Konten dari Pengguna

2 Lagu Nosstress yang Mewakili Hidupku Kini!

Muhammad Ridwan Tri Wibowo
Mahasiswa PBSI UNJ 2022
9 Januari 2025 20:12 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Ridwan Tri Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi konser musik (Pixabay/thekaleidoscope).
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi konser musik (Pixabay/thekaleidoscope).
Apa yang terbayang di kepalamu ketika mendengar kata “Nosstress”? Apakah kamu membayangkan band indie bergenre Folk yang selalu mengisi hari-hari kamu di masa remaja? Apakah kamu membayangkan dirimu dulu merasa keren kala itu ketika menyanyikan lagu-lagunya di depan teman tongkronganmu?
ADVERTISEMENT
Apakah begitu? Kalau kamu membayangkan hal yang lain, itu juga tidak apa-apa. Bukankah memang pengalaman seseorang berbeda-beda, kan? Saat aku remaja, sekitar tahun 2017 sampai tahun 2020-an awal, lagu-lagu Nosstress nge-trend di kalangan pelajar di daerah Jakarta Selatan dan Tangerang Selatan.
Nah, di masa-masa itu, aku dan teman-temanku ku suka sekali menyanyikan lagu-lagu Nosstress. Entah sambil gitaran atau cukup menyetel dari Joox/Spotify. Waktu itu, kami bernyanyi, ya, bernyanyi saja. Hanya sebatas keren-kerenan, tanpa ada dorongan untuk mendalami makna dalam lirik lagu tersebut.
Barulah, ketika aku beranjak dewasa, aku baru mengerti makna lagu tersebut, terlebih-lebih untuk lagu “Semoga, Ya” dan “Tumbuh”, Dua lagu tersebut benar-benar related dengan kehidupanku kini!

Semoga, Ya

Ilustrasi orang mengharap (Pixabay/Pexels).
Ini lagu paling related bagi kehidupanku sekarang. Aku adalah orang yang sangat malas dan benci kerja keras, tapi sering menuntut “ini-itu” pada kehidupan. Dan, kalau misalnya kalau apa yang kutuntut itu tidak kudapatkan, aku sering kali marah pada keadaan bukan mengintrospeksi diriku sendiri.
ADVERTISEMENT
Nah, beberapa lirik dari lagu ini menyentil tenggorokanku hingga aku tersedak.
Jujur saja, setiap malam aku selalu menyesali kemalasanku. Setiap malam, aku selalu berharap semoga esok aku bisa berubah lebih baik. Momen ini selalu aku rasakan ketika aku ingin bergegas tidur, kadang malah membuatku tak bisa tidur.
Namun, itu hanya harapanku saja. Kenyataannya, aku selalu mengulang kemalasanku di setiap harinya, dan menyesal di setiap malamnya. Sangking aku sering memikirkannya, aku sampai lupa untuk melakukan aksi nyata akan hal baik yang aku pikirkan.
Setelah bangun siang hari, aku mendadak lupa dan bego. Akhirnya itu semua cuma jadi “resolusi tanpa aksi”.
ADVERTISEMENT
Secara harfiah, aku saja sudah gagal untuk mengaplikasikan lirik di atas. Bangun lebih dini masih menjadi kendala dalam hidupku. Semakin bertambahnya umur, aku malah keseringan bangun pas-pasan yang akhirnya berujung-ujung dengan buru-buru. Dengan keadaan buru-buru ini, apa yang aku siapkan?
Meditasi 15 menit? 1 menit saja boro-boro ada waktu. Belakangan ini, aku jarang sekali sarapan sebelum pergi dari rumah. Kadang minum segelas air putih saja aku tidak kepikiran. Ya, begitulah kehidupanku kini.
“Tapi kenyataannya
Ku masih hanya menunggu”
Sampai tulisan ini dibuat, belum ada aksinya benar-benar aku terapkan untuk mengusir kemalasanku. Ternyata berbenah diri bukanlah hal yang mudah. Ternyata semua itu perlu kedisiplinan. Dan, sifat disiplin itu memerlukan kerja keras, yaitu sifat yang aku benci.
ADVERTISEMENT
Ketidakmampuan ini semakin menyiksaku. Aku jadi tidak pernah fokus mengerjakan suatu hal. Semuanya kulakukan terburu-buru. Semuanya berantakan. Hidup memang menyebalkan! Benar saja, lagi-lagi aku hanya bisa menyalahkan keadaan.

