Sungkannya Berpendapat di Lingkungan High Context Culture

Muhammad Rifqi Musyaffa
Mahasiswa kedokteran Universitas Palangka Raya
Konten dari Pengguna
19 Mei 2023 5:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Rifqi Musyaffa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rapat dengar pendapat (Sumber : Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Rapat dengar pendapat (Sumber : Pribadi)

"Orang-orang meminta kritik darimu, tetapi mereka hanya menginginkan pujian," —W. Somerset Maugham.

ADVERTISEMENT
Setiap manusia di muka Bumi ini pada dasarnya diciptakan oleh Tuhan dilengkapi dengan akal. Oleh karena itu setiap manusia bisa berpikir tentang apa yang organ indera mereka rasakan.
ADVERTISEMENT
Ketika melihat sesuatu yang mereka anggap indah, mereka akan memberikan pujian dalam pikiran mereka. Namun, ketika indera mereka mendapatkan stimulus yang menurut mereka jelek mereka akan merasakan kecewa di dalam pikiran mereka.
Terkadang setiap ada kekecewaan maupun kebahagiaan yang mereka rasakan, mereka akan cenderung ingin untuk mengungkapkannya melalui komunikasi dan bahasa. Di satu sisi mereka ingin mengungkapkan kekecewaan-kekecewaannya. Tetapi di sisi lain lingkungan terkadang tidak akan pernah bisa mendukung.
Misalnya kita kecewa terhadap suatu pihak yang berwenang mengurusi suatu instansi. Tetapi karena lingkungan di sekitar kita dan mereka yang berwenang mendengarkan komplain itu sering ofensif dan denial dengan kritik dan keluhan yang kita ingin sampaikan, maka timbul kesungkanan dan keengganan di benak kita untuk mengungkapkannya. Padahal jika itu diungkapkan kemungkinan instansi tersebut akan jauh lebih baik.
ADVERTISEMENT
Hal itu bisa terjadi karena setiap lingkungan mempunyai budaya baik dari segi komunikasi maupun dari segi lainnya yang unik. Jangan heran apabila ada lingkungan yang maju dan ada lingkungan yang stagnan, karena latar belakang budayanya juga berbeda—ada yang menghendaki perubahan yang cepat dan bahkan ada yang tidak mau berubah sama sekali.
Seorang Antropolog asal Amerika Serikat, Edward Twitchell Hall, membagi kebudayaan suatu masyarakat menjadi dua jenis yaitu high context culture dan low context culture.
Ilustrasi High Context Culture (Sumber : Shutterstock)
High context culture adalah istilah yang menggambarkan suatu kondisi kebudayaan di sebuah lingkungan yang memiliki ciri-ciri yang pertama, apabila dalam komunikasi itu implisit (tidak terus terang alias banyak basa-basi). Kedua, sangat menganggap penting pangkat, status dan hierarki.
ADVERTISEMENT
Ciri yang ketiga, komunikasi yang bernuansa. Misalnya "tidak usah repot-repot" itu memiliki makna bisa jadi seseorang itu menerima, bisa juga menolak tergantung gestur dan situasi. Keempat, emosional ikut bertransmisi saat berkomunikasi (ketika bersuara lantang dianggap sedang marah dan tidak sopan).
Kelima, mengutamakan hati daripada otak. Keenam, social oriented. Ketujuh, cenderung lebih personal. Dan terakhir, cenderung sulit untuk dimasuki oleh orang yang berbeda kebudayaan dan memiliki konsep waktu yang luwes (polikronik).
Ilustrasi Low Context Culture (bicara yang terus terang) Sumber : Shutterstock
Sementara low context culture memiliki ciri-ciri yang sebaliknya dari high context culture seperti dalam komunikasi mereka lebih terus terang alias eksplisit, tidak banyak basa-basi, dan semua informasi yang perlu disampaikan akan disampaikan.
Kemudian, lebih mengutamakan otak daripada hati, task oriented, cenderung tidak terlalu personal ketika interaksi, lebih mengutamakan kapasitas individu daripada faktor sosial dan konsep terhadap waktu sangat terorganisasi (sangat tepat waktu dan memiliki jadwal yang strict) atau dengan kata lain monokronik.
ADVERTISEMENT
Masyarakat di negara-negara Asia dan Amerika Latin biasanya memiliki kebudayaan high context terlebih pada masyarakat perempuannya. Adapun kebudayaan low context lebih banyak terdapat pada masyarakat-masyarakat di Eropa, Amerika Serikat, Kanada dan Australia.
Dengan demikian, sangat wajar apabila terjadi kesungkanan untuk berpendapat dan keheningan saat perkuliahan karena memang mungkin lingkungannya memiliki budaya high context yang mendarah daging.
Dalam konteks Indonesia sendiri, dari tahun ke tahun budaya akademik di perguruan tinggi dan bahkan sampai ke sekolah sudah akan mulai menuju kepada kebudayaan low context yang disesuaikan dengan wawasan Pancasila dan kebhinnekaan.
Sebagai seorang gen Z yang harus kita lakukan adalah kita harus sadar bahwa budaya di negeri ini—dari ratusan dan bahkan ribuan tahun lalu—cenderung menganut sistem high context. Sehingga jangan jadi mudah kecewa dan menganggap para pejabat institusi pendidikan dan para staf pengajar itu bodoh karena mereka gila hormat atau alergi kritik.
ADVERTISEMENT
Mereka diciptakan oleh sistem masa lalu, dan sedang beradaptasi dengan sistem kebudayaan baru. Asumsikanlah jika kita para gen Z lebih cerdas dari mereka, maka tingkatkan juga cultural Intelligence kita supaya kita bisa mentolerir perbedaan kebudayaan yang sudah dijelaskan tadi sepanjang itu tidak melanggar aturan yang berlaku.
Cultural intelligence menjadi sangat penting sekarang ini, karena kebudayaan lintas daerah dan bahkan lintas negara akan dengan mudah kita rasakan dan lihat. Kita harus pandai-pandai menempatkan diri kita supaya kita bisa mendapatkan keuntungan terbesar dari setiap situasi.
Bagi saya ada dua pilihan untuk menanggapi lingkungan yang terlalu high context. Pertama, jangan peduli sama sekali. Dan yang kedua bertekadlah bahwa kita akan menggantikan para pihak yang menjabat itu dan melakukan perubahan dengan tangan dan kaki kita sendiri.
ADVERTISEMENT