Konten dari Pengguna

Mengenang 20 Tahun Suara Aceh 99FM: Radio Darurat Pasca Gempa & Tsunami

Muhammad Rafiq
Ketua Umum PRSSNI (2023 - 2027)
26 Desember 2024 22:26 WIB
·
waktu baca 18 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Rafiq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tenda-tenda bantuan luar negeri didirikan di dekat sebuah masjid di daerah yang hancur di garis pantai Barat provinsi Aceh, di Aceh, (291/2005). Foto: AFP PHOTO / Adek Berry
zoom-in-whitePerbesar
Tenda-tenda bantuan luar negeri didirikan di dekat sebuah masjid di daerah yang hancur di garis pantai Barat provinsi Aceh, di Aceh, (291/2005). Foto: AFP PHOTO / Adek Berry
ADVERTISEMENT
Waktu itu tanggal 31 Desember, 30 menit setelah pergantian tahun, handphone saya berbunyi. Nomor handphone Ganjar Soewargani, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia), muncul di layar.
ADVERTISEMENT
“Fiq, lagi di mana kamu?”
“Saya lagi jadi MC Pak, di Ancol," jawab saya.
Pak Ganjar agak marah di ujung sana, “Kamu gila, Aceh kiamat kamu masih sibuk cari uang. Besok datang ke sekretariat Pondok Gede!”
Keesokan harinya saya datang Sekretariat PRSSNI, tampak sebagian besar pengurus pusat PRSSNI sudah hadir. Ada Irwan Hidayat (Ketua Bidang Eksternal Organisasi), Ari Maricar (Ketua Bidang Pendidikan), Luki Ali Murfikin (Bendahara), Suryono Bandaryanto (Ketua Bidang Teknik) & Indra Bigwanto (Ketua Bidang Keanggotaan).
Pak Ganjar mulai angkat suara, “Teman-teman semua, listrik di Aceh mati, sambungan telepon putus, koran tidak ada, sintal handphone hilang, radio dan televisi dead air. Kita yang di Jakarta tahu persis bagaimana kondisi Aceh, tapi gimana dengan orang Acehnya sendiri? Mereka tidak bisa melakukan panggilan telepon, tidak bisa menonton televisi, tidak bisa mendengar radio dan tidak ada koran yang bisa di baca. Pasti mereka bingung karena tidak tahu mau cari informasi ke mana. Praktisi radio di Aceh kabarnya banyak yang hilang, semua tower radio roboh. Kita kehilangan kontak dengan pengurus daerah PRSSNI Aceh."
ADVERTISEMENT
Kami semua terdiam mendengar perkataan Pak Ganjar, tidak ada yang memberikan komentar.
Kondisi Banda Aceh pasca tsunami 2004 (atas). Perubahan terlihat jelas di tahun 2014 (bawah). Foto: Getty Image
Pak Ganjar melanjutkan perkataannya, “Pokoknya minggu ini kita harus berangkat ke Aceh! Pekerjaan besarnya ada dua. Pertama bikin radio darurat, kedua mendata kerusakan radio yang diderita anggota PRSSNI di Aceh, sekaligus mengumpulkan crew radio yang selamat”.
Kami pun mulai berbagi tugas. Indra Bigwanto diminta ke Dirjen Postel (sekarang SDPPI) untuk mendapatkan izin frekuensi radio darurat yang akan kami bangun di Aceh. Irwan Hidayat harus menghubungi radio-radio “mampu” yang bersedia menyediakan radio portable bertenaga baterai, untuk dibagi-bagikan kepada korban bencana di Aceh.