Tumbuh

Ilustrasi fixed mindset dan growth mindset (IStock/Makhbubakhon Ismatova).
Lagu ini sangat berkaitan dengan lagu sebelumnya. Bedanya kalau lagu “Semoga, Ya” menyentil tenggorokanku, kalau lagu “Tumbuh” menonjok mampu meninju perutku.
Singkat kata, lirik-lirik dalam lagu “Tumbuh” mengajak pendengarnya untuk bertindak nyata untuk bisa mewujudkan impian. Tidak hanya berharap saja karena semua perubahan butuh aksi nyata. Lagi-lagi ada “aksi nyata!”
ADVERTISEMENT
Beberapa hari belakangan aku merenungkan perjalanan hidupku. Ya, saat remaja kehidupan begitu santai dan terkesan sangat mudah. Aku hanya mengisi kehidupanku dengan bermain dan bermain saja. Aku tak pernah belajar, aku jarang mengerjakan tugas sekolah, dan aku tidak punya suatu keahlian yang membanggkan.
Keadaan saat remaja dan keadaanku kini, juga tidak jauh berbeda. Aku masih suka bermain hingga sering telat mengumpulkan tugas. Bedanya kini ada yang dibanggakan, yaitu aku sudah rajin menulis. Tapi menulis apa? Menulis curhat seperti ini? Apakah ini bisa anggap sebagai keahlian? Aku rasa tidak!
Seorang teman pernah bertanya padaku, “Lu sebenernya mau jadi penulis apa sih, Wan?” Dengan lugu aku menjawab, “Penulis aja gitu.”
Mendengar jawabanku, ia langsung tertawa lalu berkata, “Et, tolol bet, ya, maksud gua lu mau jadi penulis apa? Penulis opini? Kalau mau jadi penulis opini lu nggak punya kecenderungan di topik tertentu. Kuliah lu Pendidikan dan Bahasa, tapi lu ga punya keahlian di bidang itu!”
ADVERTISEMENT
“Iya juga ya. Gua aja males baca-buku Pendidikan, males baca buku-buku kuliah yang berbau Bahasa, males bikin puisi atau cerpen kalau emang gua condong ke Sastra.”
Begitu percakapanku dengan seorang teman. Dari percakapan tersebut aku, jadi bertanya-tanya mau jadi penulis apa aku ini? Sepertinya sudah saat aku untuk tegas memilih jalan hidupku sendiri.
Kalau misalnya, aku ingin jadi sastrawan, berarti aku memang harus semangat menulis sastra. Kalau mau jadi penulis opini, ya, aku harus memilih topik apa aku kuasai, entah itu mau budaya atau pendidikan. Begitulah hidup. Aku harus memilih!
ADVERTISEMENT
Memang sudah selayaknya, berdoa adalah tindakan sia-sia untuk orang yang malas berusaha. Dari renungan sebelumnya, akhirnya aku memilih ingin jadi sastrawan.
Nah, untuk prepare menjadi sastrawan–khususnya penyair, aku mencoba untuk ikut lomba menulis puisi. Namun hasilnya, aku berada peringkat 26 dari +- 50 peserta dalam lomba menulis puisi. Padahal segala doa sudah aku ucapkan dan teori sudah aku pelajari untuk bisa menang dalam lomba tersebut.
Dan, lemahnya aku langsung menyerah menjadi sastrawan ketika mendapatkan keadaan seperti ini. Lagi-lagi aku menyalahkan keadaan, padahal usahaku memang tidak seberapa, dan aku juga jarang baca buku kumpulan puisi.