Konten dari Pengguna

Polri sebagai Guardian of Democracy atau Pedang Bermata Dua?

Muhammad Rafi Fadilah
Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada
11 Desember 2024 11:50 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Rafi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh Wizurai Mahatma dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/kota-orang-orang-masyarakat-rakyat-6326493/
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Wizurai Mahatma dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/kota-orang-orang-masyarakat-rakyat-6326493/
ADVERTISEMENT
Dalam lanskap demokrasi, kepolisian sebagai institusi keamanan memiliki peran kunci dalam menjaga stabilitas, perlindungan terhadap hak warga negara, dan penegakan hukum. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) memiliki tugas dan tanggung jawab terhadap keamanan dalam negeri. Polri pasca reformasi bertransformasi menjadi institusi yang memiliki posisi strategis sekaligus kekuasaan dalam mendukung berlangsungnya demokrasi. Reformasi mengubah relasi Polri dengan masyarakat karena masyarakat menjadi sumber legitimasi Polri pada masa demokratis.
ADVERTISEMENT
Transformasi Polri tersebut memunculkan konsep democratic policing, di mana kehadiran polisi berperan sebagai penegak hukum dan polisi sebagai institusi sipil masyarakat. Konsep tersebut juga menekan pada paradigma pemolisian era demokrasi yang memberikan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karena itu, democratic policing ini menekankan konsep pemolisian yang memiliki orientasi kepada penegakan hukum dan penghormatan terhadap HAM.
Akan tetapi, peran Polri sebagai penjaga demokrasi saat ini menjadi sorotan. Kasus-kasus pelanggaran HAM ataupun dugaan netralitas dan keterlibatan dalam politik praktis kemudian memunculkan pertanyaan penting: apakah Polri telah menjalankan fungsinya sebagai “guardian of democracy” atau justru menjadi pedang bermata dua yang mengancam prinsip demokrasi?
Warisan Orde Baru dan Reformasi Polri
Sejak pemisahan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri pada tahun 1999, kepolisian melakukan reformasi besar-besaran yang diharapkan dapat menjadi pilar utama demokrasi dengan prinsip netral, transparan, dan profesional. Pemisahan Polri ini merupakan bagian dari gelombang reformasi yang lebih luas sebagaimana dikemukakan oleh Huntington dalam bukunya The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century (1991). Huntington menjelaskan bahwa salah satu tantangan utama demokrasi baru adalah reformasi institusi negara yang sebelumnya menjadi alat otoritarianisme, seperti militer dan kepolisian yang kemudian berubah mendukung nilai-nilai demokrasi.
ADVERTISEMENT
Polri mewarisi sejarah panjang sebagai alat kekuasaan selama Orde Baru, di mana institusi ini digunakan untuk meredam oposisi dan mengontrol masyarakat. Huntington menekankan bahwa reformasi institusi dalam transisi demokrasi sering kali menghadapi dua tantangan utama yaitu warisan otoritarianisme dan resistensi internal.
Lebih lanjut dalam Politics in Time: History, Institutions, and Social Analysis (2004) dijelaskan bahwa dalam pendekatan historical institutionalism, institusi dianggap sebagai hasil dari proses historis yang dipengaruhi oleh struktur, norma, dan kebiasaan yang tertanam di masa lalu. Polri, sebagai bagian dari struktur negara otoritarian di era Orde Baru, mewarisi pola kerja yang lebih berorientasi pada stabilitas politik daripada perlindungan hak-hak sipil.
Meskipun reformasi telah dilakukan, termasuk peningkatan otonomi Polri dan penguatan pengawasan internal melalui pembentukan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), warisan masa lalu ini tetap membatasi sejauh mana Polri dapat beradaptasi dengan nilai-nilai demokrasi.
ADVERTISEMENT
Salah satu tantangan besar dalam transformasi Polri adalah path dependence, yaitu kecenderungan institusi untuk mempertahankan pola kerja dan praktik yang sudah mapan. Untuk mengatasi tantangan ini, Huntington merekomendasikan pentingnya reformasi yang berfokus pada transparansi, akuntabilitas, dan pendidikan demokrasi dalam institusi keamanan.
Reformasi Polri bukanlah upaya sesaat, melainkan proses berkelanjutan yang membutuhkan komitmen untuk menanggalkan pendekatan represif dan menggantinya dengan nilai-nilai demokrasi, seperti penghormatan terhadap HAM dan netralitas politik.