Suryono Bandaryanto membuat daftar peralatan teknik yang harus kami bawa, mulai dari microphone, mixer, pemancar sampai antenna. Luki Ali Murfikin menghubungi Garuda Indonesia supaya kami bisa mendapatkan tiket pesawat Jakarta-Banda Aceh. Sementara Pak Ganjar bertugas cari uang, karena biaya yang dibutuhkan jumlahnya tidak sedikit. Sedangkan saya mencoba untuk menghubungi Candi Sinaga (Radio MSTRi) dan Agus Sutama (Ramako FM), karena mereka berdua juga harus berangkat bersama kami ke Aceh. Skill mereka berdua dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
Tanggal 2 Januari kami kembali berkumpul di sekretariat PRSSNI Pondok Gede. Izin frekuensi dari Postel sudah di tangan. Peralatan teknik yang akan dibawa juga sudah disiapkan oleh Pak Efendy Ilham dari Morse Elektronik. Sekitar 5600 unit radio kecil bertenaga baterai sumbangan dari Trijaya FM, Radio Sonora, dan MRA Group sudah tersusun rapi dalam kardus. Terima kasih banyak buat Harian Kompas yang waktu itu menyumbangkan batu baterai dengan jumlah sangat banyak.
Tiket pesawat ke Banda Aceh sudah dipesan. Sekarang tinggal menunggu kabar soal biaya operasional. Sambil masuk ke ruang rapat, Pak Ganjar berbicara, “Soal biaya tidak usah pusing. Biaya kita akan ditanggung oleh Bulog. Karena Bulog punya kepentingan, mereka butuh radio yang bisa membantu Bulog dan relawan dalam mendistribusikan bantuan sembako untuk korban gempa dan tsunami."
ADVERTISEMENT
“Sekarang mereka bingung mau menyalurkan bantuan ke mana, korban tsunami juga bingung, karena tidak tahu mau ambil bantuan di mana. Besok pagi kita berangkat!"
Dari karyawan sekretariat PRSSNI, kita mendapat informasi ternyata ada dua orang pengurus daerah Aceh yang berhasil dihubungi, yaitu Pak Yan (Ketua) dan Pak Budi (Sekretaris). Mereka berdua sudah terima instruksi, untuk mencari truk yang akan menjemput kami begitu sampai di Bandara Aceh.
Menjelang sore kami bubar, jadi masih ada kesempatan buat beres-beres barang keperluan pribadi. Saya yakin malam itu semua anggota tim yang akan berangkat pasti susah tidur. Bagaimana tidak, di televisi kami melihat gambar dan video kondisi Aceh yang seram sekali. Bahkan beredar isu banyak relawan yang sakit terkena “virus ganas” yang keluar dari mayat-mayat yang merotol dan meletus. Besok petualangan akan dimulai...
ADVERTISEMENT

Hari Pertama, 3 Januari 2005

Gambar kombinasi udara menunjukkan masjid Al Maghfirah Habib Chiek Kajhu di daerah yang terkena dampak tsunami di pinggiran Banda Aceh, Indonesia, 31 Desember 2004 (kiri), dan masjid yang sama sedang dibangun kembali pada 22 Desember 2024 (kanan). Foto: REUTERS/Kim Kyung Hoon/Willy Kurniawan
Jam 5 subuh semua tim sudah kumpul di Bandara Soekarno-Hatta, jumlahnya total ada tujuh orang. Mereka adalah Ganjar Soewargani dan Indra Bigwanto dari Radio OZ Bandung, Ari Maricar dari Radio Panorama Jawa Timur, Suryono Bandaryanto dari Hard Rock FM, Agus Sutama dari Radio Ramako, dan saya dari I-Radio Jakarta.
Barang yang akan dibawa ke Aceh juga sudah lengkap. Ada antenna FM, mixer, pemancar FM, Integrated Power Amplifier, Exiter, Audio Processor, Microphone, Komputer, Tape dan CD player, telepon satelit, tools, dan beberapa gulung kabel listrik serta kabel audio.
