen krusial masuknya Islam dalam masayarakat Jawa yang sebelumnya Hindu-Budhis. Namun, beberapa manuskrip dari abad 16, menunjukkan bahwa Islam 'menyatukan' diri dalam masyarakat Jawa. Menghasilkan budaya hibrida antara Jawa-Islam. Awal abad 17, Jawa dikuasai oleh satu dinasti islam yakni Mataram dengan penguasa besarnya yakni Sultan Agung. Alih-alih memaksakan islam sepenuhnya pada masyarakat Jawa yang memang pada abad tersebut mereka masih memeluk agama lamanya, Agung lebih memilih untuk tidak memutus tradisi mistis non-islamik masyarakat asli Jawa (misalnya Kanjeng Ratu Kidul) dan menjadikan hal-hal tersebut menjadi lebih islami. Agung banyak mengeluarkan karya sastra yang diyakini memiliki kekuatan magis namun tetap mengajarkan ajaran islam. Ricklefs dalam bukunya "Mengislamkan Jawa" menyebut, salah satu karya sastra itu yakni Kitab Usulbiyah, mengklaim bahwa membaca atau menulis isi dari kitab tersebut, setara dengan menggenapi dua dari lima rukun islam. Selain itu, dalam kitab ini juga diceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW digambarkan mengenakan sebuah mahkota emas dari Majapahit. Hal ini mungkin menjadi sedikit gambaran bahwa apa yang terjadi dalam perkembangan islam pada masyarakat Jawa di abad 17 adalah sebuah upaya pemersatuan budaya Islam dan Jawa yang agaknya, gaya dari ajaran Mataram Sultan Agung ini meneruskan dari apa yang dahulu diajarkan oleh golongan abangan dewan ulama' Kesultanan Demak yakni Walisanga.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, usaha-usaha penyatuan Islam-Jawa oleh Sultan Agung tak diteruskan oleh para penerusnya setidaknya dalam lima dasawarsa kedepan. Hal ini dikarenakan banyaknya perang sipil dan pemberontakan akibat ketidakbecusan raja-raja Mataram setelah Agung. Ironisnya, banyak dari upaya-upaya pemberontakan tersebut justru menggunakan nama Islam sebagai justifikasi mereka. Para penguasa Mataram pun pada akhirnya membukakan pintu hubungan untuk VOC yang pada era Agung, hubungan Mataram dengan VOC sangatlah buruk. Maka, kerjasama-kerjasama penguasa Mataram dengan VOC inilah yang kemudian menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Para pemberontak itu pada akhirnya melihat bahwa dinasti Mataram kini didukung oleh orang-orang kafir dan hal ini memperkuat aspek religius dari pemberontakan yang ada.

Abad 18: Konflik Suksesi dan Munculnya 'Sintesis Mistik'

Setelah Agung mangkat, raja-raja selanjutnya hanya mewarisi apa yang disebut dengan perebutan suksesi. Tercatat, Mataram mengalami tiga kali perang suksesi. Konflik terakhir, yakni Perang Suksesi Jawa III adalah masa berakhirnya perang besar suksesi sekaligus masa berakhirnya Mataram sebagai kekuatan tunggal atas tanah Jawa. Dalam perjalanan panjang konflik suksesi tersebut, muncul sebuah konsep yang disebut Ricklefs sebagai 'Sintesis Mistik'. Sebuah ekspresi puncak dari penyatuan identitas Jawa-Islam yang sebelumnya memang mengalami berbagai hambatan akibat perang suksesi yang berlarut. Menurut Ricklefs, Sintesis ini berbasis pada tiga pilar utama, yakni
ADVERTISEMENT
Hal-hal seperti ini menurut Ricklefs adalah upaya para penyebar ajaran Islam-sufi, dimana mereka memanfaatkan beragam kultur Hindu-Jawa. Misal saja tokoh-tokoh pewayangan. Namun, nyatanya cara-cara tersebut berhasil memasukkan islam dalam lapis kehidupan masyarakat Jawa.