Ujian Demokrasi Polri
Penegakan HAM menjadi salah satu ujian berat bagi Polri dalam melaksanakan fungsinya di era demokrasi. Komnas HAM (2023) mencatat bahwa Polri menduduki peringkat pertama sebagai pihak teradu dalam dugaan pelanggaran HAM dengan total 771 aduan sepanjang tahun tersebut. Fakta ini menjadi indikasi serius bahwa reformasi Polri masih menghadapi banyak hambatan, terutama dalam upaya menyeimbangkan tugas menjaga keamanan publik dengan melindungi hak-hak dasar warga negara.
ADVERTISEMENT
Kasus-kasus kekerasan yang viral semakin mempertegas ujian demokrasi yang dihadapi Polri untuk melakukan pembenahan. Pada aksi demonstrasi Reformasi Dikorupsi 2019 beberapa demonstran menjadi korban kekerasan fisik, sementara pada aksi Kawal Putusan MK 2024 dilaporkan beberapa demonstran mengalami tindakan represif saat ditangkap. Insiden lain seperti penembakan polisi terhadap seorang pelajar di Semarang menunjukkan penggunaan kekuatan berlebihan oleh anggota Polri.
Situasi ini tidak hanya melukai korban dan keluarga, akan tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian sebagai pelindung masyarakat. Peristiwa-peristiwa tersebut menggambarkan bahwa terdapat tantangan yang dihadapi oleh Polri dalam menjaga keamanan publik dan melindungi masyarakat.
Fenomena tersebut mencerminkan dilema klasik dalam penegakan hukum di negara demokrasi yaitu bagaimana memastikan stabilitas tanpa melanggar kebebasan sipil. Pendekatan represif yang masih digunakan oleh Polri menunjukkan warisan pola otoritarianisme yang sulit dilepaskan dari institusi. Polri seharusnya berfungsi sebagai penjaga kebebasan berekspresi dan pelindung HAM. Namun, tindakan-tindakan represif ini justru memunculkan persepsi publik bahwa Polri lebih memprioritaskan stabilitas politik daripada penghormatan terhadap kebebasan sipil.
ADVERTISEMENT
Michel Foucault menyatakan bahwa kekuasaan tidak hanya dipahami sebagai dominasi langsung, tetapi juga sebagai mekanisme kontrol yang tertanam dalam institusi, norma, dan praktik sehari-hari. Polri sebagai institusi negara, memainkan peran sentral dalam mempraktikkan kekuasaan melalui pengawasan, regulasi, dan penegakan hukum, termasuk dalam menangani demonstrasi dan menjaga keamanan publik.
Menurut Foucault (1977) dalam Discipline and Punish, institusi modern menggunakan kekuasaan untuk menciptakan disiplin dalam masyarakat. Polri yang menggunakan pendekatan represif menggambarkan suatu bentuk disiplin yang berfokus pada pengawasan dan kontrol ketat, di mana kekuatan koersif digunakan untuk menegakkan aturan dan menjaga ketertiban sosial.
Namun, ketergantungan pada kekuasaan yang represif ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah Polri seharusnya lebih menekankan pada pendekatan yang lebih berbasis pada dialog dan perlindungan HAM, bukan hanya menggunakan kekuasaan untuk mengatasi ancaman terhadap stabilitas politik.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut menurut David Bayley (2006), transformasi kepolisian dalam negara demokrasi membutuhkan komitmen untuk mengadopsi pendekatan yang lebih responsif dan humanis, bukan sekadar mengandalkan kekuatan koersif. Bayley menekankan pentingnya membangun budaya transparansi dan akuntabilitas untuk mencegah penyalahgunaan wewenang oleh aparat.
Netralitas Polri: Fenomena Parcok
Netralitas Polri menjadi elemen penting yang menentukan institusi kepolisian ini sebagai guardian of democracy. Akan tetapi, mimpi tersebut menghadapi ujian berat ketika Polri kemudian diterpa isu “Partai Coklat” (Parcok) pada pelaksanaan Pilkada 2024. Istilah parcok merujuk pada dugaan keberpihakan aparat terhadap kepentingan politik tertentu. Fenomena parcok ini mencerminkan kekhawatiran publik bahwa Polri tidak lagi sekedar alat negara, akan tetapi cenderung bertindak sebagai alat kekuasaan bagi aktor politik tertentu.
ADVERTISEMENT
Sejarah Polri pada masa orde sebagai alat kontrol politik negara meninggalkan jejak dalam dinamika kekuasaan hingga hari ini. Meskipun reformasi telah menghasilkan pemisahan Polri dan TNI, warisan keterlibatan politik tersebut belum sepenuhnya dapat hilang. Kemunculan istilah parcok muncul sebagai bentuk kritik terhadap indikasi sejumlah pejabat dan anggota Polri aktif yang mendukung kandidat politik dalam pelaksanaan kontestasi Pilkada 2024.
