Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.0
Konten dari Pengguna
Militer dan Politik di Era Prabowo: Menuju Reformasi atau Restorasi?
12 Februari 2025 22:54 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muhammad Rafi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Ilustrasi Militer Indonesia, sumber: istockphoto/Valen Tino](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkx6hs9w850svbmazrv7033v.jpg)
ADVERTISEMENT
Penunjukan Mayjen TNI Novi Helmy Prasetya sebagai Dirut Perum Bulog menambah kehadiran perwira militer aktif yang menduduki jabatan sipil di era pemerintahan Presiden Prabowo.
ADVERTISEMENT
Hal ini menjadi perdebatan di kalangan masyarakat bahkan akademisi yang mengkritisi keputusan Prabowo karena penunjukan tersebut dianggap melanggar amanat UUD 1945 dan Undang-Undang TNI. Kemunculan protes ini dikarenakan menurut peraturan perundang-undangan tersebut tentara aktif hanya bisa mengisi jabatan sipil yang memiliki kaitan dengan urusan pertahanan dan keamanan.
Kehadiran perwira militer dalam jabatan sipil tersebut tidak terlepas dari rekam jejak Prabowo dalam dunia militer dan politik, sehingga memunculkan pertanyaan besar: apakah Prabowo akan melanjutkan agenda reformasi atau justru mengarah para restorasi peran militer dalam pemerintahan sipil?
Keterlibatan aktif militer dalam politik Indonesia bukan hal yang baru. Doktrin dwifungsi ABRI di bawah pemerintahan Soeharto menjadi alasan militer untuk memiliki peran strategis di sektor pertahanan sekaligus pemerintahan sipil. Melalui peran strategis yang dimiliki militer, mereka berperan dalam sebagian besar aspek kehidupan bernegara mulai dari birokrasi sampai pada sektor ekonomi.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, peristiwa reformasi 1998 menjadi titik balik peran militer dalam ranah politik di Indonesia. Penghapusan dwifungsi ABRI dan pengembalian militer ke barak sebagai fungsi pertahanan negara menjadi salah satu agenda reformasi. Secara bertahap TNI mulai ditarik dari ranah politik, termasuk penghapusan fraksi ABRI di parlemen pada tahun 2004. Hal ini juga diikuti kebijakan pelarangan tentara aktif untuk menduduki jabatan sipil kecuali pada kondisi atau jabatan tertentu sesuai amanat UU TNI.
Namun demikian, wacana kembalinya militer ke ranah politik tidak benar-benar dapat hilang. Penempatan anggota militer aktif pada jabatan sipil yang terjadi pada era pasca reformasi menunjukkan masih terdapat tarik ulur hubungan sipil-militer. Meski reformasi telah membatasi peran militer dalam politik, sejumlah kebijakan tetap membuka celah keterlibatan TNI untuk bertugas di luar urusan pertahanan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, tren purnawirawan yang masuk pada ranah politik juga dapat memperkuat dugaan bahwa militer tetap memiliki pengaruh yang kuat dalam dinamika pemerintahan. Banyak mantan perwira tinggi yang bergabung dengan partai politik, menduduki jabatan publik, atau berperan dalam pembuatan kebijakan nasional. Fenomena terebut menunjukkan bahwa meski reformasi dapat mengubah struktur formal hubungan sipil-militer, akan tetapi secara substantif pengaruh militer dalam politik masih tetap bertahan dan justru semakin berkembang dengan cara-cara terselubung.
Dalam konteks hubungan sipil-militer, penempatan militer pada jabatan sipil menurut Huntington merupakan bentuk subjective civilian control. Hubungan tersebut tidak konstruktif dan bertolak belakang dengan upaya reformasi TNI, mengingat kontrol atas militer dapat disesuaikan dengan kepentingan kekuasaan sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Penempatan militer dalam jabatan sipil menunjukkan bahwa pemerintah justru membuka kembali ruang bagi keterlibatan TNI dalam ranah sosial-politik. Dalam praktiknya, situasi ini berkontribusi pada berbagai persoalan yang menghambat perkembangan demokrasi. Hal ini sejalan dengan amanat TAP MPR No. VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri yang menegaskan bahwa campur tangan militer dalam urusan politik dapat menjadi kendala bagi proses demokratisasi.
Fenomena penempatan militer pada jabatan sipil menunjukkan bahwa komitmen pemerintah termasuk TNI dalam memperkuat reformasi militer masih belum sepenuhnya kokoh terutama dalam penerapan peraturan yang menjadi bagian dari agenda reformasi TNI, seperti UU TNI.
Penempatan militer di posisi sipil tetap menjadi permasalahan yang belum sepenuhnya terselesaikan dalam proses reformasi TNI dan demokratisasi. Padahal, dalam TAP MPR No. VI Tahun 2000 dinyatakan bahwa peran sosial-politik dalam Dwifungsi ABRI telah menyebabkan penyimpangan fungsi TNI dan Polri, sehingga menghambat perkembangan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, pada era pasca reformasi terdapat indikasi bahwa ruang politik bagi militer kembali dibuka, baik melalui pengangkatan perwira aktif dalam jabatan sipil maupun meningkatnya keterlibatan militer dalam berbagai kebijakan non pertahanan.
ADVERTISEMENT
Seharusnya, era pasca reformasi menjadi momentum untuk menata kembali posisi militer dalam sistem demokrasi. Namun, realitas yang ada menunjukkan bahwa cita-cita reformasi terutama terkait penghapusan Dwifungsi ABRI belum sepenuhnya tercapai. Justru dalam beberapa aspek terdapat kecenderungan restorasi peran militer dalam politik, di mana militer kembali memperoleh pengaruh dalam pemerintahan melalui berbagai kebijakan dan penempatan strategis.
Pemerintahan Prabowo berpotensi menjadi titik krusial dalam sejarah hubungan militer dan politik di Indonesia. Di satu sisi, ada kekhawatiran bahwa peran militer dalam politik akan kembali menguat terutama jika Prabowo mengadopsi pendekatan yang lebih militeristik dalam kebijakan dan komposisi pemerintahannya. Di sisi lain, masih ada peluang untuk mempertahankan jalur reformasi dengan memastikan bahwa supremasi sipil tetap menjadi prinsip utama dalam tata kelola pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, arah yang akan diambil bergantung pada keseimbangan antara kepentingan politik, tekanan publik, serta komitmen Prabowo terhadap demokrasi. Apakah ia akan melanjutkan reformasi atau justru membawa kembali peran militer ke dalam politik? Jawaban atas pertanyaan ini akan terungkap seiring berjalannya pemerintahan Prabowo dalam lima tahun ke depan.