Konten dari Pengguna

Strategi Hegemoni Pembangunan Tiongkok Dengan Kebijakan Belt-Road Initiative

Muhammad Nurbasyarullah Qalbu Ridha Walmarzami
Saya adalaha mahasiswa di Universitas Sriwijaya
7 November 2024 13:42 WIB
·
waktu baca 15 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Nurbasyarullah Qalbu Ridha Walmarzami tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pembangunan. Photo taken Peter-Lomas from Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pembangunan. Photo taken Peter-Lomas from Pixabay

Politik Pembangunan Internasional

ADVERTISEMENT
Ambisi Tiongkok dalam membangun kerja sama yang dilakukan dengan kemitraan wilayah Asia Tenggara untuk kesepakatan jangka panjang yang telah disetujui dengan proyek-proyek dari kebijakan Belt and Road Initiative (BRI) merupakan bentuk strategi pembangunan internasional yang diterapkan oleh pemerintahan Tiongkok yang berencana melibatkan pengembangan infrastruktur dan investasi yang akan dilakukan mancanegara yang mencapai kesepakatan dengan tiongkok. Melihat bagaimana tiongkok membangun kerjasama dengan ASEAN dan negara-negara anggota, BRI dilihat bentuk jalan terbaik untuk meningkatkan hubungan dengan pembangunan infrastruktur guna menaikkan perdagangan dan investasi melalui peningkatan logistik. Dari hal tersebut banyak negara anggota ASEAN yang bersedia melakukan kerja sama dengan Tiongkok untuk mengembangkan dan meluaskan proyek-proyek infrastruktur, melalui usaha kerjasama dengan segala pihak yang terkait. dalam pandangan yang dimiliki tiongkok dalam hubungan bilateral yang dilakukan bersama Indonesia menjadi suatu kebijakan yang dikenal dengan Belt-Road Initiative dengan upaya mewujudkan nilai visi poros maritim dunia bersama Indonesia sehingga kesepakatan terjadi guna membangun infrastruktur dari prospek proyek kerjasama BRI. Belt and Road Initiative (BRI) adalah strategi besar yang diluncurkan oleh Tiongkok pada tahun 2013 di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping. Strategi ini berupaya menghidupkan kembali rute perdagangan kuno Jalur Sutra melalui dua jalur utama: darat yang dikenal sebagai Silk Road Economic Belt dan laut yang disebut 21st Century Maritime Silk Road. Tujuan utama dari BRI adalah untuk meningkatkan konektivitas dan kerjasama ekonomi antarnegara di Asia, Eropa, dan Afrika dengan fokus pada pembangunan infrastruktur seperti jalan raya, pelabuhan, dan jaringan kereta api. Pembangunan BRI juga memiliki dimensi domestik, di mana proyek ini diharapkan membantu mengatasi ketimpangan ekonomi di dalam Tiongkok, terutama antara provinsi bagian timur yang lebih maju dan provinsi barat yang tertinggal. Tiongkok melihat strategi ini sebagai sarana untuk mempertahankan pertumbuhan ekonominya di masa depan dan memperluas pengaruhnya di panggung internasional, baik dalam hal ekonomi maupun geopolitik
ADVERTISEMENT
Strategi Belt-Road Initiative
pembangunan politik internasional yang dikaitkan dengan inisiatif Belt and Road Initiative (BRI) sebagai strategi politik Tiongkok dapat dipahami melalui upaya Tiongkok untuk memperkuat posisi geopolitiknya di dunia. BRI bukan hanya proyek ekonomi semata, melainkan juga alat untuk memperluas pengaruh Tiongkok melalui diplomasi ekonomi yang berlandaskan pada soft power. Dalam konteks ini, BRI dirancang untuk mengintegrasikan berbagai negara dalam jaringan infrastruktur global, yang mencakup pembangunan jalan, rel kereta api, pelabuhan, dan proyek energi. Guna mewujudkan perkembangan program Tiongkok dalam pengupayaan hegemoni melalui jaringan politik dengan negara-negara yang menyepekati mengenai kebijakan BRI ini dengan hubungan melalui ikatan aktor dengan institusi internasional.