Tidak terbayang bagaimana caranya membawa semua barang ini ke dalam lambung pesawat. Betul saja, pesawat terpaksa delay karena crew penerbangan “pusing” mengatur semua barang bawaan kami. Setelah “berkoordinasi” dengan pihak Garuda Indonesia akhirnya diputuskan bahwa separuh barang kami, akan diterbangkan dengan pesawat berikutnya. Terima kasih banyak kepada Pak Taufik, Duty Manager Garuda kala itu, yang sangat membantu kami. FYI, sebulan kemudian Pak Taufik kembali membantu saya, ketika harus membawa 800 kilogram bantuan untuk Children Center di Aceh Barat.
ADVERTISEMENT
Sekitar jam 8 pagi pesawat yang kami tumpangi take off. Butuh waktu kurang lebih satu jam setengah untuk sampai di Bandara Polonia Medan. Kami ternyata tidak mendapat pesawat langsung ke Aceh, jadi harus transit dulu di Medan. Di sini jalan cerita mulai seru. Gara-gara ada pesawat cargo asal Belanda yang patah as roda di runway, terpaksa semua penerbangan ke Aceh ditunda sampai batas waktu yang belum ditentukan.
Candi Sinaga dari Radio MSTri bergabung dengan kami di Bandara Polonia. Kalau saya tidak salah, memang sudah beberapa hari dia berkunjung ke Medan karena ada keluarga yang meninggal dunia. Sambil menunggu pesawat yang akan terbang ke Aceh, kami menyempatkan diri untuk briefing di pojokan sebuah café yang ada di kompleks bandara. Lumayan, perut bisa terganjal dengan beberapa potong bika ambon dan secangkir kopi Medan.
ADVERTISEMENT
Setelah yakin bahwa kami tidak akan berangkat ke Aceh dalam waktu dua atau tiga jam ke depan, akhirnya kami memutuskan untuk bermalam di hotel yang ada di sekitar Bandara. Beberapa anggota rombongan sekalian merasa perlu membekali dirinya dengan tambahan peralatan mandi, celana dalam, sarung tangan, senter, dan masker. Pak Ganjar juga meminta saya untuk mencari beberapa lembar matras yang nantinya akan kita gunakan sebagai alas tidur di Aceh.
Selesai check-in di hotel dan belanja perbekalan, rombongan menikmati makan malam di Restoran Garuda. Di restoran ini, tim kita bertambah lagi, karena Pak Ruli dari Radio Trijaya Medan ikut bergabung bersama kami.
Kira-kira jam sebelas malam, pihak Garuda Indonesia menghubungi kami. Mereka memohon agar kami segera ke bandara karena pesawat ke Aceh akan berangkat dua jam lagi. Padahal saya baru mau mandi. Tapi apa boleh buat, terpaksa kami kembali ke Bandara sambil membayangkan empuknya kasur hotel.
ADVERTISEMENT
Sampai di bandara kami memeriksa kembali barang-barang yang disimpankan oleh crew penerbangan di sebuah ruangan, bercampur dengan barang-barang orang lain. Celaka, tas besar yang berisi perkakas ternyata hilang! Dibantu orang bandara, kami memeriksa setiap jengkal ruangan yang ada di Bandara Polonia untuk menemukan tas tersebut. Bagaimana caranya bisa menghidupkan radio di Aceh kalau kita tidak punya obeng, solder, tang, dan perkakas lain?
Akhirnya kami pasrah. “Nanti kita pinjam saja sama orang Aceh”, begitu kata Agus Sutama.

Hari Kedua, 4 Januari 2005

Sebuah helikopter dari kapal angkatan laut Prancis Jeanne d'Arc melayang pada tanggal 14 Januari 2005 di atas kota Banda Aceh yang hancur. Foto: AFP PHOTO / Joel Saget
Pesawat yang katanya bakal berangkat jam satu dini hari ternyata molor lagi. Karena kelelahan kami semua tertidur di ruang tunggu bandara. Yang tidak tidur cuma Pak Ari Maricar, dia sibuk melakukan panggilan telepon. Karena memang cuma dia yang tidak tidur, maka dia pula yang membangunkan kami waktu crew pesawat meminta kami segera masuk ke kabin.
