Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.0
Konten dari Pengguna
Utopia Idealisme dan Bakpia Nepotisme
7 Februari 2023 5:56 WIB
·
waktu baca 12 menitTulisan dari Muhammad Rafly tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Sejumlah elemen mahasiswa, aktivis, hingga buruh yang tergabung dalam Komite Rakyat Lawan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KRL-KKN) menggelar aksi nasional di kompleks parlemen, Jakarta Pusat, pada Kamis (19/5/2022). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/0180dbc6f04bb591aa6a24434638f5f8.jpg)
ADVERTISEMENT
Suatu hari, di tengah pergantian tahun. Siswa yang telah menamatkan pendidikan tingkat menengah—dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi—memasuki kehidupan baru yakni menyiapkan diri mengemban status mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Berbekal dengan pendidikan yang kaku, tabu. Ia memahami secara sistematis, teratur, rumus matematika, kimia, fisika. Karena kebetulan ia merupakan anak IPA bukan IPS. Sehingga membuat ia menjadi bintang kelas, mendapat predikat dan rekognisi dari guru dan teman teman, baik secara sosial maupun administratif.
Sesampainya terbit pendaftaran SBMPTN (seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri), pancaran semangat yang sangat menggebu-gebu ia lampiaskan demi menyambut masa depan yang cerah. Ia percaya dengan melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dan di kampus yang unggul secara akreditasi menghantarkan ia menuju kesuksesan. Alhasil terbit pengumuman ia diterima di PTN favorit yang ia dambakan sejak menduduki bangku sekolah menengah.
Di sinilah kehidupan baru dimulai. Prosesi pengaderan yang tak kunjung selesai. Beban moril yang dihibahkan secara individual, kemampuan manajemen mulai rancu, dan tingkat kepanikan di ambang batas karena ultimatum mulai mengeras.
ADVERTISEMENT
Ia mematuhi segala perintah dari senior yang dalam hal ini asisten nya disalah satu mata kuliah yang ia program. Ia takut jika tak patuh, maka nilainya akan diancam dan dilaporkan ke dosen pengampu mata kuliah. Disiplin masuk tepat waktu dengan seragam yang rapi dan perlengkapan yang lengkap untuk siap mendengar ocehan yang diterima secara individual per individual.
Praktik yang berkelanjutan ini diluar kesadaran pembinaan dan prosesi pengaderan menghasilkan output kader yang berani memberontak, selagi ia logis dan rasional. Ia yakin bahwa selama ini ocehan yang diberi adalah motif manifestasi hasrat dan hawa nafsu belaka. Tak sesuai prosedur akademis, profesionalis.
Persoalan hegemoni minoritas sangat kental ia rasakan. Mayoritas yang ia miliki dalam hal ini kawan sebaya hanya sebagai bayangan, yang diam, takut, dan tak berdaya bagaikan patung. Ya kenyataannya pola pikir yang dimiliki manusia semenjak menginjakkan kaki memasuki institusi: awam, polos, manut, patuh, mudah teprovokasi dan agitasi oleh pemilik otoritas. Itulah konkretnya sebuah kemurnian akan ketidaktahuan.
ADVERTISEMENT
Ia merefleksikan secara lampau pemahaman matematika, kimia, dan fisikanya kian terdistorsi disebabkan kehidupan baru yang merekonstruksi kembali pengetahuan dan lingkungan sekitarnya. Nihil dan sadness.
Katanya menjadi mahasiswa harus menjadi representasi warga sipil, senantiasa mengawal penyimpangan sosial-politik, fokus menyikapi isu-isu berkembang. Bahkan dibuatkan klasifikasi tipologi agent of change, social of control, iron stock serta guardian of value. Haha...
Sedikit lucu. Padahal menurut Prof Ali Muhammad Al-Audah, bahkan Rasulullah yang menerima wahyu dari Tuhan untuk mendakwahkan kebenaran dalam mencapai kabapibilitas sosok agent of change gagal.
Awalnya memang orang Makkah mencintai Rasulullah. Tapi waktu diangkat menjadi nabi, penduduk makkah dengan sebaliknya berbalik menjadi musuh yang merintangi. Maka dari itu mulai perjalanan panjang transisi Makkah-Madinah dengan membawa kaum Muhajirin dipertemukan dengan kaum Anshar.