Salah satu tujuan utama BRI adalah menciptakan jalur perdagangan yang menghubungkan Asia, Eropa, dan Afrika, yang secara langsung mengarah pada peningkatan pengaruh Tiongkok dalam dinamika ekonomi dan politik global. Dengan menyediakan investasi besar-besaran, terutama di negara-negara berkembang, Tiongkok menempatkan dirinya sebagai mitra utama dalam pembangunan infrastruktur. Di Asia Tenggara, misalnya, negara-negara seperti Indonesia, Vietnam, dan Malaysia menerima investasi besar dari Tiongkok melalui BRI, yang bertujuan meningkatkan infrastruktur mereka, tetapi juga membuat negara-negara ini semakin tergantung pada modal dan teknologi Tiongkok. Disini kita melihat pemerintah Tiongkok menunjukkan keterbukaan ekonomi dalam Pembangunan, hal ini menjadi fokus utama tiongkok dalam ikut arus globalisasi untuk membuka dunia hegemoni yang kemudian perkembangan globalisasi dalam sudut pandang tiongkok adalah keterbukaan tiongkok untuk berpartisipasi terhadap transformasi kerjasama.
ADVERTISEMENT
Langkah awal bagaimana tiongkok membuka hubungan baru guna menjalin bersama hubungan dengan negara-negara lain untuk mengambil Gerakan kerja sama melalui kebijakan tiongkok dengan Belt-Road Initiative. Tiongkok mengambil kesempatan disaat dominasi Amerika Serikat yang dapat dilalui oleh kekuatan Tiongkok dengan strategi BRI ini merupakan awalan Tiongkok menciptakan hegemoni. Keuntungan yang ditawarkan cukup menggiurkan aktor negara untuk melakukan kesepakatan, yang dimana Tiongkok terkenal dengan ideologi yang tertutup pada negara lain akan tetapi justru Tiongkok membuka kesempatan pada ranah ekonomi. Hal ini berbeda dari perspektif yang dibawa oleh negara-negara Eropa yang tidak percaya pada Pembangunan jalan sutra ini dapat menjadi jalan kerjasama antara negara lain juga seperti Eropa dengan Rusia. Konsistensi Tiongkok dalam membuka ruang ekonomi yang ditawarkan pada kebijakan kebijakannya ini menjadi langkah negara lain untuk melihat Pembangunan ekonomi bersama Tiongkok akan menjadi saling menguntungkan bagi aktor ekonomi.
ADVERTISEMENT
Dari segi pengaruh ekonomi, Tiongkok memberikan pinjaman besar untuk proyek-proyek infrastruktur di negara-negara berkembang, yang menciptakan hubungan ketergantungan. Banyak negara, termasuk Indonesia, menghadapi tantangan beban utang besar akibat proyek-proyek ini, seperti pembangunan LRT, jalan tol Cisumdawu, dan jalan tol Manado-Bitung yang dibiayai dan didukung teknologi Tiongkok. Perspektif geopolitik, BRI memberi kesempatan Tiongkok memperluas kontrol melalui pembangunan fisik yang menghubungkan berbagai negara. Contoh nyata adalah proyek kereta cepat di Indonesia dan Thailand, di mana Tiongkok menggunakan kekuatan ekonominya untuk memperkuat kepentingan geopolitiknya. Dari institusi keuangan yang dilibatkan oleh Tiongkok seperti Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dalam mendanai proyek-proyek yang dihadirkan pada negara tujuan BRI. Ini memungkinkan juga Tiongkok untuk melakukan pengelolaan aliran dana terhadap negara-negara yang terlibat
ADVERTISEMENT
Selain aspek ekonomi, BRI juga mempromosikan pertukaran budaya dan integrasi pasar internasional, sebagai strategi Tiongkok untuk memperkuat pengaruh sosial-budaya dengan negara-negara mitra kerjasama. Namun, berkaca dari proses Tiongkok yang membangun kesepakatan tidak lepas dari kritik. Banyak pihak khawatir BRI menimbulkan ketergantungan berlebihan pada Tiongkok, khususnya di sektor-sektor strategis, di mana negara penerima proyek tidak mendapatkan manfaat penuh seperti transfer teknologi atau peningkatan kapasitas lokal. Dalam konteks Indonesia, BRI menghadirkan peluang sekaligus tantangan. Meskipun program ini dapat mendukung pembangunan infrastruktur nasional, pentingnya bagi pemerintah untuk memastikan bahwa manfaat jangka panjang lebih besar daripada risiko ketergantungan dan pengaruh politik yang ditimbulkan oleh keterlibatan Tiongkok untuk jangka kedepannya mengenai keberlangsungan pembangunan.