ADVERTISEMENT
Saya masih sempat melihat jam tangan sebelum naik ke pesawat, wih… jam 4 Subuh. Setelah yakin semua barang masuk ke bagasi, baru kami naik ke pesawat. Tiba-tiba Irwan Hidayat bertanya kepada kami semua, “Kok Pak Ruli nggak ada ya? Jangan-jangan ketinggalan di Medan?”
Segera saya melepas seat belt dan memeriksa semua wajah yang ada di pesawat. Kekhawatiran Irwan pun terbukti, Pak Rully ketinggalan.
Cepat, tidak begitu lama, kami sudah mendarat di Bandara Iskandar Muda Banda Aceh. Kami semua bersorak begitu melihat tools bag yang hilang, ternyata tergeletak manis bersama tiga bay antenna FM yang dikirim belakangan oleh pihak Garuda. Pantas tidak ada di Polinia, ternyata tas itu tidak berangkat bersama kami, tapi ikut terbang berbarengan dengan antenna di penerangan berikutnya.
ADVERTISEMENT
Pak Yan dan Budi rupanya sudah standby sejak kemaren sore di bandara. Setelah berpeluk-pelukan dengan mereka, mulailah kami menaikkan semua barang-barang ke atas truk. Anda mau tahu berapa sewa truk tersebut? Dua juta rupiah, hanya untuk mengantar dari Bandara ke Perumahan Bulog yang jaraknya tidak sampai 10 kilometer.
"Bah… ini namanya kesempatan dalam kesempitan," umpat Candi Sinaga.
Reruntuhan bangunan di Banda Aceh. Foto: Philippe Desmazes/AFP
Di bandara ini bulu kuduk kami mulai berdiri, karena setiap kali angin berhembus ke arah kami, ada bau menusuk yang hinggap di hidung. Semua saling pandang tapi tidak ada yang berani bertanya ini bau apa. Sepuluh menit kemudian, jawabannya muncul sendiri. Ternyata lokasi kuburan massal jaraknya tidak begitu jauh dari bandara, posisinya pas di pinggir jalan. Dalam remang cahaya pagi, dari atas truk terlihat puluhan atau bahkan mungkin ratusan badan tanpa kafan, ditumpuk-tumpuk dalam satu lubang besar. Kami semua diam, tak ada satu pun yang berbicara.
ADVERTISEMENT
Rumah yang kami tumpangi di kompleks Bulog ternyata berseberangan dengan Posko relawan asal Surabaya yang dikumpulkan oleh Jawa Pos. Tujuan mereka ke Aceh adalah membuat puluhan sumur untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi korban tsunami. Saat itu air di Aceh lebih mahal dari Pertamax karena semua sumber air bersih tertimbun lumpur atau tercemar air laut.
Setelah mandi, ganti pakaian dan sarapan, kami mulai mengatur strategi. Dari Pak Yan kami tahu bahwa tower Radio Megah FM yang ada di Blang Padang masih utuh, bahkan pemancarnya tidak tersentuh air karena terletak di lantai dua. Hanya saja Megah FM tidak bisa mengudara karena listrik padam dan jalan ke arah radio tersebut rusak terendam lumpur.
ADVERTISEMENT
Sekarang kami punya dua skenario: menghidupkan pemancar Megah FM atau membangun radio baru di kantor Bulog Banda Aceh. Menghidupkan Megah FM tentu lebih mudah daripada merakit semua barang yang kami bawa dari Jakarta. Akhirnya diputuskan untuk meminta bantuan Bulog Sumatera Utara untuk mengirimkan 1 unit genset ke Aceh, sedangkan jalan yang berlumpur menuju lokasi harusnya bisa di atasi dengan kayu kaso dan papan.
