Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Kembali ke Esensi
6 Agustus 2024 8:33 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muhammad Ridwan Tri Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Bagaimana kita memahami eksistensi sebenarnya dalam era digital yang dipenuhi citra dan representasi?” Pertanyaan ini mencuat di kepala saya, ketika saya sedang sakit dan jauh dari perangkat digital.
ADVERTISEMENT
Di dalam rumah saya yang sempit, keringat menggenang di muka dan punggung saya yang penuh cacar air, membuatnya terasa perih. Dalam keadaan ini, saya teringat perkataan teman saya tentang bagaimana sikap dan gaya hidup kita sering kali dipengaruhi oleh media sosial.
Menurut teman saya, di media sosial banyak figur publik muncul dan sering kali kita terpengaruh oleh salah satunya. Akhirnya, figur publik tersebut menjadi panutan dalam cara hidup kita. Ia memengaruhi segalanya hal mulai dari cara berpakaian, berbicara hingga pola pikir kita.
Mengingat perkataan tersebut, saya jadi penasaran tentang jumlah pengguna media sosial di dunia. Berdasarkan informasi dari We Are Social dan Hootsuite, pada Oktober 2023, pengguna media sosial di dunia mencapai 4,95 miliar orang. Ini berarti 61,4% atau lebih dari dua pertiga populasi dunia menggunakan media sosial. Selain itu, laporan We Are Social pada April 2023 mencatat bahwa pengguna Instagram mencapai 2 miliar, sementara pengguna TikTok mencapai 1,1 miliar.
ADVERTISEMENT
Nah, dari miliaran orang tersebut, apakah mereka juga merasakan hal yang sama seperti saya? Jika iya, apa yang sebenarnya membuat kita tertarik untuk meniru gaya hidup dan perilaku figur publik?
Terjebak dalam Dualitas
Ternyata fenomena ini bukanlah hal baru. Jean Baudrillard dalam Simulacra and Simulations menggambarkan hal ini sebagai simulakra, yaitu sebuah konstruksi imajinasi manusia atas realitas yang tidak menghadirkan esensi realitas itu sendiri. Era ini, di mana media sosial bisa menjadi media penyembahan kepada figur publik dan selebriti, simulakra menjadi pedoman kita merealisasikan dan mengaktualisasikan diri.
Mungkin kita tertarik mencerminkan citra dengan figur publik yang kita kagumi karena ia mampu mewakili citra, yang sebenarnya kita mimpikan dan idealisasikan. Media sosial, contohnya Instagram dan TikTok dengan konten-konten yang melimpah, menjadi lahan subur bagi perwujudan mimpi dan harapan kita. Dan ini membawa kita dalam dunia simulasi yang Baudrillard gambarkan.
ADVERTISEMENT
Maka, tidak mengherankan jika kita merasa terjebak dalam dualitas antara realitas dan representasi. Padahal, apa yang kita lihat di media sosial, sering kali adalah versi yang telah disaring. Dalam era digital ini, figur publik di media sosial dianggap sebagai "nabi-nabi baru". Kenapa begitu? Karena ia pun mampu mempengaruhi gaya hidup, pandangan, dan keputusan kita.
Ia bisa menjadi inspirasi. tetapi kita harus selalu ingat bahwa kehidupan nyata lebih dari sekadar citra yang kita lihat di layar. Maka, penting untuk memisahkan antara citra yang diciptakan di media sosial dan kenyataan di dunia nyata. Dengan begitu, kita bisa tetap berpegang pada nilai dan esensi realitas dalam kehidupan kita sehari-hari.
Kenapa Ini Terjadi?
Konsep kekurangan (lackness)yang diusung Jacques Lacan dapat memberikan pemahaman mendalam tentang fenomena ini. Lacan berpendapat bahwa kita secara mendasar merasa tidak utuh dan selalu mengalami kekosongan yang berusaha kita isi. Dalam era digital ini, kita berupaya mencapai rasa utuh melalui figur publik yang kita anggap ideal.
ADVERTISEMENT
Media sosial menjadi panggung yang memungkinkan figur publik membentuk dan membagikan citra ideal kepada masyarakat luas, meskipun kenyataannya jauh dari kehidupan sehari-hari kita. Ini akhirnya menciptakan ilusi bahwa dengan meniru atau mendekati citra-citra ini, kita bisa mengatasi kekurangan eksistensial yang kita rasakan.
Namun, seperti yang disampaikan oleh Lacan, kekurangan ini tidak pernah benar-benar dapat dipenuhi. Manusia selalu merasakan adanya kekosongan yang tidak bisa diisi sepenuhnya, karena keinginan untuk menjadi utuh adalah sesuatu yang secara fundamental di luar jangkauan kita.
Citra ideal yang kita kejar di media sosial hanya menambah lapisan lain dari representasi yang membuat kita semakin jauh dari realitas diri kita yang sebenarnya. Figur publik di media sosial sering kali mempresentasikan versi yang telah disaring dan dipoles, sehingga menciptakan standar yang tidak realistis.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, menghargai diri sendiri dan realitas kita tanpa tergoda oleh citra yang tidak realistis adalah kunci untuk mencapai keseimbangan dan kepuasan dalam hidup.