Kerja Sama Internasional
ADVERTISEMENT
Konsep kerja sama internasional dalam konteks pembangunan politik internasional terkait Belt and Road Initiative (BRI) merupakan aspek penting yang mencerminkan bagaimana kekuatan ekonomi dan politik global dapat dibentuk melalui integrasi strategis lintas negara. Program BRI yang diinisiasi oleh Tiongkok bertujuan untuk membangun infrastruktur fisik dan digital, memfasilitasi perdagangan, dan meningkatkan integrasi ekonomi di berbagai kawasan, baik di Asia, Eropa, Afrika, maupun bagian dunia lainnya. Secara politik, BRI menjadi alat diplomatik yang memungkinkan Tiongkok memperkuat pengaruhnya di negara-negara peserta dengan mempromosikan kepentingan ekonomi, politik, dan sosialnya. Kerja sama internasional dalam BRI berlandaskan pada prinsip mutual benefit, di mana negara-negara mitra bekerja sama dengan Tiongkok dalam pembangunan infrastruktur dan ekonomi yang diharapkan saling menguntungkan. Namun, hal ini tidak selalu berdampak positif bagi negara-negara mitra. Proyek BRI melibatkan pinjaman besar dari Tiongkok yang dapat meningkatkan ketergantungan ekonomi negara-negara penerima terhadap Tiongkok, seperti yang terlihat di beberapa proyek besar di Indonesia, seperti pembangunan jalur kereta cepat dan jalan tol. Dalam konteks ini, kerja sama internasional melalui BRI bukan hanya soal pengembangan infrastruktur, tetapi juga soal bagaimana Tiongkok memanfaatkan kekuatan ekonominya untuk memperluas pengaruh politik globalnya.
ADVERTISEMENT
Teori kerja sama internasional, sebagaimana yang dijelaskan oleh beberapa ahli seperti Keohane, menekankan pentingnya lembaga internasional dalam memfasilitasi kerja sama ekonomi dan keamanan. Dalam konteks BRI, institusi keuangan seperti contohnya Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) menjadi instrumen penting yang memungkinkan negara-negara peserta mendapatkan akses ke dana pembangunan, sambil memfasilitasi kerja sama ekonomi-politik. Tiongkok menggunakan BRI untuk memperkuat posisinya sebagai kekuatan global multipolar, menggeser dominasi unipolar yang sebelumnya dipegang oleh Amerika Serikat. Namun, kerja sama internasional ini juga tidak lepas dari potensi konflik dan ketegangan geopolitik. Beberapa negara merasa khawatir bahwa keterlibatan dalam BRI dapat menyebabkan kehilangan kedaulatan ekonomi dan politik mereka. Negara-negara berkembang yang menerima investasi dari Tiongkok sering kali dihadapkan pada tantangan terkait regulasi yang dibicarakan oleh Tiongkok, seperti penerapan standar teknologi, tenaga kerja, dan material yang berasal dari Tiongkok. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menimbulkan ketergantungan yang berlebihan terhadap Tiongkok, baik dari segi ekonomi ataupun politik.
ADVERTISEMENT
Dari sudut pandang geostrategis, proyek-proyek besar dalam BRI, seperti pembangunan infrastruktur transportasi, menjadi alat penting bagi Tiongkok untuk memperkuat kontrolnya atas wilayah-wilayah strategis. Proyek jalur kereta cepat di Indonesia dan Thailand, misalnya, dipandang sebagai upaya Tiongkok untuk memperluas kendali politiknya melalui pengembangan infrastruktur yang dibiayai oleh Tiongkok. Ini menunjukkan bahwa BRI bukan hanya program ekonomi, tetapi juga merupakan bagian dari strategi hegemoni Tiongkok di kancah global, di mana kerja sama internasional digunakan untuk membentuk tatanan politik dunia yang lebihmenguntungkan bagi Tiongkok.
