Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Selamatkan Hutan atau Ekspansi Sawit? Dilema Kebijakan Prabowo
20 Januari 2025 11:17 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Muhammad Rafi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada akhir tahun 2024 Presiden Prabowo Subianto dalam Musrenbang Nasional RPJMN 2025-2029 menyampaikan bahwa Indonesia perlu memperluas perkebunan kelapa sawit dalam rangka meningkatkan ekspor minyak kelapa sawit. Upaya tersebut bahkan dapat ditempuh meskipun dengan cara deforestasi atau pembabatan hutan yang menurut Prabowo upaya tersebut dianggap bukan ancaman bagi keberlanjutan alam.
ADVERTISEMENT
Pernyataan ini segera menuai kritik keras dari berbagai kalangan, terutama akademisi, aktivis lingkungan, dan masyarakat sipil yang khawatir akan dampak ekologis dan sosial yang mungkin timbul di kemudian hari.
Kritik terhadap Pernyataan Presiden
Banyak akademisi dan aktivis lingkungan yang menganggap pandangan Presiden Prabowo keliru karena menyamakan kelapa sawit dengan tanaman hutan alam. Peneliti ekologi menegaskan bahwa hutan alam memiliki fungsi ekologis yang kompleks, seperti menyerap karbon, menjaga keanekaragaman hayati, dan mengatur siklus hidrologi, yang tidak dapat digantikan oleh perkebunan monokultur seperti kelapa sawit.
Kemudian Greenpeace Indonesia juga mengkritik kebijakan tersebut yang dianggap tidak sesuai dengan komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 yang merupakan ratifikasi dari Perjanjian Paris mengenai perubahan iklim, di mana Indonesia memiliki komitmen untuk mengurangi emisi hingga gas rumah kaca sesuai dengan kesepakatan global. Komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi sebesar 29% dan meningkatkan sejumlah 41% pada tahun 2030 melalui kerja sama internasional.
ADVERTISEMENT
Kebijakan pembukaan lahan sawit dinilai dapat berdampak pada deforestasi yang dinilai dapat memperburuk krisis iklim. Deforestasi mengakibatkan pelepasan karbon yang tersimpan dalam hutan, baik melalui pembakaran biomassa maupun degradasi lahan gambut, yang merupakan salah satu penyumbang emisi karbon terbesar.
Berdasarkan rilis data Global Forest Watch (GFW) sejak tahun 2001 sampai 2022 Indonesia telah kehilangan kurang lebih 10.295.005 hektare hutan primer. Dari data yang dipaparkan GFW, deforestasi terjadi sebagai besar untuk membuka jalan bagi perkebunan kelapa sawit. Dampaknya tidak hanya pada pelepasan karbon tetapi juga pada meningkatnya kejadian banjir, kekeringan, dan suhu ekstrem yang semakin sering dirasakan di berbagai wilayah Indonesia.
Selain itu, deforestasi dapat berdampak pada konflik sosial. Masyarakat adat yang bergantung pada hutan dapat menjadi pihak yang terdampak secara langsung, sementara itu perusahaan sawit mendapatkan keuntungan besar tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkan terhadap komunitas lokal.
ADVERTISEMENT
Konflik sosial sering kali muncul akibat tumpang tindih kepemilikan lahan. Banyak masyarakat adat yang tidak memiliki sertifikat tanah formal, meskipun mereka telah mendiami kawasan tersebut selama bertahun-tahun. Ketika lahan ini diambil alih oleh perusahaan sawit untuk ekspansi perkebunan, masyarakat lokal kerap kali tidak memiliki perlindungan hukum yang memadai untuk mempertahankan hak mereka.
Dalam banyak kasus, penggusuran masyarakat adat dilakukan tanpa konsultasi atau persetujuan terlebih dahulu, melanggar prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) yang diakui secara internasional. Hal ini menyebabkan ketegangan antara perusahaan dan komunitas lokal, yang dapat berujung pada protes, demonstrasi, atau bahkan kekerasan.
Akibat dari konflik ini, banyak masyarakat adat yang kehilangan akses terhadap penghidupan tradisional dan terpaksa mencari pekerjaan di sektor informal atau sebagai buruh perkebunan dengan upah rendah. Selain itu, hilangnya hutan berarti hilangnya tempat tinggal bagi banyak spesies yang penting dalam sistem kepercayaan budaya masyarakat adat. Misalnya, beberapa kelompok adat menganggap hutan sebagai tempat suci yang memiliki nilai spiritual. Dengan hancurnya hutan, tidak hanya ekosistem alami yang terancam, tetapi juga warisan budaya yang telah terjaga selama berabad-abad.