Saya, Candi Sinaga, Irwan Hidayat, Agus Sutama, dan Pak Yan segera berangkat ke Blang Padang untuk memeriksa kondisi tower dan pemancar Megah FM. Sementara sisa rombongan yang lain meninjau kantor Bulog Banda Aceh. Seandainya kita gagal mendapatkan genset untuk menghidupkan pemancar Megah FM, terpaksa kita mengudara dari kantor Bulog dengan peralatan yang kita bawa dari Jakarta. Kebetulan di kantor Bulog listrik masih menyala.
ADVERTISEMENT
Sepanjang perjalanan menuju Blang Padang kami disuguhi pemandang memilukan. Pusat perbelanjaan yang baru diresmikan dua tahun lalu kini rata dengan tanah. Deretan ruko berlantai tiga paling elit di Banda Aceh, kini hanya tinggal dua lantai karena lantai paling bawah amblas ke dalam tanah. Belasan kapal laut berlabuh di atap-atap rumah. Pasar, kampung, dan jalan tertimbun jutaan kubik lumpur hitam. Ratusan mayat dijejerkan di sepanjang trotoar menunggu giliran naik ke atas truk sebelum dikuburkan secara masal di dekat bandara. Beberapa mayat terpaksa harus telanjang atau dibungkus seadanya karena jumlah kantong mayat yang memang sangat terbatas.
Kapal terdampar di tengah jalan di pusat kota Banda Aceh, pada 8 Januari 2005. Foto: Kazuhiro Nogi / AFP
Toyota Kijang pinjaman dari Bulog kami parkir di pinggir Blang Padang, tak jauh dari monumen Seulawah yang jadi bukti bahwa Aceh adalah daerah pertama yang mampu membeli pesawat terbang setelah Indonesia merdeka. Dari situ kami melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki karena mobil tak mungkin melewati genangan lumpur dan serakan puing.
ADVERTISEMENT
Ampun… ternyata kondisinya lebih buruk dari yang kami bayangkan. Sepatu tenggelam hingga mata kaki, bahkan hingga separuh betis pada beberapa titik. Terkadang kami harus lompat ke atas bangkai mobil atau puing beton yang berserakan di mana-mana. Makin dekat ke lokasi, pemandangan makin tak enak. Beberapa tangan dan kaki manusia tampak menyembul dari dalam lumpur. Sepuluh meter dari tempat Candi Sinaga berdiri, mayat seorang perempuan terjepit antara tembok dan mobil sedan. Sepertinya tim evakuasi mayat belum sampai ke lokasi ini. Dalam hati kami mulai ragu, apakah kami berani bersiaran dari tempat ini?
Tower radio Megah FM setinggi 30 meter ternyata memang masih berdiri, pemancar juga utuh di lantai dua rumah yang terbuat dari kayu. Sayangnya peralatan studio dan kaset-kaset rusak semua terendam air dan lumpur. Harusnya dengan menggunakan genset, microphone, dan player kami bisa siaran dari tempat ini. Dalam hati kami berdoa, semoga genset yang kami pesan dari Medan bisa sampai malam ini.
ADVERTISEMENT
Jam dua siang kami keluar dari lokasi tersebut tapi tidak langsung pulang. Pak Yan mengajak kami untuk meninjau reruntuhan studio dan tower beberapa radio anggota PRSSNI di beberapa lokasi.
Menjelang sore kami kembali ke basecamp di perumahan Bulog. Rombongan kedua yang meninjau kantor Bulog juga sudah pulang. Setelah mandi, kami disambut dengan mi instan rebus, nasi hangat, ikan asin, dan sambal botol. Dalam kondisi normal, harusnya saya bisa nambah dua kali. Tapi kali ini saya kehilangan selera. Gambaran jejeran kantong mayat di sepanjang jalan masih terbayang-bayang, sangat mengganggu selera makan.
Berbekal dua cangkir kopi tubruk dan setengah bungkus rokok, saya dan Candi sama-sama “bengong” di teras depan. Oh ya, saya lupa. Pak Rully akhirnya sampai juga ke Aceh dan bergabung kembali dengan kami, bahkan dia membawa seorang teknisi radio dari Medan untuk membantu.