Proyek BRI di Indonesia
Tiongkok telah memanfaatkan Belt and Road Initiative (BRI) sebagai kebijakan pembangunan internasional yang berfokus pada pendanaan proyek-proyek infrastruktur besar di negara-negara mitra, termasuk Indonesia. Melalui BRI, Tiongkok menyediakan suntikan dana untuk proyek transportasi, energi, dan komunikasi, seperti Light Rail Transit (LRT), jalan tol, pelabuhan, dan sistem kereta api cepat (HSR). Pendanaan ini sering kali disalurkan melalui lembaga seperti Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dan New Development Bank, yang bertujuan untuk meningkatkan konektivitas regional dan global serta mendorong pertumbuhan ekonomi negara-negara penerima. Namun, meskipun memberikan manfaat ekonomi yang signifikan, kebijakan ini juga menimbulkan kekhawatiran mengenai ketergantungan negara-negara penerima terhadap Tiongkok, terutama karena pinjaman harus dibayar kembali dan proyek-proyek sering menggunakan standar teknologi, peralatan, dan proses yang ditetapkan oleh Tiongkok. Selain itu, BRI tidak hanya berfungsi sebagai alat pembangunan ekonomi, tetapi juga sebagai instrumen geopolitik bagi Tiongkok untuk memperluas pengaruhnya di kawasan strategis seperti Asia Tenggara dan Afrika. Dalam beberapa kasus, proyek-proyek ini dilihat sebagai upaya Tiongkok untuk memperkuat kontrol politik dan ekonomi di negara-negara mitra. Dengan demikian, meskipun BRI menawarkan keuntungan finansial yang signifikan, negara-negara penerima harus menghadapi tantangan ketergantungan dan potensi dominasi Tiongkok dalam pengelolaan proyek infrastruktur.
ADVERTISEMENT
Belt and Road Initiative (BRI) atau One Belt One Road (OBOR) di Indonesia merupakan bagian dari strategi global Tiongkok untuk membangun jaringan infrastruktur guna meningkatkan konektivitas dan perdagangan internasional, terutama antara Asia dan Eropa. Indonesia menjadi salah satu negara penting dalam inisiatif ini, terutama melalui keterlibatan dalam proyek infrastruktur besar seperti pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung. Kebijakan ini bertujuan untuk mengatasi tantangan infrastruktur yang dihadapi Indonesia sekaligus mendukung visi Tiongkok untuk memperkuat jalur perdagangan global, baik melalui jalur darat maupun laut.
Kerjasama antara Indonesia dan Tiongkok di bawah payung BRI ini terutama diwujudkan melalui proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang menjadi salah satu simbol penting dari kerjasama bilateral kedua negara. Proyek kereta cepat ini dirancang untuk menghubungkan dua kota terbesar di Indonesia, Jakarta dan Bandung, dengan tujuan utama mempercepat waktu perjalanan dan meningkatkan mobilitas manusia dan barang. Dengan jarak tempuh sekitar 142,3 km, kereta cepat ini diharapkan mampu memangkas waktu tempuh menjadi sekitar 36 menit dari sebelumnya sekitar 3 jam. Pembangunan infrastruktur ini tidak hanya akan meningkatkan efisiensi transportasi domestik, tetapi juga memperkuat daya saing Indonesia dalam perdagangan internasional, yang sejalan dengan tujuan BRI untuk menghubungkan negara-negara di sepanjang jalur Sutera Modern.
ADVERTISEMENT
Selama pembangunan infrastruktur ini tidak terlepas dari masalah pembiayaan. Salah satu alasan utama Indonesia memutuskan untuk bergabung dalam BRI adalah keterbatasan anggaran negara dalam membiayai pembangunan infrastruktur secara mandiri. Pembangunan nasional, terutama dalam hal transportasi publik, membutuhkan anggaran yang sangat besar, sementara pendapatan negara tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, Indonesia memanfaatkan pinjaman luar negeri dan kerjasama dengan Tiongkok melalui skema Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS) atau Public Private Partnership (PPP). Dalam konteks proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, Tiongkok memberikan dukungan finansial besar melalui kredit bank dan investasi sektor swasta, termasuk dari perusahaan milik negara Tiongkok seperti Tiongkok Railway International Co. Ltd. Skema pembiayaan ini memungkinkan proyek berjalan tanpa harus sepenuhnya bergantung pada anggaran negara Indonesia, sehingga mempercepat realisasi pembangunan infrastruktur strategis.
