Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Sexist Jokes: Pelecehan Seksual di Balik Candaan
19 November 2023 9:20 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Muhammad Paksi Dwi Shandra Bimantara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pernahkah terbayangkan ketika Anda bersama pasangan dan buah hati Anda sedang menyaksikan konten edukasi anak di YouTube, pada minggu pagi yang tenang dan damai? Tentunya, asyik dan menyenangkan, bukan? Niatnya untuk menemani sang buah hati belajar dan mengembangkan kemampuan motoriknya.
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba, Anda bersama pasangan Anda melihat isi dari dalam kolom komentar dipenuhi dengan candaan-candaan yang berbau seksual. Bagaimana perasaan Anda? Sedih? Kecewa? Heran? Sungguh ironi sekali ketika konten edukasi anak yang seharusnya menjadi ruang yang aman dan nyaman bagi anak, justru ternodai oleh komentar busuk pelaku pelecehan seksual di internet.
Hal inilah yang menimpa Kinderflix dan sempat menjadi perbincangan hangat di media sosial beberapa waktu yang lalu. Kinderflix merupakan sebuah kanal YouTube yang menyajikan konten edukasi untuk balita. Kinderflix menawarkan pembelajaran yang asyik dan menyenangkan kepada anak, sembari bermain dan bernyanyi. Konsep yang menarik dan pembawa acara yang interaktif menjadi daya tarik bagi keluarga untuk menemani sang buah hati menyaksikan video tersebut.
ADVERTISEMENT
Sekadar informasi, Kinderflix mulai bergabung di media sosial YouTube pada 4 September 2023 lalu. Sampai penulis menyusun artikel ini, jumlah video di Kinderflix mencapai 8 buah, dengan jumlah subscriber mencapai 225 ribu, dan jumlah tayangan mencapai 14.142.841 kali.
Kembali pada isu utama, pelecehan seksual tersebut menimpa pembawa acara Kinderflix. Pelaku pelecehan seksual melontarkan candaan berbau seksual di dalam kolom komentar video. Komentar tersebut dilontarkan kepada pembawa acara laki-laki maupun pembawa acara perempuan.
Komentar tidak senonoh itu dilontarkan dalam berbagai bentuk, seperti ajakan untuk menikahi sang pembawa acara, kalimat ambigu berbau seksual, bahkan ujaran yang menyatakan bahwa video Kinderflix merupakan tontonan menyenangkan dan asyik bagi orang dewasa, bukan anak. Tidak hanya korban saja, pelaku pelecehan seksual pun tidak memandang adanya gender. Pria dan wanita juga melontarkan berbagai ujaran pelecehan seksual di kolom komentar.
Ruang yang seharusnya menjadi tempat bagi anak untuk mengembangkan kemampuan motoriknya dan belajar, justru menjadi ruang bagi orang dewasa untuk melakukan tindakan cabul. Pihak Kinderflix pun membuka suara di akun Instagram resminya dengan mengunggah sebuah kiriman yang berisi keresahan atas komentar pelecehan seksual itu. Tak hanya itu saja, sampai saat penulis menyusun artikel ini, Kinderflix menonaktifkan fitur komentar pada semua konten video yang diunggah di YouTube.
ADVERTISEMENT
Berkaca kepada kasus Kinderflix, pelecehan seksual yang diterima oleh pembawa acara Kinderflix sudah termasuk kepada ranah sexist jokes. Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan sexist jokes ini? Bagaimana bisa bentuk pelecehan ini muncul di tengah masyarakat? Selanjutnya, penulis mencoba untuk menjawab semua pertanyaan ini dengan sesederhana mungkin guna memudahkan pembaca memahaminya.
Menurut Candra, dkk., (2023) yang dimaksud dengan sexist jokes merupakan humor yang mengobjektifkan, menipu, adanya stereotip, mempermalukan, dan meremehkan seseorang berdasarkan gender. Lebih lanjut, humor seksis ini dapat dilakukan di dunia nyata dan di dunia maya.