ADVERTISEMENT
Menjelang tidur kami kembali briefing, malam itu diputuskan bahwa selain menghidupkan radio Megah FM di Blang Padang, pemancar dan peralatan yang kita bawa dari Jakarta tetap akan dioperasikan dari kantor Bulog. Dua radio yang mengudara tentu akan lebih baik dibanding satu. Briefing malam itu sempat bubar sejenak karena rumah yang kami tempati bergoyang keras dihantam gempa susulan. Mau tahu siapa yang paling cepat lompat keluar rumah? Mereka adalah Irwan Hidayat dan Ari Maricar.

Hari Ketiga, 5 Januari 2005

Warga melihat salah satu rumah yang rusak akibat bencana tsunami 26 Desember 2004 di Desa Ulee Lheu, Banda Aceh, Aceh, Selasa (25/12/2018). Foto: ANTARA FOTO/Irwansyah Putra
Pagi itu semua tim tersenyum semringah. Genset 5 KVA made in China kiriman Bulog Sumatera Utara berhasil tiba lewat jalan darat. Setelah mandi, sarapan ala kadar, kami kembali briefing. Tim dibagi dua: tim pertama (Ganjar Suwargani, Suryono Bandaryanto, Ruli, dan saya) bertugas merakit semua peralatan yang dibawa dari Jakarta di kantor Bulog Banda Aceh. Sedangkan tim kedua (Irwan Hidayat, Candi Sinaga, Agus Sutama, Ari Maricar dan Indra Bigwanto) bertugas membawa genset ke Megah FM dan segera menghidupkan radio tersebut.
ADVERTISEMENT
Sementara itu Pak Yan mendapat tugas membeli kayu kaso dan papan untuk membuat titian menuju radio Megah FM. Pak Budi ditugaskan untuk mencari beberapa batang pipa besi ukuran 4-5 inchi yang akan digunakan sebagai tower darurat di rooftop kantor Bulog.
Tak sulit untuk Pak Yan mendapatkan kaso dan papan, sementara Pak Budi gagal mendapatkan pipa besi karena memang sulit mendapat toko besi yang masih buka. Akhirnya sekitar jam 11 siang diputuskan agar Tim Kedua segera berangkat ke Megah FM dengan menggunakan truk sewaan. Setelah semua barang naik ke atas truk, kami segera berangkat. Truk berhenti dulu di kantor Bulog untuk menurunkan Tim Pertama, setelah itu baru perjalanan menuju radio Megah FM dilanjutkan.
ADVERTISEMENT
Saya tidak tahu persis seperti apa tim yang berangkat ke Megah FM bekerja. Saya hanya bisa membayangkan betapa sulitnya membuat jalan darurat dengan menggunakan kayu kaso dan papan. Setelah jalan selesai, baru mereka bisa menggotong genset ke radio Megah FM. Sementara itu Suryono Bandaryanto dan teknisi mulai merakit semua peralatan yang kami bawa dari Jakarta di aula serbaguna kantor Bulog.
Ruang operator seluas 3 X 4 meter kami sulap menjadi studio siaran. Sedangkan pemancar, exiter, IPA, dan audio processor terpasang rapi di sudut ruangan yang sirkulasi udaranya lancar. Seandainya kami punya pipa besi untuk memasang antenna, harusnya kami sudah bisa mengudara dari kantor Bulog ini.
Kira-kira jam tiga sore kami mendapat kabar bahwa tim yang berangkat ke radio Megah FM sudah selesai membuat jalan, memasang genset, dan meng-instal player. Sekarang mereka bersiap-siap untuk menghidupkan pemancar radio Megah FM. Dengan berdebar-debar kami menyalakan salah satu radio kecil yang kami bawa dari Jakarta. Masih signal kosong...beberapa detik kemudian terdengar suara musik tradisional Aceh! Huaaaaa… kami semua bersorak gembira.