ADVERTISEMENT
Selain dari aspek ekonomi, kebijakan BRI ini juga memiliki dimensi geopolitik yang tidak bisa diabaikan. Tiongkok, melalui proyek OBOR, memiliki kepentingan besar untuk memperluas pengaruh ekonominya di kawasan Asia Tenggara dan global. Dengan membangun jalur infrastruktur yang menghubungkan Asia, Eropa, dan Afrika, Tiongkok berusaha memperkuat posisinya sebagai pusat perdagangan dunia. Hal ini sejalan dengan ambisi Tiongkok untuk menjadi kekuatan ekonomi utama yang memiliki akses ke berbagai pasar internasional melalui jalur perdagangan yang terintegrasi. Indonesia, sebagai salah satu negara strategis di Asia Tenggara, menjadi mitra penting dalam upaya Tiongkok mencapai tujuan tersebut. Namun, penting untuk dicatat bahwa kerjasama ini tidak hanya tentang keuntungan ekonomi semata, melainkan juga membawa potensi risiko geopolitik yang perlu diantisipasi oleh pemerintah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks kepentingan nasional, pemerintah Indonesia tetap perlu bersikap hati-hati dalam menjaga kedaulatan dan kepentingan nasionalnya di tengah kerjasama dengan Tiongkok. Meski kerjasama ini membawa manfaat besar, terutama dalam hal investasi dan pembangunan infrastruktur, Indonesia juga perlu memastikan bahwa kerjasama ini tidak akan mengorbankan kepentingan strategis negara. Terdapat kekhawatiran bahwa keterlibatan besar Tiongkok dalam pembangunan infrastruktur Indonesia dapat meningkatkan ketergantungan ekonomi Indonesia pada Tiongkok, yang berpotensi menimbulkan pengaruh politik dan ekonomi jangka panjang. Oleh karena itu, menjaga keseimbangan antara memanfaatkan manfaat ekonomi dari BRI dan melindungi kedaulatan nasional menjadi tantangan penting bagi pemerintah Indonesia.
Persebaran Proyek-Proyek BRI
Di Asia Selatan, Tiongkok sangat aktif berinvestasi di negara-negara seperti Pakistan dan Bangladesh. Di Pakistan, proyek besar seperti Koridor Ekonomi Tiongkok-Pakistan (CPEC) merupakan salah satu bagian penting dari BRI. Proyek ini mencakup pembangunan infrastruktur, jalan raya, jalur kereta api, dan pipa gas, serta pelabuhan Gwadar yang strategis di Laut Arab. Pelabuhan ini menawarkan Tiongkok akses langsung ke Teluk Persia dan wilayah Timur Tengah, yang sangat penting untuk menjamin pasokan energi. Pakistan melihat proyek ini sebagai langkah strategis untuk meningkatkan infrastruktur dan pertumbuhan ekonominya, sementara bagi Tiongkok, Pakistan adalah mitra kunci dalam melawan pengaruh India dan AS di kawasan tersebut. Di Asia Tenggara, negara-negara seperti Thailand, Vietnam,dan Filipina juga menyambut proyek-proyek BRI. Thailand, misalnya, mengembangkan proyek kereta api dengan Tiongkok sebagai bagian dari jalur yang menghubungkan Asia Tenggara dengan jalur ekonomi Eurasia. Sementara itu, Vietnam dan Filipina menerima investasi signifikan dari BRI untuk pembangunan infrastruktur penting, seperti proyek kereta api dan irigasi. Negara-negara ini melihat BRI sebagai peluang besar untuk mempercepat pembangunan infrastruktur yang dapat meningkatkan perdagangan dan pertumbuhan ekonomi domestic.
ADVERTISEMENT
Di Asia Tengah, proyek-proyek BRI banyak berfokus pada pengamanan pasokan energi bagi Tiongkok. Negara-negara seperti Kazakhstan dan Turkmenitan menjadi mitra penting bagi Tiongkok dalam hal energi. Berbagai proyek pipa minyak dan gas yang menghubungkan Asia Tengah dengan Tiongkok, seperti pipa minyak Tiongkok-Kazakhstan dan pipa gas Turkmenistan-Tiongkok, memberikan jaminan stabilitas energi bagi negara industri terbesar kedua di dunia ini. Dalam konteks ini, BRI juga membantu meningkatkan infrastruktur negara-negara Asia Tengah yang sangat membutuhkan investasi untuk memperbaiki infrastruktur menjadi lebih terbarukan. Di kawasan Afrika, proyek-proyek BRI membantu negara-negara berkembang membangun infrastruktur transportasi dan energi. Tiongkok telah terlibat dalam pembangunan jalan, pelabuhan, dan jalur kereta api di negara-negara seperti Kenya, Etiopia, dan Djibouti. Jalur kereta api dari Addis Ababa ke Djibouti, misalnya, adalah proyek penting yang didanaioleh BRI dan memberikan akses langsung ke pelabuhan Djibouti, yang sangat penting bagi perdagangan internasional negara-negara Afrika bagian timur.
