Tereduksinya Kebebasan Pers dan Content Creator jika Disahkannya RUU Penyiaran

Muhammad Ridhwan Hanafi
Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Manajemen UIN JKT
Konten dari Pengguna
2 Juni 2024 11:07 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Ridhwan Hanafi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Polemik Imbas RUU Penyiaran
Gambar dibuat oleh pembuat konten menggunakan aplikasi atau software.
Baru-baru ini, Revisi Undang-Undang Penyiaran telah memicu kontroversi yang luas di Indonesia. Berbagai kalangan, termasuk akademisi, aktivis, masyarakat, serta content creator, telah menyuarakan kekhawatirannya terhadap beberapa pasal dalam draf RUU tersebut. Mereka berpendapat bahwa pasal-pasal tersebut dapat mengancam kebebasan pers, membatasi akses informasi publik, menghambat kreativitas konten digital, serta mempersempit ruang demokrasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Salah satu poin kontroversial yang menjadi kekhawatiran adalah pemberian kewenangan yang besar kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Draf revisi UU Penyiaran memberikan KPI kewenangan untuk mencabut izin siaran, menentukan konten yang boleh dan tidak boleh ditayangkan, dan bahkan melakukan pengawasan terhadap platform digital. Kekhawatiran muncul bahwa KPI dapat menyalahgunakan kewenangannya untuk membungkam suara kritis dan kontrol editorial platform digital.
Terkikisnya Kebebasan Pers
Kekhawatiran ini salah satunya timbul dari beberapa ketentuan dalam RUU Penyiaran, khususnya pada Pasal 50 B Ayat (2) huruf c yang menyatakan bahwa Standar Isi Siaran (SIS) melarang penayangan eksklusif hasil produk jurnalistik investigasi. Ketentuan ini memicu polemik publik. Masyarakat berpendapat bahwa larangan tersebut berpotensi membatasi akses publik terhadap informasi penting, melemahkan jurnalisme investigasi, dan melanggar kebebasan pers.
ADVERTISEMENT
Isi Pasal 50 B ayat(2) huruf c juga dinilai kontradiksi dengan Pasal 4 huruf q UU Pers yang dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada lagi ruang penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan karya jurnalistik. Hal ini termasuk liputan jurnalisme investigasi, yang merupakan elemen penting dalam demokrasi dan berfungsi untuk mengungkap fakta, memerangi korupsi, dan melindungi kepentingan publik.
Padahal dengan jelas dinyatakan pada UU Nomor 40 tahun 1999 tentang pers, bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu bentuk kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Terancamnya Content Creator
Selain mengancam kebebasan pers, RUU Penyiaran juga dianggap akan berdampak pada industri kreatif, terutama content creator. Menurut Pasal 34F ayat (2) huruf e, penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau teknologi penyiaran lainnya wajib memverifikasi konten siaran mereka ke KPI sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Isi Siaran (SIS).
ADVERTISEMENT
Content creator yang ingin mengupload kontennya harus memverifikasi kontennya terlebih dahulu ke KPI, baik itu Youtube, TikTok, atau media berbasis user generated content (UGC) lainnya. hal ini menimbulkan beberapa kekhawatiran, seperti :
1. Ketidakpastian dan Penundaan
Proses verifikasi dikhawatirkan dapat memakan waktu lama dan menimbulkan ketidakpastian bagi para content creator. Hal ini dapat menunda publikasi karya dan merugikan mereka untuk mendapatkan audience.
2. Pembatasan Kreativitas
Content creator tentunya berhak menentukan konten yang ingin mereka buat dan bagikan. Kewajiban verifikasi dikhawatirkan dapat membatasi kreativitas dan kebebasan berekspresi mereka.
3. Potensi Penyalahgunaan
Kekhawatiran muncul bahwa KPI dapat menyalahgunakan kewenangannya untuk membungkam kritik dan konten yang tidak sesuai dengan pandangan mereka.
4. Pengurangan Pendapatan
ADVERTISEMENT
Ketentuan verifikasi konten ini dapat berdampak langsung pada pendapatan content creator. Proses verifikasi yang panjang bisa membuat content creator kehilangan momentum dan audiens, yang berujung pada penurunan pendapatan. Mereka yang bergantung pada pendapatan dari konten digital mungkin akan mengalami kesulitan finansial.
Derasnya kritik dari masyarakat sipil dan para jurnalis akhirnya membuat DPR mulai mempertimbangkan kembali pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
"Tentu bukan hanya sekedar ditunda, tapi di-take-down pasal-pasal yang memberangus kemerdekaan pers, di antaranya Pasal 8A dan 42 tentang kewenangan KPI terkait penyelesaian sengketa jurnalistik, serta pasal 50B terkait larangan jurnalisme investigasi," kata Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers, Yadi Hendriana, pada hari Selasa (28/5/2024).
ADVERTISEMENT