Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Multi Tarif PPN: PPN 12% Tidak Untuk Masyarakat Kecil?
6 Februari 2025 9:36 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari MUHAMMAD RIJALUR ROHMAN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Sumber: dibuat oleh Dreamina AI](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkaa4aa4nt1qt84k174bk490.jpg)
ADVERTISEMENT
Presiden Republik Indonesia, Prabowo memberikan penegasan bahwa tarif PPN 12% hanya akan dikenakan kepada konsumen barang mewah dan tidak berlaku untuk masyarakat kecil. Hal ini perlu digarisbawahi karena PPN sedang menjadi topik yang sangat hangat dan kontroversial di tengah publik. Bagaimana tidak? Penerapan wacana kenaikan PPN serta sistem multi tarif yang sebelumnya telah diatur dalam UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan membuat masyarakat meronta.
ADVERTISEMENT
PPN dan Multi Tarif
Sebelum masuk ke pembahasan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak atas konsumsi barang dan jasa kena pajak (BKP/JKP) di dalam daerah pabean yang dikenakan secara bertingkat dalam tiap jalur produksi dan distribusi tetapi dibebankan pada konsumen akhir. Sedangkan multi tarif dalam konteks PPN berarti terdapat lebih dari satu tarif untuk berbagai jenis barang dan jasa kena pajak itu sendiri. Berbeda dengan tarif tunggal, multi tarif memiliki suatu cerminan keadilan dalam perpajakan mengingat terdapat berbagai klaster kekayaan masyarakat di Indonesia.
Tujuan dan Wacana Jenis Multi Tarif PPN
Penerapan wacana multi tarif ini memiliki tujuan dalam meningkatkan keadilan pajak (tax equity) dan penerimaan negara. Kemampuan bayar tiap wajib pajak diperhatikan sedemikian rupa sehingga barang dan jasa yang bersifat mewah dikenakan tarif lebih tinggi, sedangkan yang bersifat esensial dikenakan tarif lebih rendah. Pemerintah memaksimalkan penerimaan pajak tanpa membebani masyarakat berpenghasilan rendah, barang dan jasa dengan elastisitas permintaan rendah seperti barang mewah memberikan peluang dalam meningkatkan pendapatan negara.
ADVERTISEMENT
Dalam pembahasan yang dilakukan antara DPR RI dengan pemerintah dalam hal ini Presiden dan Menteri Keuangan, disepakati bahwa penerapan jenis multi tarif PPN akan diterapkan mulai dari barang mewah yang dianggap tidak esensial bagi masyarakat banyak dikenakan tarif 12%, sejumlah barang lain tetap dikenakan tarif 11%, dan beberapa komponen BKP/JKP yang tidak dikenakan PPN. Belum ada statement secara resmi dari pemerintah terkait maupun melalui keluaran peraturan terbaru tentang apa apa saja yang masuk dalam jenis multi tarif tersebut. Hal ini disebabkan karena penerapan wacana ini masih dikaji lebih lanjut agar tidak merugikan masyarakat.
Dampak Kebijakan PPN Multitarif
Lalu, apakah PPN multi tarif sebenarnya apakah memiliki manfaat lebih ketimbang PPN tunggal? mari kita lihat. PPN multi tarif bertujuan agar meningkatkan keadilan pajak (tax equity) dan penerimaan negara. Dampak yang akan timbul dari PPN multi tarif akan menjadi pajak yang lebih efisien. Hal ini disebabkan pajak yang dikenakan pada barang inelastis seperti kebutuhan pokok dapat dikenakan tarif pajak yang lebih rendah agar dapat meningkatkan daya beli masyarakat dan kesejahteraan rakyat. Sedangkan barang elastis seperti barang mewah dapat dikenakan tarif pajak lebih tinggi agar menjadi lebih adil dan meningkatkan penerimaan negara.
ADVERTISEMENT
Keuntungan lain dari penerapan PPN multi tarif juga untuk keadilan masyarakat. Karena PPN adalah sebuah pajak yang didasarkan dari objek pajak atau barang/jasa yang dikonsumsi. Sehingga untuk masyarakat yang mengkonsumsi barang/jasa untuk orang yang berpenghasilan tinggi akan dikenakan tarif lebih tinggi dan dapat menciptakan distribusi penghasilan yang adil.