ADVERTISEMENT
Proyek BRI tidak hanya memberikan keuntungan ekonomi bagi negara-negara peserta, tetapi juga meningkatkan pengaruh geopolitik Tiongkok di berbagai kawasan. Di balik investasi besar ini, Tiongkok juga mengamankan jalur perdagangan dan suplai energi yang penting bagi pertumbuhan ekonomi mereka. Namun, beberapa negara juga menghadapi tantangan dalam menjaga keseimbangan antara manfaat ekonomi dan potensi risiko ketergantungan yang meningkat terhadap Tiongkok. Di beberapa tempat, terutama di Asia Selatan dan Afrika, terdapat kekhawatiran bahwa proyek-proyek BRI dapat meningkatkan utang dan ketergantungan ekonomi pada Tiongkok. BRI telah menjadi instrumen penting dalam strategi geopolitik dan ekonomi Tiongkok. Proyek ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan konektivitas global, tetapi juga memperluas pengaruh Tiongkok di berbagai kawasan dunia, termasuk Asia, Afrika, dan Eropa. Setiap negara yang terlibat dalam BRI memperoleh manfaat infrastruktur, tetapi juga perlu mengelola tantangan geopolitik dan keuangan yang muncul dari keterlibatan dalam inisiatif ambisius ini.
ADVERTISEMENT
Penutup
Kebijakan Tiongkok dengan kesepakatan pembangunan menjadi suatu strategi bagi negara Tiongkok menyebarkan sayap hegemoni ekonomi dalam politik internasional. Dan dari hal ini berdampak positif bagi negara yang menerima proyek-proyek BRI yang akan dihadirkan pada negara penerima karena dampak keberlanjutan pemangunan yang cenderung positif. BRI tidak hanya dapat dipandang sebagai proyek ekonomi, tetapi juga sebagai strategi besar yang dirancang oleh Tiongkok untuk memperkuat posisinya di panggung geopolitik global. Melalui inisiatif ini, Tiongkok menggunakan pendekatan dengan diplomasi ekonomi, membangun jaringan infrastruktur yang menghubungkan Asia, Eropa, dan Afrika. Investasi secara besar di negara-negara berkembang seperti Indonesia, Pakistan, dan negara-negara Afrika menunjukkan komitmen Tiongkok untuk menjadi aktor internasional dominan dalam pembangunan global. Memperlihatkan bagaimana Tiongkok memanfaatkan kekuatan ekonominya untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan negara-negara mitra. Namun, keuntungan ekonomi yang ditawarkan juga disertai dengan tantangan, seperti risiko ketergantungan yang meningkat pada teknologi, modal, dan tenaga kerja dari Tiongkok. Dari perspektif geopolitik, proyek-proyek BRI tidak hanya menciptakan konektivitas fisik, tetapi juga memperluas pengaruh Tiongkok di wilayah-wilayah strategis. Tiongkok memanfaatkan jalur perdagangan dan infrastruktur untuk memperkuat kendalinya atas pasokan energi dan jalur logistik global.
ADVERTISEMENT
Referensi
Anam, S., & Ristiyani, R. (2018). Kebijakan Belt and Road Initiative (BRI) Tiongkok pada Masa Pemerintahan Xi Jinping. Jurnal ilmiah Hubungan internasional, 14(2), 217-236.
Carollina, N. (2021). Implikasi Penerapan Belt and Road Initiative (BRI) Terhadap Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia: Studi Kasus Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung= The Implication of Belt and Road Initiative (BRI) To Sustainable Development in Indonesia: Case Study of Highspeed Railway Project Jakarta-Bandung (Doctoral dissertation, Universitas Kristen Indonesia).
Harahap, F. N. M., & Susiatiningsih, R. H. (2020). Analisis Potensial Tiongkok Untuk Menjadi Negara Hegemon di Kawasan Asia Timur Melalui Strategi One Belt One Road. Journal of International Relations Universitas Diponegoro, 6(2), 164-172.
Putri, S. Y., & Maâ, D. (2019). Kerja Sama Ekonomi-Politik Indonesia dan Cina pada Implementasi Program Belt and Road Initiative. Jurnal Lemhannas RI, 7(3), 53-66.
ADVERTISEMENT
Wahyuni, A. S., & Amin, K. (2023). One Belt One Road dan Upaya Hegemoni Regional China di Asia Tenggara. Sospol, 9(1), 114-128.
Wijaya, H. (2020). Aktualisasi Kebijakan China One Belt And One Road di Indonesia Melalui Pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Dinamika Global: Jurnal Ilmu Hubungan Internasional, 5(01), 109-122.
Yuniarto, P. R. (2017). China Belt Road Initiative: Pembangunan Infrastruktur dan Perluasan Hegemoni Ekonomi Tiongkok di Dunia. Jurnal Kajian Wilayah, 8(2), 163-168.