Konten dari Pengguna

Ketika Polisi Bermain di Balik Layar Pilkada: Ancaman Netralitas dan Demokrasi

Muhammad Rafi Fadilah
Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada
4 Januari 2025 14:23 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Rafi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: https://unsplash.com/photos/a-yellow-car-with-a-black-tire-XIxycwhEQzg
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: https://unsplash.com/photos/a-yellow-car-with-a-black-tire-XIxycwhEQzg
ADVERTISEMENT
Baru saja Indonesia melaksanakan hajatan demokrasi terbesar yaitu Pilkada Serentak tahun 2024. Sebagai bentuk demokrasi lokal, pilkada menjadi ruang yang sangat penting bagi masyarakat dalam memilih pemimpin daerah secara langsung.
ADVERTISEMENT
Pelaksanaan pilkada ini seharusnya dilaksanakan secara adil, transparan, dan bebas dari intervensi pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu termasuk aparat keamanan terutama kepolisian. Pada era reformasi ini melalui peraturan perundang-undangan, Polri bersama TNI sudah diberikan pengecualian dari hak politik. Pengecualian dalam hak politik ini dimaksudkan untuk memelihara dan menjaga sikap netralitas aparat dalam proses pemilu dan pilkada.
Akan tetapi dalam praktiknya, sering kali terjadi fenomena keterlibatan aparat keamanan khususnya kepolisian yang dianggap mengesampingkan netralitas dalam pilkada. Fenomena tersebut sering disebut dengan istilah “cawe-cawe” yang berpotensi mengancam keberlangsungan demokrasi. Tentu saja cawe-cawe yang dilakukan oleh kepolisian dalam pilkada dapat mencoreng prinsip netralitas, memperburuk polarisasi, dan melemahkan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.
Cawe-cawe dapat diartikan sebagai keterlibatan dalam proses atau urusan tertentu. Cawe-cawe yang dilakukan oleh polisi dapat dilakukan dalam berbagai bentuk mulai dari pengamanan yang tidak netral, pengawasan berlebihan terhadap kelompok tertentu, sampai kriminalisasi terhadap kandidat atau pendukung dari lawan politik. Pada Pilkada 2024 ini cawe-cawe oleh kepolisian menjadi sorotan publik. Kemunculan istilah “Partai Coklat” menjadi dugaan kuat tanda ketidaknetralan Polri dalam pelaksanaan Pilkada 2024.
ADVERTISEMENT
Istilah tersebut muncul sebagai kritik terhadap keterlibatan aparat keamanan yang digunakan untuk mempertahankan dominasi politik. Partai coklat diasosiasikan dengan praktik penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan politik tertentu. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bahkan sudah mengajukan bukti-bukti dugaan keterlibatan kepolisian dalam pilkada yang membuat calon kepala daerah yang diusung kalah di beberapa daerah.
Kehadiran partai coklat sebagai entitas politik yang memiliki kekuasaan besar, sering kali dimanfaatkan oleh jaringan kekuasaan untuk memastikan dominasi dalam kontestasi politik melalui dukungan terhadap kandidat tertentu ataupun melalui proses melemahkan oposisi. Penggunaan kekuatan Polri untuk kepentingan pilkada ini mencerminkan pola penggunaan kekuasaan yang dijelaskan oleh Lukes (2005) dalam Power: A Radical View, dimana kekuasaan digunakan untuk mengatur narasi demi kepentingan dan keuntungan kelompok dominan.
ADVERTISEMENT
Mobilisasi yang dilakukan oleh aparat keamanan untuk kepentingan politik memperlihatkan bagaimana aparat negara yang seharusnya menjadi pelindung kepentingan masyarakat, justru digunakan sebagai alat untuk mendukung kepentingan politik tertentu. Kehadiran partai coklat menyebabkan netralitas aparat negara semakin tergerus yang menyebabkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi yang seharusnya menjamin keamanan dan keadilan dalam masyarakat.
Ketika masyarakat merasakan adanya keberpihakan aparat terhadap kandidat tertentu, legitimasi proses demokrasi menjadi dipertanyakan. Hal ini pada gilirannya dapat memicu peningkatan polarisasi masyarakat berdasarkan afiliasi politik.
Kemudian, fenomena ini semakin memperburuk polarisasi masyarakat karena terpecah berdasarkan afiliasi politik yang diperkuat oleh keberpihakan aparat. Partai coklat menandakan kemunduran demokrasi karena persaingan politik menjadi tidak adil dan didominasi oleh kelompok tertentu yang memiliki akses terhadap sumber daya negara.
ADVERTISEMENT
Dalam jangka panjang, ketidakadilan politik yang diakibatkan oleh cawe-cawe polisi dapat memicu delegitimasi pemerintah yang terpilih. Proses politik yang didominasi oleh kelompok tertentu melalui akses terhadap sumber daya negara menunjukkan tanda-tanda kemunduran demokrasi.
Aspinall dan Mietzner (2019) dalam Democracy for Sale juga menyoroti bagaimana patronase politik di Indonesia, termasuk penggunaan aparat negara, telah menjadi ancaman serius terhadap kualitas demokrasi. Mereka berpendapat bahwa praktik-praktik ini membatasi kompetisi politik yang sehat, memperkuat oligarki, dan menciptakan situasi di mana pemilu tidak lagi menjadi mekanisme untuk akuntabilitas.
Lebih lanjut Power dan Warburton (2020) dalam Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression? memberikan penjelasan bahwa kehadiran partai coklat dapat dianggap sebagai tanda bahwa kekuasaan tidak lagi digunakan untuk melayani kepentingan publik, akan tetapi digunakan untuk mempertahankan dominasi politik kelompok tertentu yang diidentifikasi sebagai kemunduran demokrasi. Ketika institusi negara digunakan untuk mempertahankan kekuasaan kelompok tertentu, maka fungsi demokrasi sebagai sarana pemerataan kekuasaan telah terdistorsi.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, peran Polri dalam pilkada menunjukkan bagaimana institusi keamanan yang semestinya netral berubah menjadi aktor politik yang aktif. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang struktur dan fungsi Polri dalam demokrasi. Apakah Polri berperan sebagai penjaga demokrasi, ataukah justru menjadi alat kekuasaan yang memperdalam ketimpangan politik?