Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.5
21 Ramadhan 1446 HJumat, 21 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Advokasi Hakim oleh Masyarakat: Tak Kenal Maka Tak Sayang
15 September 2022 10:45 WIB
Tulisan dari Muhammad Rifki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pada tahun 2019, Ketua Pengadilan Negeri (PN) Malili, Khairul (saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Maros), melaporkan Abdul Rahman alias Beddu, atas tuduhan penghinaan dan pencemaran nama baik lewat media sosial Facebook. Kasus ditutup dengan penjatuhan vonis bersalah kepada Beddu yang dihukum delapan bulan penjara dan denda Rp50 juta subsider satu bulan penjara berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA).
ADVERTISEMENT
Kejadian tersebut hanya sebagian kecil dari banyaknya kasus perbuatan merendahkan kehormatan dan keluhuran hakim (PMKH) di luar persidangan yang dilaporkan. Posisi sebagai seorang hakim turut berperan dengan banyaknya kasus PMKH yang tak terlaporkan.
Salah satu hal yang disampaikan oleh Khairul saat menjadi pemateri dalam Klinik Etik dan Advokasi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, “Hakim yang merupakan pemutus suatu perkara idealnya tidak perlu melaporkan sendiri kasus PMKH yang dialaminya.” ungkapnya.
Lebih lanjut dijelaskan pula dalam Majalah Komisi Yudisial Edisi Juli – Desember 2021, yang menyebutkan bahwa minimnya laporan PMKH dari hakim dikarenakan kebanyakan hakim lebih memilih fokus pada perkara yang sedang ditangani. Hal tersebut membuat mayoritas hakim cenderung mengabaikan PMKH yang dialaminya. Terlebih hakim harus senantiasa berpegang pada kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH), yang membuat mereka harus mendahulukan objektifitas dalam menilai suatu perkara. Sehingga, praktik-praktik PMKH, baik yang terjadi pada saat ataupun setelah persidangan, masih sukar diketahui.
ADVERTISEMENT
Peraturan Komisi Yudisial Republik Indonesia (PerKY RI) Nomor 8 Tahun 2013 tentang Advokasi Hakim sendiri telah memberikan penjelasan lebih lanjut terkait siapa saja pihak yang dapat melaporkan PMKH. Pada Pasal 1 angka 6 dijelaskan bahwa:
“Pelapor adalah hakim, pegawai pengadilan dan/atau masyarakat yang mengalami atau mengetahui perbuatan yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.”
Dari pengertian itu, pelapor yang dijelaskan seyogyanya masih memerlukan penguatan dalam pelaksanaan perKY tersebut, khususnya kepada masyarakat yang mengetahui dan/atau menyaksikan langsung PMKH yang terjadi.
Jika melihat laporan mengenai PMKH yang masuk ke KY, sampai saat ini jumlah pelapor PMKH dari kalangan masyarakat masih sangat sedikit. Padahal, jika melihat pada kebebasan dalam bertindak, maka masyarakat lah yang paling ideal untuk melaporkan tindakan-tindakan PMKH yang disaksikan secara langsung. Lantas, apa yang membuat masyarakat cenderung diam bahkan bungkam saat terjadi PMKH di sekitarnya?
ADVERTISEMENT
Penulis memiliki pandangan tersendiri dalam menjawab pertanyaan tersebut. Pada praktiknya, dalam proses persidangan, masyarakat terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok yang satu menjadi simpatisan dari pihak penuntut atau penggugat, sedangkan kelompok yang lain menjadi simpatisan dari pihak tertuntut atau tergugat. Dalam kondisi tersebut, setiap kelompok akan fokus pada pembuktian ketidakbersalahan masing-masing pihak. Akibatnya, ketika salah satu kelompok dari pihak yang merasa dirugikan tidak terima dengan keputusan hakim, akan muncul tindakan-tindakan PMKH dari mereka. Sementara itu, kelompok lain dari pihak lawan merasa sudah menang dan tidak perlu menanggapi keberatan yang diajukan kelompok lain dalam bentuk PMKH. Dengan kata lain, mereka cenderung menyerahkan kondisi tersebut kepada pegawai pengadilan. Tidak ada tindakan apapun dari mereka untuk membela atau bahkan melindungi hakim dari ancaman-ancaman yang mengganggu proses peradilan. Kebiasaan inilah yang hampir dapat disaksikan secara langsung dalam setiap persidangan.
ADVERTISEMENT
Di lain sisi, ada peluang masyarakat bersedia melaporkan tindakan PMKH yang terjadi. Peluang ini akan sangat memungkinkan jika masyarakat tersebut mengenal atau bahkan memiliki hubungan tertentu dengan hakim yang sedang menangani perkara. Secara psikologis, seorang individu memiliki rasa kepedulian terhadap pihak lain yang sedang mengalami masalah. Tetapi sedikit banyaknya praktik tersebut pada saat persidangan, rasa kepedulian itu diteruskan menjadi suatu tindakan perlindungan hanya jika masyarakat telah mengenal sosok hakim yang sedang mengalami PMKH tersebut. Lantas, apakah hakim perlu dikenal dulu oleh masyarakat agar bisa mendapat simpati dari mereka? Tentu tidak!
Jika melihat tugas yang diemban oleh hakim, bisa dikatakan bahwa hakim merupakan wakil Tuhan di bumi. Hal tersebut dikarenakan hakim lah yang memutuskan benar atau salahnya seseorang dalam suatu perkara, serta menetapkan hukuman bagi pihak yang bersalah. Sehingga, tidak sepantasnya hakim mendapat perlakuan yang tidak mencerminkan perilaku hormat kepadanya. Terlepas dari kenal atau tidaknya masyarakat dengan hakim yang bersangkuan.
ADVERTISEMENT
Hal inilah yang memerlukan perhatian lebih dari Komisi Yudisial (KY) sebagai penjaga kehormatan dan martabat dari pengadilan dan hakim itu sendiri. Saat ini, PerKY RI No. 8 Tahun 2013 maupun peraturan lain yang bersangkutan belum mampu mengantisipasi hal tersebut, sehingga berimbas pada banyaknya perbuatan-perbuatan merendahkan martabat hakim yang tidak terlaporkan, baik itu yang terjadi di dalam maupun di luar persidangan. Padahal, di Pasal 25 ayat (5) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum menyatakan bahwa:
“Hakim pengadilan diberikan jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya.”
Oleh karena itu, terkait keamanan hakim yang diancam oleh praktik-praktik PMKH, KY perlu mengantisipasi berbagai kendala yang kemungkinan timbul dari perKY RI No. 8 Tahun 2013 tersebut. Sehingga tujuan agar terciptanya suatu peradilan yang bersih dan sehat dapat terlaksana secara in concreto (konkret).
ADVERTISEMENT
*Penulis adalah peserta Klinik Etik dan Advokasi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin kerja sama dengan Komisi Yudisial Republik Indonesia
Rujukan:
Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
Peraturan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Advokasi Hakim
Majalah Komisi Yudisial Edisi Juli – Desember 2021
komisiyudisial.go.id
https://makassar.tribunnews.com/2022/03/30/hina-ketua-pn-malili-luwu-timur-di-medsos-beddu-kini-dipenjara-di-rutan-kelas-iib-masamba