Abad 19: Puncak 'Sintesis Mistik' serta upaya Puritanisme Islam

Awal abad 19, terjadi sebuah puncak ekspresi dari Sintesis Mistik ini. Menurut Ricklefs, setidaknya ada dua hal yang menandai puncak ekspresi Sintesis ini. Munculnya satu karya sastra fenomenal serta satu tokoh yang dipandang agung. Karya sastra itu adalah Serat Centhini yang ditulis di istana Surakarta atas perintah Putra Mahkota (Kemudian naik takhta bergelar Pakubuwana V). Karya sastra ini berisi kehidupan masyarakat Jawa dengan islam sebagai sentralnya. Juga tertulis ajaran-ajaran tasawuf serta syariat islam dicampur mitos-mitos Jawa yang dahulu dibawakan Walisanga. Kemudian disebut pula tokoh yang dianggap agung dan suci. Tak lain dan tak bukan adalah putra Hamengkubuwana III yakni Pangeran Dipanegara. Ia digambarkan keluar istana Yogyakarta dan mendalami ajaran islam dan literatur-literatur pra-Islam yang tentu saja menurut Ricklefs ini sangat selaras dengan 'Sintesis Mistik'. Selain itu Dipanegara dalam autobiografisnya, mengatakan bahwa dirinya bertemu dengan berbagai roh-roh spiritual tanah Jawa. Beberapa diantaranya adalah Sunan Kalijaga dan Kanjeng Ratu Kidul. Dua tokoh spiritual itu meyakinkan Dipanegara untuk memurnikan serta menyucikan tanah Jawa dari kegilaan zaman yang ada dengan menjadi Ratu Adil. Ia juga mengatakan bahwa ia bertemu dengan Ratu Adil itu sendiri dan mendapat wahyu untuk menaklukan Jawa. Wahyu yang terakhir didapatkan Dipanegara pada April-Mei 1825 (Kala itu bertepatan dengan bulan Ramadhan). Ia mengaku mendapat gelar langsung dari Allah yaitu gelar Erucakra yang berarti Ratu adil itu sendiri. Maka dari pengalaman-pengalaman spiritual tersebut, pecahlah sebuah konflik terbesar sepanjang era kolonialisme Belanda yakni Perang Dipanegara (1825-1830). Seperti yang kita ketahui, Dipanegara pada akhirnya kalah dalam pertempuran panjang dan melelahkan ini. Kemudian, ternyata kekalahan Dipanegara ini menimbulkan sebuah perubahan religius dan budaya yang cukup drastis. Sekitar 1850-an mulai timbul berbagai pertentangan atas 'Jawanisasi Islam'.
ADVERTISEMENT
Istana Surakarta. Tempat Serat Centhini ditulis. sumber: Dokumentasi Pribadi
Upaya-upaya pemurnian islam atau kemudian disebut sebagai Puritanisme memang sudah memasuki Hindia Belanda yakni Sumatera. Pada abad 18, gerakan-gerakan yang disebut Wahhabi muncul dari Timur Tengah, ia adalah sebuah upaya keras pemurnian islam dari budaya-budaya dan ajaran yang mereka anggap melenceng. Gerakan ini masuk ke tanah Minangkabau pada sekitar tahun 1780-an. Kemudian pula, gerakan puritanisme ini menimbulkan suatu perang saudara yang kemudian dikenal sebagai Perang Padri dan kaum Puritanisme atau kaum Padri ini pada akhirnya menang dan benar-benar dapat 'memurnikan' ajaran islam yang mereka anggap sudah melenceng itu. Namun, gerakan-gerakan keras semacam itu tentu saja tidak berhasil di Jawa. Walau memang pengaruh 'Sintesis Mistik' setelah Dipanegara kalah dalam perang mulai mendapat pertentangan, tetapi masih saja terdapat golongan-golongan yang 'melindungi' konsep Islam-Jawa ini. Misalnya, salah satu pemimpin monarki Jawa yakni Mangkunegara IV. Ia sangat mengkritik keras atas usaha-usaha puritanisme ini. Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama menyebut bahwa pemuda-pemuda dalam gerakan puritanisme ini hanya membanggakan pengetahuan atas teologis mereka tanpa berkaca atas identitas mereka sendiri. Mangkunegara IV menyebut pemuda-pemuda ini mengingkari 'Kejawaan' mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Maka, mungkin dapat saya tarik kesimpulan bahwasanya upaya masuknya ajaran Islam dalam lapisan masyarakat Jawa mengalami banyak tantangan dari agama lama mereka. Pada akhirnya, Islam ini kemudian arus mengakomodasikan dirinya untuk menyatu dalam tradisi-tradisi Hindu-Jawa. Melahirkan sebuah akulturasi dari Islam-Jawa. Walau pada abad 19, mulai mendapat tantangan dari kaum-kaum Puritanisme, budaya Islam-Jawa ini pada akhirnya tetap bertahan sebagai identitas orang Jawa sekaligus Muslim hingga sekarang.

Referensi:

Ricklefs, M. C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Penerbit Serambi.
Ricklefs, M. C. (2013). Mengislamkan Jawa. Serambi Ilmu Semesta.