Membongkar Buruknya Kesehatan Mental Kita di Masa Kini

Muhammad Ridwan Tri Wibowo
Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2022.
Konten dari Pengguna
22 Oktober 2023 21:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Ridwan Tri Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi meminta bantuan. Sumber: Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi meminta bantuan. Sumber: Pixabay.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam buku The Effortless Life, Leo Babauta menuliskan bahwa kebutuhan ada kalanya diciptakan oleh masyarakat. Menurutnya kita adalah makhluk sederhana. Kita hanya perlu makanan, pakaian, tempat tinggal, dan hubungan yang baik dengan sesama manusia.
ADVERTISEMENT
Namun, di era ini semua menjadi rumit. Tempat tinggal telah menjadi simbol status yang mahal. Lalu, makanan dan pakaian pun telah diubah menjadi lambang status dan hilangkan dari kebutuhan sebenarnya.
Kemudian yang paling rumit adalah hubungan kita sesama manusia. Dalam hubungan sosial di zaman ini, kita terpacu untuk terlihat selalu menarik di mata orang banyak dalam kondisi apapun.
Menurutnya, hal tersebut bisa terjadi karena di setiap momen masa kecil dan momen sekolah, kita selalu diarahkan gagasan tentang kesuksesan seperti contoh di atas. Selanjutnya, ia mulai mempertanyakan: ”Siapa yang mendefinisikan kesuksesan?”
Di sini akan membedah kenapa definisi kesuksesan bisa terbentuk. Dan, mengapa bisa definisi kesuksesan bisa anut oleh orang banyak.

Psikoanalisis Erich Fromm dan Kebutuhan Hidup Sederhana

Ilustrasi bahagia. Sumber: Pixabay.
Senada dengan Leo Babauta, psikoanalisis Marxis, Erich Fromm mengatakan kebahagiaan dalam hidup kita ini seharusnya sederhana, yaitu berpusat pada kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, pakaian dan hubungan sosial yang sehat.
ADVERTISEMENT
Sederhananya, Fromm menekankan pentingnya pemahaman diri dan hubungan sehat sesama manusia sebagai faktor utama untuk kesejahteraan mental dan jiwa kita. Namun, di era kapitalisme kita sering terjebak dalam lingkungan yang mendominasi nilai-nilai ekonomi, seperti akumulasi kekayaan dan persaingan yang tidak ada habis-habisnya.
Pandangan ini telah disusupi oleh ideologi dan nilai-nilai masyarakat (suprastruktur) yang kompleks, yaitu seperti konsep kesuksesan yang masalah menjauhkan kita dari kebahagiaan sejati. Nah, karena itu hasrat untuk mencapai kesuksesan materi seringkali menghasilkan stres dan kecemasan.
Lebih lanjutnya, kapitalisme telah mempromosikan persaingan yang kuat antara sesama manusia. Inilah kemudian yang menggantikan nilai-nilai kolektivitas dan solidaritas di antara kita. Kapitalisme mendorong kita memenangkan persaingan dan inilah yang mengakibatkan isolasi sosial dan kesulitan membangun hubungan sosial yang sehat.
ADVERTISEMENT
Menurut World Health Organization (WHO), lebih dari tiga ratus juta orang di seluruh dunia menderita depresi, dan angka ini terus meningkat. Sementara sekitar delapan ratus ribu orang melakukan bunuh diri setiap tahunnya.
Di Uni Eropa, 27,0 persen populasi orang dewasa berusia antara delapan belas dan enam puluh lima tahun dikatakan mengalami komplikasi kesehatan mental. Di Inggris saja, kasus kesehatan mental yang buruk secara bertahap meningkat selama dua dekade terakhir.
Survei Adult Psychiatric Morbidity Survey (APMS), menggambarkan bahwa pada tahun 2014; 17,5 persen penduduk di atas enam belas tahun menderita berbagai bentuk depresi atau kecemasan, dibandingkan dengan 14,1 persen pada tahun 1993.
Selain itu, jumlah individu yang mengalami depresi atau kecemasan meningkat cukup parah kenaikannya dari 6,9 persen menjadi 9,3 persen.
ADVERTISEMENT
Mengutip Greatmind, dalam tulisan yang berjudul Berjalan Penuh Kesadaran, Nadine Alexandra menyatakan kita hidup di mana seseorang yang dinilai produktif adalah seorang yang sibuk. Ia aktif memperhatikan seberapa padat jadwalnya. Padahal mungkin kesibukannya bukan untuk memenuhi kebutuhan esensialnya, semata-mata hanya memenuhi ekspektasi orang banyak.
Menurutnya, karena inilah kita telah didoktrin untuk menghasilkan yang terbaik membutuhkan upaya penuh penderitaan. Dan, tanpa sadar kita telah mewajarkan itu, lalu kita berharap di masa depan akan mendapatkan kebahagiaan.
Setiap hari, kita berjalan tergesa-gesa tanpa memperhatikan tubuh dan membiarkan ketegangan bermukim dalam jiwa dan raga kita. Kemudian tanpa sadar kita menaruh harapan itu semua dalam kondisi burnout.
Dan, akhirnya perasaan keterasingan dan kesepian muncul, lalu menjadi penyebab utama buruknya kesehatan mental kita. Kita dibuat merasa terpisah dari diri kita sendiri, orang lain, dan dunia sekitar.
ADVERTISEMENT

