Konten dari Pengguna

KAA 1955: Media Sebagai Senjata Melawan Penjajahan

Muhammad Rizalul Umam
Mahasiswa Sejarah Universitas Negeri Semarang
22 April 2025 16:30 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Rizalul Umam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Museum Konperensi Asia Afrika di Bandung. Sumber Foto Dokumentasi Pribadi Muhammad Rizalul Umam.
zoom-in-whitePerbesar
Foto Museum Konperensi Asia Afrika di Bandung. Sumber Foto Dokumentasi Pribadi Muhammad Rizalul Umam.
ADVERTISEMENT
Pada April 1955, Bandung bukan sekadar kota sejuk di dataran tinggi Jawa Barat. Selama beberapa hari, kota ini berubah jadi pusat perhatian dunia. Para pemimpin dari 29 negara Asia dan Afrika berkumpul dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA) untuk menyuarakan satu hal: dunia harus berubah, penjajahan harus diakhiri.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, bagaimana peristiwa penting ini sampai dikenal luas di seluruh dunia? Jawabannya sederhana tapi penting: media.
Bandung Diserbu Ratusan Wartawan
KAA bukan hanya dipadati delegasi negara, tapi juga wartawan dari berbagai penjuru dunia. Tercatat 818 jurnalis, terdiri dari 163 jurnalis Indonesia dan 655 dari luar negeri, hadir di Bandung untuk meliput.
Media lokal seperti Merdeka, Harian Rakjat, dan Abadi menurunkan liputan khusus tiap hari. Mereka memberitakan pertemuan, wawancara tokoh penting, hingga analisis dampaknya bagi politik Indonesia. Sementara itu, Radio Republik Indonesia (RRI) menyiarkan langsung jalannya konferensi. Lewat gelombang radio, rakyat dari Sabang sampai Merauke bisa mengikuti sejarah yang sedang ditulis di Bandung.
Media Internasional: Penasaran dan Waspada
Media asing seperti The Guardian, Le Monde, dan The New York Times ikut meramaikan suasana. Mereka mengangkat cerita soal pertemuan negara-negara "kecil" yang berani bicara lantang di panggung dunia. Beberapa media Barat awalnya skeptis, takut konferensi ini menjadi blok politik baru yang mengganggu dominasi negara besar.
ADVERTISEMENT
Tapi narasi itu tak bertahan lama. Seiring liputan yang terus berjalan, muncul pandangan yang lebih objektif: bahwa negara-negara Asia-Afrika ingin dunia yang lebih adil dan merdeka, tanpa campur tangan kekuatan kolonial.
Foto Surat Kabar yang Memberitakan Tentang Konperensia Asia Afrika. Sumber Dokumntasi Pribadi Muhammad Rizalul Umam.
Media Jadi Alat Diplomasi Indonesia
Pemerintah Indonesia tahu bahwa pertempuran sesungguhnya bukan hanya di ruang sidang, tapi juga di ruang redaksi. Maka semua infrastruktur komunikasi dioptimalkan: kabel telegram, radio, dan sambungan telepon internasional diaktifkan 24 jam.
Dalam sehari, diperkirakan sekitar 17.000 kata dikirim ke berbagai media internasional melalui telegraf. Bahkan, foto-foto kegiatan konferensi dikirim langsung ke agensi berita luar negeri. Semua ini bertujuan satu: dunia harus tahu bahwa negara-negara bekas jajahan sedang bangkit.
Mengguncang Dunia Lewat Mikrofon dan Kamera
ADVERTISEMENT
Apa hasilnya? KAA sukses mengubah cara dunia memandang negara-negara Asia dan Afrika. Isu dekolonisasi makin kuat gaungnya. Negara-negara seperti Ghana, Maroko, dan Nigeria menyusul Indonesia meraih kemerdekaan dalam waktu singkat.
Tak hanya itu, citra Indonesia sebagai pemimpin gerakan dunia ketiga ikut menguat. Media internasional menyebut KAA sebagai simbol solidaritas global yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Semua itu tidak akan terjadi seandainya KAA hanya dibicarakan di dalam ruang rapat. Media membuat suara Bandung bergema ke seluruh dunia.
Relevan di Era Digital
Meski KAA terjadi 70 tahun lalu, pelajaran tentang pentingnya media tetap relevan. Bedanya, kalau dulu pesan disebar lewat radio dan koran, sekarang lewat internet dan media sosial.
Di zaman sekarang, siapa saja bisa menyebarkan narasi lewat YouTube, Instagram, atau Twitter. Tapi justru karena itu pula, informasi jadi makin liar. Di antara lautan konten, mana yang membangun, mana yang menyesatkan?
ADVERTISEMENT
KAA mengingatkan kita bahwa media bukan sekadar alat informasi, tapi juga alat perjuangan. Ia bisa membangun solidaritas, tapi juga bisa memecah-belah jika tak digunakan secara bijak.
Bandung dan Pelajaran Tentang Suara
Konferensi Asia-Afrika membuktikan bahwa negara-negara yang dulu dibungkam bisa membalik keadaan lewat kekuatan narasi. Indonesia bukan negara adidaya, tapi mampu membuat dunia mendengar. Kuncinya: keberanian, solidaritas, dan strategi komunikasi yang tepat.
Hari ini, kita masih hidup dalam dunia yang dipenuhi konflik dan ketidakadilan. Tapi sejarah sudah memberi kita satu pelajaran penting: jika ingin perubahan, mulai dengan membangun narasi. Itulah kekuatan Bandung yang seharusnya terus kita rawat di era digital ini.