ADVERTISEMENT
Ya, Walaupun seorang antrofisikawan Yahudi Michael Hart menulis dalam buku "The 100: A Ranking of the Most Influential People in History" yang diterbitkan pada tahun 1978. Hart menempatkan Nabi Muhammad di peringkat pertama.
Menurutnya, Muhammad berhasil menyebabkan perang-perang penaklukkan yang dilancarkan oleh orang-orang Arab dengan efek yang masih bertahan hingga sekarang. Berbeda dengan Jenghis Khan, yang walaupun penaklukannya lebih luas dibandingkan dengan yang dilakukan pengikut Muhammad akan tetapi pengaruhnya tidak berlangsung lama.
Ia juga memberikan kredit kepada Muhammad sebagai "pengarang" Al-Qur'an yang berperan langsung dalam pengembangan Islam, tidak seperti Yesus pada urutan ke-3 yang walaupun Kristen memiliki penganut lebih banyak, namun ia tidak memiliki peran langsung yang signifikan dalam pengembangan teologi Kristen, yang peran tersebut menurut Hart lebih dipegang oleh Paulus dari Tarsus (Hart, 1992:9).
ADVERTISEMENT
Menjadi Mahasiswa, Kapan Kita Dianggap Idealis?
Lantas kepada siapa bentuk fungsi dan peran mahasiswa ia hibahkan? Apakah kepada bangsa dan negara? Toh bangsa didefinisikan oleh sejawaran Benedict Anderson adalah komunitas terbayang (khayal), sejalan dengan Paul James bangsa adalah komunitas abstrak. Pun negara dalam perspektif Thomas Hobbes di diibaratkan sebagai monster mitologi yang menakutkan.
Ketahuilah bahwa Idealis adalah sifat yang ada pada seseorang yang memiliki pikiran tentang dunia yang ideal menurutnya. Meskipun sering dinilai naif dan tidak realistis, sifat tersebut nyatanya bisa memberikan banyak manfaat, mulai dari membantu orang lain menjadi lebih baik hingga bisa memberikan solusi yang inovatif.
Filsafat idealisme sendiri berasal dari Plato, yaitu filsuf Yunani yang hidup pada tahun 427-347 SM. Plato percaya bahwa dunia fisik di sekitar manusia tidaklah nyata. Dunia akan terus berubah dan karenanya kamu tidak pernah bisa mengatakan apa yang sebenarnya. Platonisme ini pun sudah menjadi filsafat yang sangat berpengaruh selama berabad-abad.
ADVERTISEMENT
Idealis adalah seseorang yang membayangkan dunia ideal daripada dunia nyata. Akar utama idealis adalah "ideal" yang berasal dari kata dalam bahasa latin "idea". Menurut mereka yang memiliki sifat ini, setiap orang seharusnya bertindak demi kepentingan terbaik kelompok.
Idealnya, semua orang akan setuju dengan pendapat mereka. Namun, kenyataannya banyak orang bertindak untuk kepentingan diri sendiri. Beberapa orang menganggap orang dengan sifat ini naif, tidak praktis, dan jauh dari kenyataan.
Thomas Hobbes menganggap bahwa keadaan alamiah manusia adalah kekacauan. Sifat egoistis dan antisosial adalah sifat alamiah manusia. Hobbes mengibaratkan keadaan alamiah manusia sebagai bellum omnium contra omnes atau perang semua melawan semua.
Lebih lanjut, Hobbes mengibaratkan hubungan sosial manusia adalah saling tikam dan serang untuk memperebutkan sumber daya sebagai homo homini lupus atau manusia adalah serigala bagi sesamanya.
ADVERTISEMENT
Kira-kira tak salah jika paradoknya mahasiswa yang memiliki label Maha pada dirinya dapat diterapkan oleh perkataan Hobbes, mereka hanya berlaku momentuman atas nama kepentingan dan keuntungan. Karena hasrat ego adalah keniscayaan alamiah. Sejalan ketika ia meminjam teori solidaritas mekanik dan solidaritas organik Emile Durkheim.
Dalam solidaritas mekanik, masyarakat diikat oleh sebuah konsep bernama kesadaran kolektif, atau "seluruh kepercayaan dan perasaan bersama disatukan, yang dianggap umum dalam sebuah masyarakat". Kejahatan dalam solidaritas mekanik, didefinisikan sebagai tindakan yang mencederai kesadaran kolektif tersebut.