Shifman & Dafna (2010; dalam Candra, dkk., 2023) mengungkapkan bahwa terdapat empat indikator yang menentukan sexist jokes. Satu, humor yang merendahkan diri pria/wanita. Dua, humor yang dilontarkan secara langsung maupun tidak langsung kepada pria/wanita. Tiga, humor yang berisi objektifikasi terhadap pria/wanita. Empat, humor yang menekankan hierarki pria/wanita di masyarakat.
Dapat disimpulkan, bahwa komentar-komentar cabul yang dilontarkan di dalam kanal YouTube Kinderflix termasuk ke dalam aksi sexist jokes. Secara keseluruhan, isi pesan komentar cabul tersebut sudah mengarah untuk merendahkan, mempermalukan, dan mengobjektifikasi pembawa acara Kinderflix. Pelaku pelecehan seksual melihat pembawa acara hanya sebagai sebuah “objek” untuk dinikmati guna memuaskan hasrat seksual pelaku.
ADVERTISEMENT
Penampilan fisik menjadi fokus perhatian utama para pelaku cabul, sehingga secara tidak langsung pelaku mengesampingkan kompetensi dan kepiawaian pembawa acara. Padahal, kedudukan sang pembawa acara di dalam konten tersebut berperan sebagai edukator yang tidak hanya membimbing anak, namun juga kedua orang tuanya. Pola pikir mesum dan matinya etika pelaku mendorong mereka untuk melakukan aksi sexist jokes tersebut di kanal YouTube Kinderflix. Sungguh menyedihkan.
Penyebab terjadinya pelecehan seksual di dalam media maya dipengaruhi oleh berbagai faktor pendukung. Seperti yang penulis himpun berdasarkan artikel penelitian Ahmad (2021) bahwa faktor terjadinya pelecehan seksual dari perspektif pelaku, yaitu minimnya kontrol diri dalam memanfaatkan media sosial dan internet dengan bijak (Choi, Lee & Lee, 2017), aktivitas cyberstalking yang mendorong keinginan untuk menemukan korban di media sosial (Chawki & el Shazly, 2013), dan adanya penyimpangan seksual yang kemudian dilampiaskan di internet (Barak, 2005).
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Ahmad (2021) menguraikan upaya pencegahan terjadinya pelecehan seksual di masyarakat dengan menggunakan perspektif agama, sosial, dan psikologi. Pada perspektif agama dengan cara meningkatkan dan mendalami pemahaman keagamaan yang utamanya berkaitan tentang seks. Pada perspektif sosial dengan cara menjalankan struktur dan fungsi masyarakat dengan baik guna membangun kepekaan sosial mengenai seks. Pada perspektif psikologi dengan cara pengendalian diri dan psikoterapi bagi korban dan pelaku pelecehan seksual.
Eksistensi dari internet dan media sosial menciptakan masyarakat cyber yang terhubung dengan jaringan (McMair, 2010: 13; Siti Machmiyah, dkk., 2017). Lebih lanjut, Siti Machmiyah, dkk., (2017) berpendapat bahwa realitas dari masyarakat cyber beriringan dengan realitas dunia nyata.
Realitas dunia maya memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi di dalamnya. Bak dua sisi koin, hal tersebut dapat memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam mengeksplorasi hal baru, namun juga dapat menjadi arena bagi para pelaku cabul melampiaskan hasrat seksualnya. Mengingat, individu diberikan kebebasan untuk menentukan identitas dan dapat memilih menjadi pengguna anonim di ruang maya (Siti Machmiyah, dkk., 2017).
Hal ini menimbulkan eksistensi pelecehan seksual di tengah masyarakat menjadi isu yang kian mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, pemberitaan pelecehan seksual tidak kunjung surut, justru bertambah banyak. Aksi yang dilakukan pelaku cabul pun makin bervariatif dan makin mengerikan. Internet dan media sosial memberikan celah akan hal ini.