ADVERTISEMENT
Akhirnya pada tanggal 5 Januari 2005, kami berhasil mengudarakan kembali radio Megah FM, setelah semua radio di Banda Aceh berhenti mengudara dihantam Tsunami.
Setelah lima belas menit mengudara, tiba-tiba signal radio Megah FM menghilang. Segera Pak Ganjar menghubungi Indra Bigwanto dengan menggunakan telepon satelit. Alamak… susah sekali nyambungnya. Butuh waktu hampir sepuluh menit! Setelah terhubung, Indra melaporkan bahwa genset tiba-tiba mati dan sedang dicoba untuk diperbaiki.
Sudah hampir Magrib, tapi genset masih belum berhasil dihidupkan kembali. Pak Ganjar memutuskan untuk menarik tim yang berada di Megah FM ke kantor Bulog. Mana mungkin memperbaiki genset di tengah gelap gulitanya Blang Padang!
Malam itu semua rombongan berkumpul di kantor Bulog. Karena di kantor bulog ini masih ada air bersih dan listrik, maka diputuskan bahwa kami tidak kembali lagi ke perumahan Bulog. Kami mengutus sopir Bulog untuk mengambil barang-barang yang masih tersisa di perumahan Bulog. Malam itu Agus Sutama dan Suryono Bandaryanto masih mencoba untuk memperbaiki genset yang tiba-tiba mati.
ADVERTISEMENT
Dugaan sementara, kerusakan terjadi karena olinya kurang dan kotor. Sudah hampir jam delapan malam ketika saya mendapat tugas untuk mencari oli. Wah, mau cari ke mana? Mungkin saya tidak akan begitu cemas kalau Pak Yan atau Pak Budi bisa menemani. Problemnya dua orang itu tidak kelihatan batang hidungnya. Akhirnya saya naik mobil keliling Aceh berdua dengan sopir Bulog untuk mencari toko oli atau bengkel yang siapa tahu masih buka.
Sekitar jam sembilan malam, kami berdua berhenti di depan sebuah bengkel. Bengkel itu sudah tutup, tapi lampu depannya masih menyala dan terlihat ada dua orang lelaki dewasa yang duduk di depan. Setelah mengucapkan salam saya bertanya, apakah bengkel mereka menjual oli untuk genset? Bukannya menjawab, justru mereka balik bertanya, “Anda siapa?”
ADVERTISEMENT
Pintu bengkel dibuka dari dalam, seorang lelaki berselempang sarung keluar dan meminta saya masuk ke dalam bengkel. Yah… capek nih, perasaan saya tidak enak. Di dalam bengkel masih ada beberapa laki-laki dewasa lainnya dan semuanya berselempang sarung. Mereka kembali bertanya, saya siapa?
Akhirnya saya bercerita bahwa saya adalah praktisi radio dari Jakarta yang sedang berusaha menghidupkan kembali siaran radio di Aceh yang lumpuh total setelah tsunami. Saya ceritakan juga tentang usaha kami menghidupkan radio Megah FM yang gagal karena genset mati tiba-tiba, itu sebabnya saya datang ke bengkel ini untuk mendapatkan oli genset.
Entah sengaja atau tidak, selempang sarung salah satu dari mereka melorot, dan… saya melihat senapan tua di balik sarung tersebut. Ampun, Tuhan… anak-anak saya masih kecil, begitu jerit saya dalam hati. Hampir 10 menit mereka menanyai saya sebelum akhirnya salah satu dari mereka mengeluarkan dua kaleng oli yang saya butuhkan. Sebelum keluar bengkel mereka berpesan, agar saya tidak bercerita kepada siapa pun tentang keberadaan mereka.
