Konten dari Pengguna

Evolusi Hukum Keluarga di Indonesia: Dari Masa ke Masa

Muhammad Ribtul
Mahasiswa, Hukum Keluarga, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5 November 2024 17:41 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Ribtul tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perkembangan Hukum (sumber: https://www.istockphoto.com/id/vektor/hukum-internet-tentang-latar-belakang-buram-biru-tua-gm1432744184-474889981)
zoom-in-whitePerbesar
Perkembangan Hukum (sumber: https://www.istockphoto.com/id/vektor/hukum-internet-tentang-latar-belakang-buram-biru-tua-gm1432744184-474889981)
Dahulu di Indonesia pernah berdiri kerajaan-kerajaan Hindu yang mempunyai pengaruh di pulau Jawa, Sumatera dan Bali, Pada zaman Majapahit hukum adat mendapat perhatian berkat usaha Mahapatih Gajah Mada, diantara usaha yang dilakukan patih Gajah Mada yaitu: membagi bidang bidang tugas pemerintahan dan keamanan negara. Misalnya tentang perkawinan, peralihan kekuasaan, ketentaraan Negara. Keputusan pengadilan pada masa itu disebut: Jayasong (Jayapatra), Gajahmada mengeluarkan suatu kitab UU, yaitu: “Kitab Hukum Gajah Mada”.
ADVERTISEMENT
Setelah kerajaan-kerajan bercorak Hindu dan Budha tersebut runtuh, kemudian di Nusantara berdiri kerajaan-kerajaan bercorak Islam. Agama Islam masuk ke bumi Nusantara ini secara damai pada abad ke – 7 masehi atau bertepatan dengan abad ke- 1 hijriah, ada juga yang berpendapat pada tahun ke-30 hijriah atau bertepatan dengan tahun 650 masehi. Ketika wilayah Nusantara dikusai oleh para sultan, hukum Islam diberlakukan di dalam wilayah kekuasaanya dan sultan sendiri sebagai penanggung jawabnya. Sultan berperan aktif sebagai penata agama Islam dengan cara mengangkat penghulu sebagai qadhi syariah dan pemberi fatwa-fatwa agama. Manifestasi dari ketentuan ini dapat dilihat dari bentuk pemerintahan pada waktu itu, yaitu adanya alun-alun yang dikelilingi oleh pendopo kabupaten, Masjid Agung dan Lembaga Pemasyarakatan.
ADVERTISEMENT
Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasai di Aceh Utara menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i. Kemudian pada abad ke 15 dan 16 M di pantai utara Jawa, terdapat Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel. Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya yang bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala urusan yang termasuk dalam hukum keluarga/perkawinan. Sementara itu, di bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate, Bima dan lain-lain. Masyarakat Islam di wilayah tersebut diperkirakan juga menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.
Pada masa penjajahan di Indonesia khususnya pada masa Belanda, hukum Islam yang berkembang di Indonesia masih melanjutkan dari perkembangan yang telah ada pada masa kerajaan Islam. Belanda tidak ebgitu menyoroti masalah keagamaan masyarakat Indonesia saat itu. Sikap politik VOC terhadap Islam dipengaruhi oleh kepentingan perdagangan rempah-rempah dan perluasan pasar. Tidak hanya itu, perhatian kompeni terhadap Islam hanya bersifat temporal dan kasuistik, yaitu pada saat muncul alasan untuk mencemaskan pengacau melalui peristiwa keagamaan yang mencolok.
ADVERTISEMENT
Semenjak Belanda datang ke Indonesia melalui VOC pada tahun 1596, kebijakan yang telah ditetapkan oleh sultan-sultan pada masa kerajaan Islam mash dipertahankan, bahkan Belanda menyediakan fasilitas dan kemudahan akan Islam tetap berkembang di Nusantara. Di antaranya adalah dengan menerbitkan buku-buku hukum Islam sebagai pegangan bagi Hakim dalam berperkara di Pengadilan Agama, menerbitkan kitab Al-Muharrar di Semarang, Shiratal Mustaqim karya Nuruddin Ar-Raniry di Aceh (disyarah oleh Syekh Arsyad Al-Banjari di Banjarmasin dengan judul Sabilul al-Muhtadin), dan kitab Sajirat al-Hukmu yangdigunakan oleh Mahkamah Syar’iyyah di Kesultanan Demak, Jepara, Gresik, dan Mataram. Tidak hanya itu, VOC menghimpun hukum Islam yang disebut dengan Compendium Freijer, mengikuti nama penghimpunnya. Kemudian membuat kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar (Bone dan Gowa).
ADVERTISEMENT
Pada masa Orde Lama (1945-1965), Indonesia sudah mempunyai keinginan untuk memiliki Undang-Undang yang mengatur tentang perkawinan, tetapi belum terwujud. Umat Islam saat itu belum mempunyai pedoman dalam kodifikasi hukum perkawinan. Hukum perkawinan yang dipedomani oleh umat Islam masih tersebar dalam beberapa kitab fikih munakahat karya mujtahid dari Timur Tengah seperti imam Syafi’I. Pemahaman umat Islam Indonesia terhadap kitab-kitab fikih munakahat tersebut sering tidak seragam, sehingga muncul kasus-kasus perkawinan seperti misalnya, perkawinan anak-anak, kawin paksa, serta penyalahgunaan hak talak dan poligami.
Pada tahun 1946, Indonesia mengeluarkan Undang-undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, kemudian oleh Pemerintah Darurat RI di Sumatera dinyatakan berlaku juga untuk Sumatera. Dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama No: 4 tahun 1947 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No: 22 Tahun 1946 juga berisi tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur, menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligimi, mengusahakan perdamaian bagi pasangan yang bermasalah, selama masa idah agar PPN mengusahakan pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali. Kemudian pada tahun 1954 melalui undaang-undang No. 32 tahun 1954, UU No. 22 tahun 1946 tersebut dinyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia
ADVERTISEMENT
Pada era reformasi hukum perkawinan mendapat suatu perubahan yang sangat fenomenal dengan diubahnya bunyi pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 oleh Mahkamah Konstitusi. Tepatnya Jumat 17 Februari 2012 Masehi, bertepatan dengan tanggal 24 Rabiul Awal 1433 Hijriah, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang revolusioner sepanjang sejarah MK di Republik ini. Mahfud menilai putusan MK ini sangat penting dan revolusioner.
Faktor penyebab lahirnya KHI (Kompilasi Hukum Islam) tersebut antara lain:
Sejak MK mengetok palu, semua anak yang lahir di luar perkawinan resmi, mempunyai hubungan darah dan perdata dengan ayah mereka. Di luar pernikahan resmi yang dimaksud Mahfud ini termasuk kawin siri, perselingkuhan, dan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan. Periode selanjutnya adalah lahirnya KHI (Kompilasi Hukum Islam) melalui Inpres Nomor 1 tahun 1991. Lahirnya KHI ini adalah sebagai jalan pintas sementara menunggu lahirnya Kitab Undang-Undang Perdata Islam yang lebih permanen.
ADVERTISEMENT
Muhammad Ribtul Fikri
Mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.