Tentang Ketidakramahan Orang-Orang Hanoi

Konten dari Pengguna
18 Oktober 2018 15:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Rezky Agustyananto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tentang Ketidakramahan Orang-Orang Hanoi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Ibu-ibu yang berdiri di balik panci-panci berisi kuah panas ini sepertinya tidak mengerti bahasa Inggris yang saya ucapkan. Ia membiarkan yang lain menyerobot antrian, untuk memesan semangkuk besar pho panas. Ketika tak ada yang lain, barulah saya dilayani.
ADVERTISEMENT
“Fifty!” katanya, lalu menunjuk-nunjuk menu yang ada di dinding. 50.000 dong, menu yang paling mahal di sana. Saya tidak tahu apa bedanya dengan menu lain yang harganya 40.000 dan 30.000 dong.
Pasrah, saya keluarkan 50.000 dong dari dompet. Si ibu lalu menyuruh anaknya (atau pekerjanya) memberikan semangkuk besar pho dengan daging sapi pada saya, yang kemudian membawanya cepat-cepat ke satu meja yang baru saja ditinggalkan pengunjung yang lain.
Tidak ada senyum yang diberikan oleh si ibu atau anaknya (atau mungkin pekerjanya) selama beberapa menit interaksi pendek tadi. Tapi ternyata itu bukan hal yang aneh dalam perjalanan saya di Hanoi. Hal yang sama juga saya alami saat makan atau membeli sesuatu di tempat lain.
ADVERTISEMENT
Padahal, itu adalah hari pertama saya di Hanoi, dan sungguh kesan pertama yang buruk.
Tentang Ketidakramahan Orang-Orang Hanoi (1)
zoom-in-whitePerbesar
Sebetulnya, tidak ada yang salah dari sikap sang ibu, atau pelayan dan pemilik toko yang lain yang saya kunjungi. Mereka tidak kasar, ketus, atau tak sopan. Hanya saja, tidak ada senyum dari wajah mereka.
Salahkah saya, sebagai orang asing di negeri orang, mengharapkan senyum dari orang-orang lokal?
Ini bukan kali pertama saya ke Vietnam. Lima tahun yang lalu, saya bersama dua teman mengunjungi Ho Chi Minh City dan Da Lat, dua kota di Vietnam bagian selatan, dalam perjalanan jalur darat kami melintasi empat negara. Pengalaman yang saya alami dalam dua perjalanan ke dua kota di selatan itu sangat menyenangkan. Sampai-sampai jika ada yang bertanya negara mana yang ingin saya kunjungi kembali di ASEAN, saya akan selalu menyebut Vietnam.
ADVERTISEMENT
Makanan yang enak dan orang-orangnya yang ramah membuat saya selalu ingin kembali. Terutama untuk pho-nya yang luar biasa. Sayangnya, kini, setelah akhirnya benar-benar kembali, pengalaman yang saya dapatkan justru sebaliknya.
Tetapi bahwa saya berada di Hanoi, yang terletak di Vietnam bagian utara, membuat saya menduga: jangan-jangan, orang-orang Vietnam utara dengan Vietnam selatan memang memiliki perbedaan yang besar. Awalnya, saya mengira ini karena utara memang lebih dulu dicengkram komunisme ketimbang selatan, tetapi kondisinya ternyata lebih kompleks daripada itu.
Menurut Cameron Shingleton, salah satu pendiri Melbourne School of Continental Philosophy yang bertahun-tahun tinggal di Vietnam, memang ada perbedaan yang mendasar antara orang-orang Vietnam selatan dan utara dalam menghadapi orang-orang asing.
Tentang Ketidakramahan Orang-Orang Hanoi (2)
zoom-in-whitePerbesar
Dalam blognya, Cameron bercerita bahwa karakteristik orang-orang Vietnam bisa dilihat dari cara hidup orang-orang di desanya. Desa-desa di Vietnam utara, umumnya, sangat tertutup dari hal-hal asing dan baru dan rasa puas yang berlebihan atas tradisi dan adatnya sendiri. Ini berbeda dengan desa-desa di selatan, yang lebih terbuka; bahkan, Cameron menggambarkan hubungan antar penduduknya lebih cair, dan lebih terbuka menerima hal-hal di luar mereka.
ADVERTISEMENT
Belum lagi faktor orang-orang di selatan menggantungkan hidupnya pada bisnis, ketimbang orang-orang utara yang lebih tradisional. Bergelut di dunia bisnis membuat orang-orang selatan lebih terbiasa bertemu orang-orang baru dan asing, dan itulah mengapa, kultur di sana lebih ramah pada turis ketimbang orang-orang di utara.
Ini saya rasakan sendiri di Da Lat, misalnya, yang walaupun masuk dalam wilayah Central Highlands di Vietnam Tengah, namun punya kedekatan geografis dengan Vietnam Selatan. Resepsionis hotel yang sangat ramah di sana membuat saya dan teman-teman akrab dengannya. Begitu akrab hingga dua tahun setelah kunjungan saya ke Da Lat, ia masih menyapa saya di Facebook untuk memberitahu bahwa ia sekarang membuka hotel sendiri di kotanya.
Pun demikian dengan orang-orang Ho Chi Minh. Pengalaman pertama saya makan pho di pinggir jalanan Saigon di hari pertama saya di sana, lima tahun yang lalu, jauh lebih baik daripada pengalaman makan pho di hari pertama saya di Hanoi, satu bulan yang lalu.
ADVERTISEMENT
Apalagi, pho yang saya datangi di Hanoi itu ternyata tidak enak.