ADVERTISEMENT
Saya berjalan ke tempat mobil parkir. Lho, kok tidak ada mobilnya? Ternyata sopir memindahkan mobil itu 200 meter dari tempat semula. Waktu saya tanya kenapa dia memindahkan mobil, sopir asal Medan itu menjawab, “Saya takut Bang, makanya mobil saya pindahkan, saya pikir Abang nggak akan keluar lagi dari bengkel itu." Busyet!
Setelah kembali ke basecamp, oli saya serahkan kepada Agus dan Suryono. Sambil memperhatikan mereka berdua mengganti oli genset, dengan berbisik saya menceritakan pengalaman di bengkel tadi kepada Candi Sinaga, Candi cuma diam mendengar cerita saya, dia meminta agar saya tidak perlu menceritakan hal ini kepada rombongan yang lain, biar tidak ribut katanya.
Sebelum tidur, kami briefing lagi. Yono dan Agus melaporkan bahwa genset masih tidak bisa hidup walaupun oli sudah diganti. Pak Ganjar bilang, pokoknya besok kita harus bisa mendapatkan pipa besi untuk dijadikan tower darurat. Sementara itu Pak Ruli sudah meminta kepada orangnya yang ada di Medan untuk mencari tower sederhana dan segera dikirim ke Medan lengkap dengan tukang pasangnya.
ADVERTISEMENT
Malam itu kami tidur berjejer seperti sarden di pojokan aula kantor Bulog. Karpet milik musala Bulog kami gunakan sebagai alas tidur, sedangkan untuk bantalnya terpaksa kami menggunakan beberapa kemasan besar pembalut yang entah datang dari mana.

Hari Keempat, 6 Januari 2005

Gambar kombinasi memperlihatkan seorang perempuan Indonesia menutup hidung saat berjalan melewati jembatan yang dipenuhi mayat dan puing-puing, 31 Desember 2004 (atas), dan perahu nelayan yang duduk di dekat jembatan yang sama, 22 Desember 2024. Foto: REUTERS/Darren Whiteside/Willy Kurniawan
Pagi itu kami bikin sarapan sendiri. Rupanya kemarin sore Pak Budi berhasil mendapatkan kompor minyak tanah, kuali, dan panci. Lumayan, setelah beberapa hari tidak sanggup menelan makanan, pagi itu makan kami cukup “rakus”. Padahal menunya biasa saja, cuma nasi yang rada hangus, mi instan, dan telur dadar campur kornet sapi.
Kabar gembira kami terima dari Pak Yan. Ternyata dia berhasil mendapatkan empat batang pipa besi dengan panjang masing-masing 4 meter. Nanti siang dia akan membawa pipa besi itu ke kantor Bulog. Untuk mengisi kekosongan waktu, setelah sarapan kami memutuskan untuk mengunjungi media center yang yang berlokasi di dekat kantor gubernur.
ADVERTISEMENT
Menjelang sore kami kembali ke kantor Bulog. Ternyata Pak Yan dan anak buahnya yang bernama Misran sudah datang lebih dulu membawa pipa besi. Pipa besi tersebut kami posisikan di atas aula serbaguna Bulog dengan menggunakan klem yang berbentuk huruf U. Karena tingginya yang terbatas, maka tidak semua antenna yang kami bawa dari Jakarta bisa dipasang.
Tower darurat sudah berdiri, antenna sudah terpasang, coax yang menghubungkan antenna dengan pemancar juga sudah terkoneksi. Akhirnya bertepatan dengan masuknya waktu Maghrib, Radio Suara Aceh “Radio Darurat Pasca Bencana” mengudara di frekuensi 99 FM. Perlahan Candi Sinaga memegang microphone dan mulai berbicara,
ADVERTISEMENT
Sudah selesaikah tugas kami? Belum, ini baru permulaan! Kami masih harus membagikan 5.600 radio receiver kepada relawan dan tenda-tenda pengungsi, kami masih harus menyusun program, merekrut penyiar dan reporter, serta harus menjalin kerjasama dengan banyak pihak yang memiliki tujuan sama.
ADVERTISEMENT