Konten dari Pengguna

Makanan Bukan Sekadar Hidangan tetapi Representasi Status Sosial

Muhammad Rizki pratama
Mahasiswa Sastra Inggris UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29 November 2024 16:42 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Rizki pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Dokumentasi Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Dokumentasi Penulis
ADVERTISEMENT
Dalam kehidupan sehari-hari, makanan sering dianggap hanya sebatas kebutuhan dasar untuk bertahan hidup. Lebih dari itu, makanan telah menjadi simbol status sosial yang mencerminkan identitas, gaya hidup, dan posisi seseorang dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Makanan sebagai Indikator Status Sosial
Sejak masa lampau, makanan telah menjadi bagian dari kelas sosial. Pada era kerajaan, hanya bangsawan yang memiliki akses terhadap bahan makanan berkualitas tinggi seperti daging premium atau rempah-rempah eksotis yang langka. Sementara itu, masyarakat biasa hanya mampu mengolah bahan makanan sederhana seperti biji-bijian dan sayuran liar.
Fenomena ini berlanjut hingga masa kini. Di era modern, pilihan makanan tetap menjadi cerminan status sosial. Restoran bintang lima, bahan organik dengan harga selangit, atau tren makanan sehat seperti quinoa, matcha, hingga truffle sering kali diasosiasikan dengan kalangan kelas atas. Konsep fine dining pun lebih dari sekadar makan; ia menawarkan pengalaman eksklusif yang mengedepankan estetika, suasana mewah, dan pelayanan personal.
ADVERTISEMENT
Kesenjangan antara Makanan Lokal dan Internasional
Di Indonesia, makanan lokal memiliki nilai budaya yang tinggi. Namun, dalam masyarakat yang kerap memandang status sosial, makanan internasional seperti sushi premium, steak wagyu, atau wine kelas dunia cenderung dianggap lebih bergengsi dibandingkan kuliner tradisional seperti soto atau pecel.
Meski begitu, beberapa inovasi berhasil meningkatkan citra makanan lokal. Rendang berbahan daging wagyu atau nasi goreng yang disajikan di restoran mewah menjadi contoh bagaimana makanan tradisional bisa naik kelas dan bersaing dengan hidangan internasional. Langkah ini tidak hanya melestarikan budaya, tetapi juga menambah nilai ekonomi.
Makanan dan Media Sosial
Era digital membawa dimensi baru bagi makanan sebagai simbol status sosial. Platform seperti Instagram menjadi media untuk memamerkan foto makanan yang menggugah selera sekaligus memperlihatkan gaya hidup mewah. Tren “Instagrammable food” melahirkan makanan-makanan yang tidak hanya lezat, tetapi juga estetis untuk diabadikan dalam foto.
ADVERTISEMENT
Namun, fenomena ini juga menimbulkan ironi. Di satu sisi, makanan digunakan untuk menunjukkan status sosial, tetapi di sisi lain, masih banyak orang di dunia yang menghadapi kelaparan. Perbedaan ini memicu perdebatan tentang kesenjangan sosial dan tanggung jawab moral terhadap isu kemiskinan.
Makanan kini bukan hanya soal rasa atau pemenuhan kebutuhan, tetapi juga ekspresi identitas dan simbol keberhasilan. Di tengah tren makanan mewah dan gaya hidup sosialita, penting untuk mengingat nilai solidaritas. Mungkin, sudah saatnya masyarakat melihat makanan tidak hanya dari sisi prestise, tetapi juga dari aspek keberlanjutan dan keadilan sosial. Dengan cara ini, makanan bisa menjadi simbol yang tidak hanya mencerminkan kelas, tetapi juga kebersamaan.