ADVERTISEMENT
Melihat dari Kacamata Politik Tata Kelola Sumber Daya Alam
Fenomena mengenai perluasan lahan sawit tidak dapat dilepaskan dari struktur politik-ekonomi yang melibatkan elite nasional dan lokal. Hal ini dapat dianalisis menggunakan perspektif Rentier State, sebagaimana disampaikan oleh Hazem Beblawi dan Giacomo Luciani dalam The Rentier State, bahwa negara-negara yang terlalu mengandalkan pendapatan dari eksploitasi sumber daya alam menunjukkan pola tata kelola yang khas, seperti ketergantungan pada elite, kelemahan struktur demokrasi, ataupun kecenderungan mengabaikan keberlanjutan lingkungan.
Beblawi dan Luciani mendefinisikan negara rentier sebagai negara yang sebagian besar pendapatannya berasal dari rents atau keuntungan ekonomi yang diperoleh bukan dari produktivitas masyarakat luas, melainkan dari eksploitasi sumber daya alam atau hasil eksternal lainnya. Di Indonesia minyak kelapa sawit merupakan salah satu komoditas strategis yang menghasilkan devisa besar melalui ekspor, sehingga menjadikannya bagian penting dalam struktur ekonomi rentier.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut Michael L. Ross dalam The Oil Curse: How Petroleum Wealth Shapes the Development of Nations mengemukakan bahwa negara-negara yang bergantung pada eksploitasi sumber daya alam cenderung memiliki tata kelola yang lemah, rentan terhadap korupsi, dan minim inovasi kebijakan. Ketergantungan ini menyebabkan negara cenderung memiliki sistem pemerintahan yang lemah, di mana korupsi menjadi hal yang umum dan transparansi serta akuntabilitas sering kali terabaikan. Selain itu, negara-negara tersebut cenderung kurang berinovasi dalam pengembangan sektor ekonomi lainnya, karena pendapatan yang besar dari sumber daya alam seringkali mengurangi dorongan untuk menciptakan kebijakan diversifikasi ekonomi yang berkelanjutan.
Kebijakan sawit yang diusung Presiden Prabowo berada di bawah tekanan kepentingan politik dan ekonomi elite yang kuat, terutama dari perusahaan sawit besar yang memiliki pengaruh besar dalam pengambilan keputusan. Jeffrey Winters dalam Oligarchy menjelaskan bahwa politik di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kekuatan oligarki yang memiliki akses luas terhadap sumber daya dan modal. Hal ini menjelaskan bagaimana kebijakan yang tampak kontroversial seperti perluasan lahan sawit tetap diusulkan meskipun bertentangan dengan prinsip keberlanjutan.
ADVERTISEMENT
Hubungan antara elite politik dan perusahaan sawit juga mencerminkan praktik state capture, di mana kebijakan publik lebih berpihak pada kepentingan korporasi dibandingkan masyarakat luas. Dalam laporan Promised Land: Palm Oil and Land Acquisition in Indonesia ditemukan bahwa ekspansi perkebunan sawit sering kali difasilitasi oleh koneksi politik yang memengaruhi alokasi lahan, sering kali dengan mengorbankan masyarakat adat dan lingkungan.
Dilema Kebijakan
Kebijakan Presiden Prabowo tentang optimalisasi sawit melalui perluasan lahan memang menghadapi dilema yang kompleks. Di satu sisi, pemerintah berusaha meningkatkan pendapatan nasional melalui ekspor minyak kelapa sawit yang merupakan salah satu komoditas utama Indonesia. Namun, di sisi lain kebijakan ini berpotensi merusak citra Indonesia di mata dunia terutama terkait komitmennya terhadap keberlanjutan lingkungan yang sering kali dipertanyakan di tingkat internasional. Perluasan lahan sawit yang dilakukan tanpa perhatian serius terhadap dampak ekologi dan sosial dapat memperburuk masalah deforestasi dan krisis iklim yang semakin mendesak.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi dilema ini, langkah yang dapat ditempuh adalah melalui penguatan kapasitas institusi yang mengelola sektor sumber daya alam. Seperti yang diungkapkan oleh Elinor Ostrom dalam Governing the Commons, tata kelola sumber daya alam yang efektif memerlukan koordinasi yang kuat antar aktor
baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta, maupun masyarakat lokal. Tanpa koordinasi yang baik, kebijakan sering kali gagal dilaksanakan secara konsisten dan terintegrasi.
Lebih jauh lagi, pengelolaan berbasis komunitas perlu diprioritaskan, di mana masyarakat lokal khususnya yang terdampak langsung oleh kebijakan sawit dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan diajak untuk berperan dalam pemantauan serta pengelolaan sumber daya alam. Hal ini akan memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, akan tetapi juga menjaga kesejahteraan masyarakat yang terpengaruh.
ADVERTISEMENT
Penguatan mekanisme sanksi yang jelas bagi pelanggar kebijakan sangat penting untuk memastikan implementasi yang efektif. Tanpa penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggar, kebijakan akan kesulitan mencapai keberlanjutan. Dengan langkah-langkah tersebut, Indonesia dapat menciptakan keseimbangan antara ekspansi sawit dan perlindungan lingkungan serta hak masyarakat adat, memastikan keuntungan ekonomi jangka pendek tidak mengorbankan masa depan lingkungan.