Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Proyek Rempang Eco City: Ancaman Terhadap Tanah Leluhur dan Pesisir
11 September 2023 13:10 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Muhammad Rafi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Proyek kawasan Rempang Eco City termasuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Sebenarnya proyek ini direncanakan sejak tahun 2004. Saat itu, pemerintah melalui BP Batam dan Pemko Batam, bekerja sama dengan PT Makmur Elok Graha.
PSN diakui melalui keputusan Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Tahun 2021 mengenai Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.
Pulau Rempang termasuk dalam kawasan Integrasi Batam dengan total luas wilayah 16.500 hektare. Sementara total lahan yang akan digunakan dalam Proyek Rempang Eco City ini seluas 7.572 hektare. Jika dikalkulasikan dalam bentuk persentase, maka luas wilayah Rempang yang digunakan sebesar 45.89 persen.
Polemik Rempang jika dikaji secara agraria dan sejarah— jika berbicara sejarah kawasan Rempang—Batam telah dihuni masyarakat adat Melayu dengan dinamakan Kampung Tuo. Kampung Tuo telah ada sejak sebelum BP Batam mulai membangun Kota Batam tahun 1971.
ADVERTISEMENT
Masyarakat adat yang menempati Pulau Rempang-Galang yaitu Orang Darat dan Orang Laut. Orang Darat kebanyakan mendiami daerah Kampung Sadap, sedangkan Orang Laut menempati wilayah pesisir Rempang-Galang dan pulau di sekitarnya.
Dikutip dari Jurnal Inspirasi.Co.Id, penduduk pribumi, asli etnis Melayu Islam, semakin tergusur dan menjadi sasaran penindasan (musta'afin) yang tak terelakkan. Hal ini terjadi akibat kuatnya arus investasi dan bisnis, usaha industri, serta perdagangan dikendalikan para mafia oligarki di lapangan.
Mereka (para mafia ini) berhasil dekat dengan elite politik lokal dan nasional sehingga menguasai public policy negara, melalui kekuasaan pemerintah pusat dan juga para pemimpin di birokrasi Pemda seperti Pemko Batam—yang tidak lagi pro membela rakyatnya.
Ngomong-ngomong soal agraria, maka juga membahas Tanah Ulayat. Tanah Ulayat yaitu hak penguasaan atas tanah oleh masyarakat adat. Dikutip dari jurnal Ilmu Hukum Riau berjudul "Pola Perlindungan Hutan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat Melayu Riau" menyatakan hukum adat sebagai hukum Indonesia tidak tertulis dalam perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana-sini mengandung unsur agama dan pluralistis.
ADVERTISEMENT
Hak untuk menggunakan tanah bagi keuntungan masyarakat merupakan termasuk hubungan antara masyarakat hukum adat dan tanah. Hubungan ini terjadi karena tanah memberi penghidupan, memberi tempat persekutuan—baik yang masih hidup, maupun yang telah meninggal dunia.
Kepulauan Riau memiliki kawasan pesisir dan lautan yang cukup luas. Hal ini dimanfaatkan oleh nelayan untuk menangkap ikan sebagai mata pencaharian masyarakat. Namun, perusahaan kaca terbesar kedua akan masuk ke kawasan Pulau Rempang-Galang.
Hal ini dikarenakan bahan baku kaca diketahui berasal dari pasir silika yang tentunya didapatkan dari pesisir. Proses singkat pembuatan kaca dimulai dari penyiapan pasir kuarsa, kemudian penambahan natrium karbonat, lalu dicampur bahan-bahan kimia. Campuran dimasak dengan suhu tinggi, kemudian dicetak menggunakan balok khusus.
ADVERTISEMENT
Ancaman terhadap pesisir jelas terlihat. Pengurangan pasir laut dapat menyebabkan kematian terhadap ikan-ikan dan terumbu karang yang membuat nelayan tidak melaut, serta ancaman bagi makhluk hidup.
Pemerintah BP Batam bisa mempertimbangkan terkait pembangunan Rempang Eco City di Pulau Rempang-Galang, dikarenakan dampak terhadap pesisir dan agraria masyarakat adat. Tentunya agar tidak terjadi bentrok, komunikasi dan sosialisasi kepada masyarakat Rempang perlu ditingkatkan. Selama ini tidak pernah ada komunikasi.