ADVERTISEMENT
Kasus sexist jokes yang menimpa pembawa acara kanal YouTube edukasi anak Kinderflix, dapat dikaji menggunakan teori sosiologi yang bernama Teori Fungsionalisme Struktural yang dikembangkan oleh ahli yang bernama Talcott Parsons. Teori ini menganalogikan masyarakat sebagai organisme biologis yang setiap unsurnya saling berkaitan dalam menciptakan keteraturan (Akhmad Rizqi Turama, 2020). Dengan demikian, apabila terdapat satu unsur yang bermasalah dapat mengakibatkan ketidakteraturan di masyarakat.
Lebih lanjut, Akhmad Rizqi Turama (2020) memberikan penekanan berupa penjelasan analogi antara masyarakat dan organisme biologis. Pertama, masyarakat bergerak dari bentuk sederhana ke bentuk kompleks. Kedua, masyarakat bergerak dengan evolusi. Ketiga, hubungan dari banyaknya institusi sosial tetap dipelihara. Keempat, setiap sistem di masyarakat mengandung bagian subsistem di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Kasus sexist jokes di ruang maya membuktikan tidak berjalannya struktur dan fungsi di masyarakat. Pelecehan seksual di dunia maya membuktikan ketiadaan kontrol diri pelaku cabul dalam bijak menggunakan internet dan media sosial. Hal tersebut juga menandakan lemahnya peranan dari lembaga pemerintahan terkait dalam membuat kebijakan yang tegas mengatur dunia maya yang aman dan bebas pelecehan seksual serta lemahnya sosialisasi mengenai pentingnya menghargai dan menghormati hak asasi manusia.
Lemahnya kontrol diri pelaku cabul dan lemahnya peran lembaga pemerintahan dapat berdampak pada terhambatnya tujuan untuk menciptakan lingkungan masyarakat yang beradab dan penuh rasa aman. Lebih lanjut, hal ini dapat menciptakan disintegrasi di dalam masyarakat, sebab adanya norma dan nilai kehidupan yang dilanggar. Apabila hal ini tidak ditindaklanjuti secara tegas, maka aksi pelecehan seksual seperti sexist jokes di dunia maya dapat menciptakan pola pelecehan seksual yang berulang di kemudian hari.
Belajar dari kasus sexist jokes yang menimpa pembawa acara Kinderflix, penulis berharap bahwa kita semua dapat mengambil sebuah pembelajaran penting. Kita sebagai individu yang hidup di dalam lingkungan masyarakat sudah sepatutnya paham akan adanya nilai dan norma, utamanya norma kesusilaan yang bersumber dari hati nurani manusia. Aksi pelecehan seksual merupakan sebuah pelanggaran terhadap aturan kesusilaan di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Penulis menyadari bahwa hawa nafsu seksual manusia tidak dapat dihilangkan, sebab hal tersebut adalah sifat alamiah manusia, namun penulis percaya bahwa hawa nafsu dapat dikontrol oleh individu tersebut. Manusia dilengkapi dengan akal yang dapat membantu menentukan baik-buruk dan benar-salah akan sesuatu. Akal manusia serta kepatuhan akan nilai dan norma di masyarakat dapat membimbing kita untuk menjadi manusia yang beradab di dunia nyata, juga di dunia maya.
REFERENSI
Machmiyah, S., & dkk. (2017). FROM CITIZEN TO NETIZEN Arah Baru Media Daring. Bantul: Samudra Biru.
Saifuddin, A. (2021). Merumuskan Faktor Penyebab Dan Solusi Pelecehan Seksual Menggunakan Perspektif Psikologi, Sosial, Dan Agama. Academica: Journal of Multidisciplinary Studies, 5(2), 381-420.
Turama, A. R. (2020). Formulasi teori fungsionalisme struktural Talcott Parsons. EUFONI: Journal of Language, Literary and Cultural Studies, 2(1), 58-69.
ADVERTISEMENT
Utama, C. P., Wulan, D. N., & Jati, A. N. (2023). Humor Seksis: Bentuk Pelecehan dalam Sudut Pandang Perempuan. Jurnal Kultur, 2(2), 139-149.