Studi Kasus Penerapan PPN di Negara Lain
PPN diterapkan tidak hanya di Indonesia, negara lain juga menerapkan PPN dengan konsep negaranya masing-masing. Sistem Pajak Pertambahan Nilai (PPN) diterapkan dengan berbagai pendekatan di banyak negara, baik menggunakan tarif tunggal maupun multitarif. Salah satu contoh penerapan tarif tunggal adalah di Singapura, yang menetapkan tarif PPN atau Goods and Services Tax (GST) sebesar 8% untuk semua jenis barang dan jasa. Keunggulan sistem ini adalah kesederhanaan administrasi, karena tidak diperlukan klasifikasi tarif berdasarkan jenis barang atau jasa. Namun, untuk meringankan beban masyarakat berpenghasilan rendah, pemerintah Singapura memberikan subsidi tambahan melalui program GST Voucher. Kebijakan ini membantu memastikan keadilan sosial tetap terjaga meskipun menggunakan sistem tarif tunggal.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan Singapura, beberapa negara seperti Inggris dan India menerapkan sistem PPN multitarif. Inggris, melalui Value Added Tax (VAT), memiliki beberapa kategori tarif: 0% untuk barang esensial seperti makanan dan obat-obatan, 5% untuk barang penting seperti energi, dan 20% untuk barang serta jasa umum. Pendekatan ini memberikan keadilan sosial dengan meringankan beban pajak pada kebutuhan pokok, meskipun menambah kompleksitas dalam pengelolaan administrasi pajak. Sementara itu, India menggunakan Goods and Services Tax (GST) yang juga berbasis multitarif, mulai dari 0% untuk barang esensial, hingga 28% untuk barang mewah dengan tambahan biaya pada produk tertentu. Sistem ini memungkinkan pemerintah mengoptimalkan penerimaan negara tanpa mengorbankan kesejahteraan masyarakat berpenghasilan rendah, meskipun membutuhkan pengelolaan data yang terintegrasi untuk menghindari ketidakkonsistenan antar negara bagian.
ADVERTISEMENT
Dari pengalaman negara-negara tersebut, terdapat pelajaran penting bagi Indonesia. Sistem tarif tunggal seperti di Singapura menawarkan efisiensi administrasi yang tinggi, tetapi memerlukan mekanisme subsidi tambahan untuk menjaga keadilan sosial. Di sisi lain, sistem multitarif seperti yang diterapkan di Inggris dan India memberikan keadilan lebih besar melalui pengenaan tarif rendah pada barang esensial dan tarif tinggi pada barang mewah. Namun, pendekatan ini membutuhkan infrastruktur administrasi yang andal dan teknologi pengawasan yang kuat untuk mengelola klasifikasi tarif dan mencegah penyalahgunaan. Dengan mempertimbangkan kebutuhan sosial-ekonomi Indonesia, kebijakan multitarif yang didukung oleh digitalisasi sistem perpajakan dapat menjadi solusi untuk meningkatkan penerimaan negara sekaligus menjaga kesejahteraan masyarakat.
Kesimpulan
PPN 12% ini perlu dilakukan penyuluhan maupun sosialisasi terkait kejelasan peraturannya agar tidak menimbulkan kericuhan di masyarakat. Banyak oknum yang tidak suka dengan pemerintah dapat dengan mudah menggiring opini publik, apalagi di zaman teknologi media massa sekarang yang membuat berita hoaks dapat sangat cepat tersebar dan dipercaya oleh masyarakat awam. Selain itu, jika memang PPN 12% ini menjalankan UU HPP maka PPN 12% seharusnya sudah dikaji dalam kurun waktu beberapa tahun sedari UU HPP resmi dan telah dilakukan benchmark dengan negara-negara berkembang tetangga. Pemerintah maupun masyarakat diharapkan selalu bisa bekerja sama dalam membangun negeri ini, bukan saling menjatuhkan terlebih perkara pungutan perpajakan ini.
ADVERTISEMENT