Contoh sederhananya keluarga. Berbeda dengan solidaritas organik yang diikat oleh kesamaan dalam bentuk kesadaran kolektif, solidaritas organik justru diikat oleh perbedaan dalam bentuk pembagian kerja.
Dalam solidaritas organik, setiap orang memiliki tugas yang spesifik, dan saling bergantung antara satu dengan lainnya. Jadi sah-sah saja ketika kesadaran kolektif sifatnya fluktuatif tidak tetap, Inilah Mahasiswa dalam percontohannya.
ADVERTISEMENT
Jadi, apa yang disaksikan dalam sejumlah bukti dunia ideal ini. Salah satu contohnya adalah konsep geometri, seperti konsep lingkaran, yaitu garis yang berjarak sama dari suatu titik adalah sesuatu yang bertentangan di dunia fisik.
Sama halnya apa yang ada dalam pikiran satu orang tak bisa dikolektifkan ke semua orang, dunia realitas. Lingkaran menurut saya adalah kepala dan lingkaran menurut Anda adalah bola.
Semua lingkaran fisik seperti roda, gambar bulat, bola, kepala, dan lain-lain tidak bulat sempurna. Namun, pikiran manusia bisa memiliki konsep lingkaran yang sempurna. Konsep ini tidak dapat berasal dari dunia fisik, ia harus berasal dari dunia ideal.
Yang menjadi pertanyaan besar bersama dari mana seseorang bisa mendapatkan gagasan tentang kesempurnaan moral. Karena itu tidak bisa diperoleh dari dunia sekitar, ia pasti berasal dari dunia ideal yang sifatnya subjektif.
ADVERTISEMENT
Nah, suburnya pemikiran idealisme Mahasiswa menjadi tantangan kepada kehidupan selanjutnya, atas nama karier, profesi, prospek. Kadang, menggoyahkan sosok-sosok idealis karena kekurangan pada idealisme adalah hanya tinggal dalam alam idea, tetapi di realitas sangat sulit ditebak atau nampak.
Katakanlah Usman Bin Affan, yang dikenal sebagai idealis saudagar yang kaya-raya dan dermawan yang senantiasa menyumbangkan hartanya ke kas negara (Baitul Mal). Tetapi masa pemerintahan Usman bin Affan yang semula harum itu, berakhir tragis.
Enam tahun kedua masa pemerintahannya diwarnai dengan berbagai pemberontakan, yang berakhir dengan terbunuhnya sang Khalifah. Tragedi ini berawal dari kecenderungan Usman yang sangat nepotis. Pejabat-pejabat tinggi negara yang diangkatnya, umumnya adalah anggota keluarga, kerabat dan sahabat dekat Khalifah.
ADVERTISEMENT
Diawali dengan pengangkatan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, sepupunya, menjadi Gubernur Mesir. Belakangan, Mu’awiyah tercatat sebagai pendiri Dinasti Bani Umayyah.
Praktik nepotisme yang dirintis Usman bin Affan inilah yang selanjutnya membuat dunia Islam terpecah-belah, baik secara politik maupun ideologi. Kekuasaan Islam berpindah-pindah tangan dari satu dinasti ke dinasti lainnya.
Selain Bani Umayyah, kita juga mengenal Dinasti Abbassiyah hingga Dinasti Usmaniyah. Dan, dari segi ideologi, di akhir pemerintahan Usman bin Affan pulalah, perseteruan antara Sunni (Ahli Sunnah Waljama’ah) dengan Syi’ah (pengikut Ali bin Abi Thalib) bermula.
Perseteruan antara Sunni dengan Syi’ah, berawal dari pembangkangan Gubernur Mesir, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, yang tidak mau mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (khalifah keempat dan terakhir Khulafaur Rasyidin, pengganti Usman bin Affan).
ADVERTISEMENT
Mu’awiyah, yang merupakan kerabat dekat Usman bin Affan itu, mendaulat dirinya sendiri menjadi Khalifah, dan menyatakan perang terhadap Ali bin Abi Thalib. Keluarga Ali dikejar-kejar, hingga kemudian dibantai di Padang Karbala, Irak, oleh Yazid bin Mu’awiyah.