Dalam perspektif kekuasaan, Foucault memberikan penjelasan bahwa kekuasaan tidak hanya memiliki hubungan dominasi bersifat represif, akan tetapi juga bersifat produktif yang membentuk perilaku, norma, dan institusi. Kekuasaan bekerja melalui mekanisme pengawasan, regulasi, dan internalisasi aturan yang memungkinkan institusi seperti Polri mengontrol individu atau kelompok tanpa penggunaan kekerasan langsung.
Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan modern bekerja secara halus melalui institusi dan praktik-praktik yang terlihat "netral," tetapi sebenarnya menciptakan mekanisme kontrol yang efektif. Melalui otoritas dan struktur yang dimiliki, Polri tidak hanya bertugas menjaga keamanan tetapi juga dapat mempengaruhi proses politik secara signifikan. Keterlibatan Polri dalam politik praktis tersebut diasosiasikan dengan parcok yang mencerminkan cara kekuasaan memanifestasikan dirinya melalui institusi negara. Ketika kekuasaan ini digunakan untuk mendukung agenda politik praktis tertentu, maka peran Polri sebagai institusi negara yang netral dapat terancam.
ADVERTISEMENT
Laporan Setara Institute terbaru (2024) mendapati bahwa pelanggaran hukum dan kode etik anggota Polri melahirkan relasi patron-klien yang berkaitan dengan entitas ekonomi-bisnis maupun politik. Apabila Polri terikat dalam relasi patron-klien, di mana terdapat pihak tertentu yang memiliki kekuatan mempengaruhi kepolisian maka hal tersebut berdampak pada netralitas dan independensi Polri. Pada akhirnya ancaman netralitas dan independensi akan berpengaruh terhadap konsistensi Polri dalam menegakkan hukum serta penanganan dan pelayanan kebutuhan masyarakat.
Dalam menghadapi situasi seperti ini, Polri tidak lagi menjalankan kekuasaan sebagai pelindung masyarakat, melainkan sebagai perpanjangan tangan kekuasaan politik yang dapat mengancam demokrasi itu sendiri. Foucault memperkenalkan konsep panopticon untuk memahami hubungan Polri dengan fenomena parcok.
Panopticon adalah metafora untuk pengawasan total, di mana individu merasa diawasi terus-menerus sehingga mematuhi aturan tanpa perlu paksaan langsung. Keberadaan aparat yang mengawasi aktivitas politik masyarakat, baik melalui pengawasan fisik maupun digital, dapat menciptakan rasa takut atau kepatuhan yang tidak proporsional. Praktik ini memperkuat kekuasaan politik yang ingin dilindungi oleh Polri, sambil mereduksi ruang kebebasan sipil.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Foucault menekankan bahwa kekuasaan selalu menghasilkan resistensi. Keberadaan fenomena parcok, menunjukkan bahwa resistensi ini terlihat dalam kritik dari masyarakat sipil, organisasi HAM, dan media terhadap dugaan keberpihakan Polri. Resistensi publik menunjukkan bahwa kekuasaan yang dijalankan Polri tidak sepenuhnya diterima dan selalu menghadapi tantangan yang dapat menggoyahkan legitimasi institusionalnya. Foucault menyatakan bahwa resistensi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hubungan kekuasaan. Dalam konteks demokrasi, resistensi semacam ini menjadi tanda penting bahwa ruang untuk akuntabilitas dan reformasi masih ada.
Polri di Persimpangan: Antara Penjaga Demokrasi dan Ancaman bagi Kebebasan Sipil
Reformasi Polri telah membawa perubahan signifikan dalam peran institusi ini sebagai penegak hukum dan pelindung HAM di era demokrasi. Namun, transformasi menuju konsep democratic policing masih menghadapi tantangan serius. Warisan otoritarianisme masa Orde Baru, resistensi internal, dan pola kerja yang berorientasi pada stabilitas politik terus memengaruhi netralitas dan profesionalisme Polri.
ADVERTISEMENT
Fenomena seperti pelanggaran HAM, pendekatan represif dalam penegakan hukum, dan keterlibatan dalam politik praktis, seperti yang tercermin dalam isu parcok, menunjukkan dilema Polri antara menjaga stabilitas dan melindungi kebebasan sipil. Kondisi ini mencederai kepercayaan publik terhadap Polri sebagai guardian of democracy dan menimbulkan resistensi dari masyarakat.
Untuk menjadi institusi yang benar-benar mendukung demokrasi, Polri perlu mengadopsi paradigma yang menekankan transparansi, akuntabilitas, penghormatan HAM, serta netralitas politik. Tanpa pembenahan menyeluruh dan berkelanjutan, Polri berisiko menjadi alat kekuasaan yang mengancam prinsip-prinsip demokrasi, alih-alih menjadi pelindungnya.