Konten dari Pengguna

PPN 12%: Legasi Beban Jokowi yang Diteruskan Presiden Prabowo

Muhammad Rafid Naufal Abrar
Mahasiswa Universitas Indonesia
30 Desember 2024 15:26 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Rafid Naufal Abrar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: https://www.setneg.go.id/
zoom-in-whitePerbesar
Foto: https://www.setneg.go.id/
ADVERTISEMENT
Jika melihat pada kondisi hari ini, banyak masyarakat yang menolak atas kenaikan PPN menjadi 12% pada tahun 2025. Hal ini bermula pada masa pemerintahan Jokowi, sejak adanya usulan RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang kemudian menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pada 7 Oktober 2021. Pada UU ini dijelaskan bahwa PPN akan naik menjadi 11% pada 1 April 2022 dan naik lagi menjadi 12% selambat-lambatnya 1 Januari 2025.
ADVERTISEMENT
Apa yang kita lihat di luar rumah, di jalan, trotoar, halte, dan semua fasilitas umum mestinya dari jadi cerminan bagaimana pajak kemudian berperan terhadap hajat hidup orang banyak. Tapi, beginilah realita kondisi Indonesia. Rasanya kini pajak tidak lagi berlandaskan kepentingan masyarakat, tak lagi melihat apa saja yang dibutuhkan untuk menopang kehidupan sehari-hari. Pajak seakan-akan hanya menjadi sumber kebinalan negara untuk membiayai para politikus, legislator, birokrat, hingga para pejabat.
Sebagai seorang warga negara yang taat pada hukum, pajak menjadi salah satu kewajiban yang harus dibayar oleh rakyat kepada negara. Pajak adalah ongkos kehidupan. Kita tidak akan nyaman berjalan di trotoar jika tidak ada pajak yang membiayai perbaikan dan perawatan, meski kadang tersandung-sandung karena infrastruktur (mungkin) sengaja dibuat dengan konsep seni abstrak tak berbentuk. Kita tidak akan mungkin aman menunggu di halte, stasiun, jalanan, jika tidak ada petugas keamanan lalu dibayar oleh negara, meski kadang masih ada "oknum tukang pukul" yang mengganggu ketika ada yang bersuara di jalan. Kita tidak akan mungkin merasakan "rumah peradilan" ketika ada hak yang harus dipertahankan jika tidak karena pajak yang membiayai para penegak hukum, meski kadang kata "adil" bisa ditukar dengan uang dan kuasa walau hak asasi manusia telah dijamin oleh undang-undang. Kondisi ini menciptakan rasa skeptis di masyarakat terhadap bagaimana pajak benar-benar dikelola.
ADVERTISEMENT
Kenaikan PPN yang direncanakan ini menambah keresahan masyarakat, terutama ketika realitas penggunaan pajak seringkali tidak sesuai dengan harapan publik. Pajak idealnya menjadi alat untuk meningkatkan kualitas hidup, bukan sekadar sumber pendapatan negara yang habis tanpa manfaat nyata bagi masyarakat luas. Namun, apa yang terjadi justru sebaliknya. Banyak masyarakat merasa bahwa pajak hanya menjadi alat pemerintah untuk menambal defisit anggaran tanpa ada transparansi atau akuntabilitas yang memadai. Kenaikan tarif PPN ini pun dianggap sebagai beban tambahan yang lebih terasa menghimpit rakyat kecil dibandingkan kelas atas, menciptakan kesenjangan yang semakin tajam dalam pemenuhan hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan akses terhadap infrastruktur berkualitas.
Adanya kenaikan PPN menjadi 12% kemudian timbul kekhawatiran bahwa daya beli masyarakat akan tergerus dikarenakan naiknya harga barang-barang, terutama bagi kelompok masyarakat menengah ke bawah. Terlebih, berdasarkan data yang tedapat pada artikel yang ditulis oleh Agnes Z. Yonatan yang diterbitkan oleh GoodStats yang berjudul 'Penduduk Kelas Menengah Indonesia Turun Kelas' menunjukkan bahwa jumlah kelompok miskin terus mengalami kenaikan dari 25,14 juta di 2019 menjadi 25,22 juta pada 2024. Lalu ditambah kelompok rentan miskin yang juga naik dari 54,97 juta pada 2019 menjadi 67,69 juta di 2024.
ADVERTISEMENT
Hal ini seharusnya juga menjadi pertimbangan bagi pemerintah dalam memutuskan kebijakan, dalam hal ini adalah pajak. Jika tidak, kebijakan ini berpotensi memperbesar kesenjangan sosial dan ekonomi di masyarakat. Mengingat PPN merupakan pajak konsumsi yang dampaknya akan lebih dirasakan oleh kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang proporsi pengeluarannya untuk konsumsi lebih besar dibandingkan kelompok menengah ke atas. Akibatnya, kenaikan PPN dapat memperburuk kondisi kelompok rentan miskin dan miskin, serta menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan. Mengingat PPN tidak hanya menyasar pada masyarakat menengah ke atas.
Pada Pasal 7 ayat (3) UU HPP, dijelaskan bahwa tarif dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen). Tarif juga dapat diubah menjadi paling tinggi 15% yang perubahannya diatur dengan peraturan pemerintah. Artinya, masih ada peluang untuk kemudian menentukan kembali besaran PPN yang sesuai dengan keadaan ekonomi melalui pertimbangan yang komprehensif. Dengan begitu, Presiden Prabowo bisa menerbitkan Perppu untuk membatalkan kenaikan PPN lalu menyesuaikan tarif PPN yang lebih rendah demi menjaga daya beli masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah yang paling rentan terdampak oleh kenaikan pajak. Perppu ini dapat menjadi langkah strategis dalam mengurangi tekanan ekonomi terhadap rakyat kecil dan menciptakan stabilitas sosial yang lebih baik. Selain itu, penerbitan Perppu juga dapat memberikan sedikit sinyal positif kepada masyarakat bahwa pemerintahan Prabowo benar-benar peduli terhadap dampak dari setiap kebijakan yang mereka keluarkan.
ADVERTISEMENT