Cuplikan sejarah Khulafaur Rasyidin ini saya cuplik, untuk sekadar mengingatkan bahwa praktik nepotisme yang keterlaluan, bisa berakibat fatal dan bahkan bisa membuat sejarah suatu bangsa dipenuhi lembaran-lembaran hitam di hari kemudian.
Celakanya, praktik nepotisme ini justru semakin marak di dunia perpolitikan Indonesia sekarang. Amanat reformasi, yang di antaranya berupa upaya pemberantasan nepotisme (di samping korupsi dan kolusi) tampaknya kandas di tengah jalan.
Bukan rahasia lagi bahwa tak sedikit nama calon anggota legislatif diberbagai Pemilu, mempunyai kaitan keluarga, kerabat, atau sahabat dekat dengan para pimpinan partai, dan bahkan dengan para pejabat tinggi negara. Itu di tingkat pusat. Begitu pula di daerah. Sebagai contoh, ada sebuah kabupaten yang bertetangga dekat dengan Jakarta, yang bupati dan ketua DPRD-nya adalah bapak dan anak.
ADVERTISEMENT
Realitas Nepotisme dalam Era Kontemporer
Praktik nepotisme yakni kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak-saudara sendiri, terutama di jabatan di lingkungan pemerintah, mendapat sorotan tajam akhir-akhir ini. Keserakahan meraih kekayaan secara instan sering mewarnai motivasi terjadinya nepotisme.
Selain faktor biaya politik yang tinggi. Untuk mencapainya sering dibarengi keserakahan untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Bagi para nepotis, meraih dan mempertahankan kekuasaan lebih untuk memperkaya diri dan sanak saudaranya
Yang sering tumbuh subur sekarang ini justru pola pikir nepotis. Konsep, kebijakan dan programnya mentereng, tetapi dalam penerapannya ditunggangi secara kental kepentingan nepotis yang mengutamakan dan menguntungkan istri, anak, dan sanak saudara sendiri.
Praktik nepotis ini sering tidak terlihat secara kasat mata karena kerap terselubung. Tetapi, begitu ada pihak yang mengungkapkan praktik nepotismenya, pengusik dianggap sebagai perongrong kekuasaannya sehingga harus ditempatkan tak ubahnya musuh.
ADVERTISEMENT
Pola pikir nepotis bukan hanya bermotivasi untuk meraup rezeki sebanyak-banyaknya di kalangan dirinya, istri, anak, dan sanak saudaranya, tetapi juga dalam hal melahirkan sistem kekuasaan dinasti. Jika dirinya tidak berkesempatan memperpanjang masa kekuasaannya, disiapkan calon penggantinya dari kalangan keluarganya.
Jika terpilih, tugas penerusnya antara lain menjadi tameng dosa dan dusta yang telah dilakukannya termasuk praktik nepotisme yang telah diterapkan. Sebab, sering terjadi public figure, baru diseret dalam kasus pelanggaran setelah mereka tidak lagi memegang jabatan.
Di Korea Selatan, Nepotisme juga merupakan perbuatan melanggar hukum. Jauh sebelum kasus yang melibatkan Presiden Perempuan Korsel tersebut, pada tahun 2010 semasa Presiden Lee Myungbak, Menteri Luar Negeri Korsel waktu itu Yu Myunghwan, mengundurkan diri jabatannya karena ketahuan melakukan nepotisme dengan mengangkat putrinya menduduki posisi strategis di Kementerian yang dia pimpin.
ADVERTISEMENT
Apa yang terjadi di Korea Selatan saat ini mau tidak mau mengingatkan kita pada gerakan reformasi 1998 yang memaksa Presiden Soeharto mengakhiri kekuasaannya setelah 32 tahun! Dimana salah satu pemicu gelombang reformasi tersebut adalah adanya tuduhan Nepotisme terhadap Presiden Soeharto.
Nepotisme yang dilakukan Presiden Soeharto tidak pernah tersentuh hukum. Dan yang mutakhir adalah nepotisme yang dilakukan oleh Ratu Atut Chosiyah di Banten. Kejahatan nepotisme yang dilakukan keluarga Atut tidak ubahnya dengan keluarga Suharto di mana seluruh anak-anak Suharto dan istrinya menjadi anggota DPR, di samping merangkap sebagai pengusaha kakap.