Fakta Sosial, Hegemoni, dan Peran Media Sosial

Ilustrasi media sosial. Sumber: Pexels.
Sebelumnya, Emile Durkheim telah menjelaskan bagaimana fakta sosial, seperti norma dan nilai-nilai sosial, telah mempengaruhi individu dan masyarakat dalam memahami konsep kesuksesan. Inilah yang menciptakan tekanan sosial yang kuat untuk memenuhi atau melebihi standar yang telah diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, pandang kita tentang kesuksesan adalah faktor sosial yang mempengaruhi pemikiran kolektif.
Teori hegemoni Gramsci menjelaskan bahwa kelompok penguasa memiliki pengaruh kuat dalam membentuk ideologi yang kemudian menjadi bagian dari budaya. Ini berarti ideologi tersebut menjadi cara yang kuat untuk mengendalikan pandangan masyarakat tentang kesuksesan.
Selain itu, konsep Althusser tentang aparatus ideologi, yang sekarang mencakup media sosial, memainkan peran penting dalam menyebarkan dan memperkuat ideologi ini.
ADVERTISEMENT
Kini, alat utama yang mengukuh hegemoni adalah media sosial. Media sosial adalah sarana produksi ide-ide, pembaharuan, sikap, dan perspektif yang merupakan pabrik bagi terciptanya aksi sehat/nalar umum sehari-hari.
Media sosial menciptakan ekspektasi akan kehidupan yang mewah dan penuh petualangan. Orang-orang sering membagikan foto-foto liburan mewah, makanan mewah, atau petualangan yang menakjubkan lainnya. Hal ini dapat membuat kita merasa bahwa kehidupan yang sukses harus penuh dengan perjalanan dan pengalaman mewah.
Lalu, pencapaian karier dan keuangan juga sering menjadi standar kesuksesan di media sosial. Orang-orang membagikan foto mobil mewah, rumah besar, atau pencapaian finansial mereka. Hal ini dapat menciptakan tekanan bagi kita; untuk mencapai kekayaan materi yang mungkin tidak selalu mencerminkan kebahagiaan sejati.
ADVERTISEMENT
Jumlah pengikut dan likes di media sosial sering dianggap sebagai ukuran kesuksesan. Orang lain mungkin merasa perlu untuk terus meningkatkan popularitas mereka dan mendapatkan lebih banyak pengikut. Dan, ini juga dapat menciptakan perasaan inferioritas jika jumlah pengikut kita tidak sebanding dengan yang dimiliki oleh orang lain.
Pencapaian dalam pendidikan juga sering dianggap sebagai standar kesuksesan. Orang membagikan pencapaian mereka dalam dunia pendidikan. Hal ini dapat menciptakan tekanan pada kita untuk terus meningkatkan wawasan kita, yang kadang-kadang itu melebihi batas kemampuan kita.

Penutup

Pengaruh hegemoni dalam masyarakat telah menciptakan situasi di mana ideologi telah menjadi budaya. Konsep kesuksesan yang diterapkan oleh kelompok penguasa secara efektif dipromosikan melalui aparatus ideologi media, kini media sosial.
ADVERTISEMENT
Dalam dunia yang semakin dipengaruhi oleh media sosial, kita sering kali terjebak dalam pencarian standar kesuksesan yang tidak realistis, sebagian besar yang digerakkan oleh tekanan sosial dan tuntutan yang harus kita terima.
Nah, untuk menghadapi pengaruh kuat ideologi dan media sosial, kita harus merenungkan kembali tentang apa yang benar-benar penting dalam hidup. Kesuksesan seharusnya tidak hanya diukur dari materi saja, tetapi juga dari kebahagiaan sejati, kesejahteraan emosional, dan hubungan yang bermakna.
Menggabungkan teori-teori seperti fakta sosial Durkheim. psikoanalisis Fromm, hegemoni Gramsci, dan aparatus ideologi Althusser—dalam pandangan kita tentang kesuksesan adalah langkah pertama untuk mengembalikan esensi kebahagiaan dalam hidup kita.