Ratu Atut Chosiyah "hanya" dituntut Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena perbuatan korupsi yang dilakukan secara, terstruktur, sistematis, dan massif atau disingkat TSM. Ratu Atut Chosiyah menguasai elite-elite birokrasi di pemerintahan dan elite-elite politik di Banten sehingga dia bisa dengan mudah mengatur dan menguasai semua proyek yang ada.
ADVERTISEMENT
Kini kejahatan nepotisme seperti itu terus bermunculan, terutama dalam pengangkatan pejabat birokrasi dan penunjukan pelaksana proyek-proyek setelah berlangsungnya pemilihan kepala daerah (pilkada). Ada candaan yang sering terdengar, “setelah pilkada semua pejabat sampai ajudan bahkan sopir akan berganti, begitu pula rekanan penyedia/pelaksana proyek”.
Walau telah dibungkus sistem dan prosedur “kompetisi,” tetap saja dengan mata awam sekalipun terlihat bahwa yang terpilih, diangkat atau di tunjuk itu adalah para keluarga, kerabat atau teman-teman nya. Orang-orang yang lebih berkualitas dan memiliki kompetensi telah duluan tersingkir, tidak diberi kesempatan untuk berkompetisi menunjukkan ilmu dan keahlian nya.
Nepotisme sangat kentara terjadi pada birokrasi pemerintahan daerah sekaligus terkait dengan pemilihan kepala kaerah (pilkada) adalah dengan adanya gelombang mutasi pejabat aparatur sipil negera (ASN) antar daerah.
ADVERTISEMENT
Ketika jagoannya kalah dalam Pilkada maka mereka segera mengajukan permohonan pindah ke daerah yang kepala daerahnya mempunyai "hubungan kekerabatan" dengannya. Dan lima tahun kemudian mereka akan kembali ke daerah tersebut jika yang menang adalah jagoan mereka.
Petualang-petualang jabatan yang mengandalkan nepotisme tersebut dapat dilihat pada pelantikan pejabat ASN setelah pilkada. Pada daerah tersebut juga akan mudah terlihat siapa yang orang dekat dan tidak dengan kepala daerah.
Berkembangnya praktik Nepotisme membuat ASN terpaksa ikut berpolitik dukung-mendukung calon kepala daerah dengan motif imbalan jabatan. Walau secara kualitas ASN itu sesungguhnya memiliki pendidikan, kualifikasi dan keahlian memadai untuk berkompetisi secara fair dalam menduduki jabatan.
Tetapi adanya praktik nepotisme itulah yang membuat mereka pada akhirnya "terpaksa" ikut berpolitik, atau paling tidak mencari orang dekat/tangan kanan Kepala Daerah untuk mengamankan jalan menuju menduduki jabatan tertentu.
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana caranya agar nepotisme tidak terus terjadi? Sesungguhnya momentum itu telah terjadi pada tahun 1998 dengan adanya tuntutan penghapusan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Bahkan masalah pemberantasan dan pencegahan KKN telah ditetapkan oleh MPR sebagai salah satu agenda reformasi, tetapi belum menunjukkan hasil sebagaimana pemberantasan korupsi.
Oleh karenanya perlu dilakukan kampanye memerangi nepotisme. Peran dan fungsi mahasiswa mesti diletakkan di sini. Bukan sebagai pemandu sorak ataupun secara formal hanya mengikuti ritme pergerakan secara umum di seluruh kalangan aktivis tanpa mengetahui tujuan dan pemenuhan citra di media sosial.
Selain itu mengekspos ke publik betapa destruktifnya praktik Nepotisme jika terus terjadi dan rakyat diminta untuk bersikap kritis terhadap praktik-praktik nepotisme yang terjadi seperti halnya yang terjadi di Korea Selatan.
ADVERTISEMENT
Nepotisme harus diperangi sebagaimana halnya perang melawan korupsi yang telah dilakukan presiden-presiden setelah era reformasi. Megawati memerangi korupsi dengan membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di era pemerintahannya.
SBY memerangi korupsi dengan dengan slogan "katakan TIDAK pada korupsi" dan "saya akan berdiri paling depan menghunus pedang melawan korupsi". Joko Widodo memerangi korupsi dengan memberantas pungli, bahkan "bukan hanya Rp 500 ribu atau Rp 1 juta, urusan sepuluh ribu rupiah pun akan saya urus!"